"Ubi Societas Ibi Ius."

Tuesday, 19 November 2013

Sekilas Tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC)

Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court - ICC) didirikan berdasarkan Statuta Roma yang diadopsi pada tanggal 17 Juli 1998 oleh 120 negara yang berpartisipasi dalam “United Nations Diplomatic Conference on Plenipotentiaries on the Establishment of an International Criminal Court” di kota Roma, Italia. Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional mengatur kewenangan untuk mengadili kejahatan paling serius yang mendapatkan perhatian internasional. Kejahatan yang dimaksud terdiri dari empat jenis, yaitu kejahatan genosida (the crime of genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan agresi (the crime of aggression).
Berbeda dengan mahkamah internasional sebelumnya yang sifatnya ad hoc, seperti International Criminal Tribunal for fomer Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR), Mahkamah Pidana Internasional merupakan pengadilan yang permanen (Pasal 3(1) Statuta Roma). Mahkamah ini hanya berlaku bagi kejahatan yang terjadi setelah Statuta Roma berlaku (Pasal 24 Statuta Roma).
Mahkamah Pidana Internasional merupakan mahkamah yang independen dan bukan merupakan badan dari PBB karena dibentuk berdasarkan perjanjian multilateral, meskipun dalam beberapa kondisi tertentu ada relasi peran antara Mahkamah dengan PBB (Pasal 2 Statuta Roma).
Statuta Roma memuat banyak pengaman yang menjamin penyelidikan dan penuntutan hanya dilakukan untuk kepentingan keadilan, bukan kepentingan politik. Meskipun Dewan Keamanan PBB dan negara dapat merujuk kepada Jaksa Penuntut Mahkamah Pidana Internasional, keputusan untuk melaksanakan penyelidikan merupakan wewenang Jaksa Penuntut. Namun, Jaksa Penuntut tidak hanya akan bergantung pada Dewan Keamanan PBB atau rujukan negara saja, tetapi juga akan mendasarkan penyelidikannya berdasarkan informasi dari berbagai sumber. Jaksa Penuntut harus meminta kewenangan dari Pre-Trial Chamber baik untuk melakukan penyelidikan maupun penuntutan dan permintaan tersebut dapat digugat oleh negara.

A. Proses Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (ICC)
Tahun 1950 PBB melalui Majelis Umum membentuk sebuah panitia yang diberi nama Committee on International Criminal Jurisdiction, dimana panitia ini bertugas untuk menyiapkan sebuah Statuta Mahkamah Pidana Internasional.
Panitia ini menyelesaikan tugasnya setahun kemudian tetapi kurang mendapatkan perhatian dari anggota PBB. Permasalahan ini tenggelam seiring dengan konfrontasi politik dan ideologi selama perang dingin. Tetapi dipertengahan tahun 1980-an, Pemimpin Uni Sovyet, Gorbachev memunculkan kembali ide pendirian Mahkamah Pidana Internasional terutama ditujukan kepada gerakan melawan terorisme.
Tahun 1989 ide untuk mendirikan Mahkamah Pidana Internasional kembali digulirkan dengan usulan delegasi Trinidad dan Tobago yang mengatasnamakan enam negara lainnya di wilayah Karibia pada Sidang Komite VI Majelis Umum PBB. Usulan Trinidad dan Tobago adalah untuk mengaktifkan kembali kerja International Law Commission (ILC) untuk menyusun kembali rancangan Statuta Mahkamah Pidana Internasional berkaitan dengan usaha untuk memberantas perdagangan narkotika internasional. Selanjutnya usulan ini ditanggapi dengan baik oleh Majelis Umum PBB
Pada tahun 1992, Majelis Umum PBB sekali lagi mengeluarkan resolusi untuk meminta ILC menyusun rancangan Statuta Mahkamah Pidana Internasional. Baru pada tahun 1994, ILC menyelesaikan tugasnya menyusun rancangan Statuta Mahkamah Pidana Internasional dan kemudian untuk membahasnya dibentuklah sebuah komite yang dibentuk oleh Majelis Umum PBB dengan nama Ad Hoc Committe on the Establishment of International Criminal Court.
Pada saat yang sama ILC merekomendasikan sebuah konferensi diplomatik untuk mempertimbangkan pengadopsian rancangan statuta tersebut namun tertunda karena masih adanya ketidak sepakatan mengenai rancangan tersebut.
Selanjutnya pada tahun 1995, Komite Ad Hoc diganti dengan Preparatory Committe on the Establihment of International Criminal Court yang mempersiapkan segala sesuatu bagi pembentukan ICC. Hasilnya adalah digelarnya sebuah konferensi diplomatik PBB atau lengkapnya United Nations Conference of Plenipotentiaries on The Establishment of an International Criminal Court, di Roma, Italia tanggal 15-17 Juli 1998 yang dihadiri 120 negara yang kemudian mengadopsi Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional.

B. Peran Indonesia dalam Proses Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional
Dalam proses pengadopsian Statuta Roma, Indonesia terlibat secara aktif dengan mengirimkan delegasi untuk mengikuti Konferansi Diplomatik di Roma pada bulan Juli 1998, ketika Statuta Roma itu disahkan. Pada saat bersejarah itu, Indonesia menyatakan dukungannya atas pengesahan Statuta Roma dan pembentukan Mahkamah Pidana Internasional . Indonesia juga menyatakan niatnya untuk meratifikasi Statuta Roma. Tahun 1999, Indonesia menyampaikan pernyataan positif kepada Komite Ke-6 Majelis Umum PBB dalam pandangannya mengenai Statuta Roma. Indonesia menyatakan bahwa “partisipasi universal harus menjadi ujung tombak ICC ” dan bahwa “Pengadilan menjadi bentuk hasil kerjasama seluruh bangsa tanpa memandang perbedaan politik, ekonomi, sosial dan budaya.” Dalam pernyataan yang sama, Indonesia menyatakan bahwa Statuta Roma menambah arti penting pada nilai-nilai yang terkandung dalam Piagam PBB yang meliputi persepakatan, imparsialitas, non-diskriminasi, kedaulatan negara dan kesatuan wilayah. Dalam hal ini, Indonesia menegaskan bahwa Mahkamah berusaha untuk melengkapi dan bukan menggantikan mekanisme hukum nasional.
Pada tahun 2004, Presiden Megawati Sukarnoputeri mengesahkan Rencana Aksi Nasional tentang Hak-Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2004 -2009. Rancangan tersebut menyatakan bahwa Indonesia bermaksud meratifikasi Statuta Roma pada tahun 2008. Untuk melaksanakan Rancangan tersebut, Presiden membentuk sebuah Komite Nasional. Dalam beberapa kesempatan, pemerintah juga menyatakan bahwa Statuta Roma sedang dipelajari dan bahwa legislasi nasional perlu dibuat demi keperluan kerjasama dengan Mahkamah sebelum ratifikasi dilaksanakan.
Pada Agustus 2006, perwakilan parlemen Indonesia berpartisipasi dalam konferensi regional dengan seluruh parlemen Asia tentang Mahkamah Pidana Internasional dan berjanji akan bekerja untuk mengupayakan ratifikasi/aksesi pada tahun 2008 atau lebih cepat. Tahun 2007 telah didirikan pula Parliamentarian for Global Action (PGA) Indonesia Chapters, dimana sekretariat internasional PGA selama ini sangat aktif mendukung universalitas Mahkamah Pidana Internasional .

C. Pengadilan Kejahatan Internasional: Dari Nuremberg Hingga Den Haag
Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional memiliki latar belakang dan erat hubungannya dengan pembentukan beberapa pengadilan kejahatan internasional sebelumnya. Pertama, pembentukan pengadilan kejahatan internasional setelah Perang Dunia Kedua usai, yaitu International Military Tribunal (IMT) atau dikenal sebagai Nuremberg Tribunal pada tahun 1945 dan International Military Tribunal for the Far East (IMTFE) atau dikenal sebagai Tokyo Tribunal pada 1946. Kedua, pembentukan mahkamah kejahatan internasional setelah usai perang dingin, yaitu International Criminal Tribunal for fomer Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) yang berkedudukan di Den Haag. Keempat pengadilan kejahatan internasional tersebut bersifat ad hoc. Pembentukan IMT didasarkan pada insiatif sekutu yang memenangkan perang untuk mengadili para pemimpin Nazi-Jerman, baik sipil maupun militer, sebagai penjahat perang dengan terlebih dahulu dituangkan dalam London Agreement tanggal 8 Agustus 1945. Sedangkan IMTFE dibentuk berdasarkan Proklamasi Panglima Tertinggi Tentara Sekutu Jenderal Douglas MacArthur pada 1946.
Kedua pengadilan memiliki persaman dan perbedaan. Persamaan tersebut adalah bahwa charter IMTFE merupakan hasil adopsi dari IMT. Selain itu, semangat dari pembentukan kedua mahkamah kejahatan internasional itu didasari oleh kedudukan sekutu sebagai pemenang dalam Perang Dunia Kedua, sehinggga dikenal dengan keadilan bagi pemenang perang (victor’s justice).
Sedangkan perbedaannya adalah bahwa sekalipun kedua charter memiliki isi yang sama, namun perangkat dan proses persidangannya sangat berbeda jauh, sehingga, menghasilkan perbedaan yang cukup signifikan menyangkut putusan persidangan. Pada IMT, terdapat beberapa terdakwa yang diputus bebas, tetapi pada IMTFE tidak seorang pun lolos dari hukuman.
Perbedaan lainnya terletak pada dasar hukum dari pembentukannya. Pada IMT, seluruh pemimpin Nazi-Jerman duduk di kursi pesakitan, sedangkan pada IMTFE, Kaisar Hirohito selaku pemimpin tertinggi Jepang tidak disentuh sama sekali. Ini disebabkan kesepakatan antara Pemerintah Jepang dengan Sekutu, dalam hal ini Amerika Serikat, untuk tidak mengganggu eksistensi Hirohito sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Jepang. Berdasarkan perbedaan tersebut dapat disimpulkan bahwa kedua pengadilan tersebut tidak memiliki sifat independent dan impartial.
Berikutnya adalah pembentukan pengadilan kejahatan internasional oleh Dewan Keamanan PBB untuk bekas Yugoslavia (ICTY) dan Rwanda (ICTR). Kedua pengadilan ini juga memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya, kedua pengadilan dibentuk oleh lembaga yang sama, yaitu Dewan Keamanan PBB melalui sebuah resolusi. Sedangkan perbedaannya adalah, pembentukan ICTY merupakan hasil dari evaluasi masyarakat internasional melalui Dewan Keamanan PBB terhadap pelanggaran berat HAM yang terjadi di bekas Yugoslavia. Pembentukannya sendiri tidak mendapatkan dukungan, terutama dari “Yugoslavia baru” saat itu yang terdiri dari Serbia dan Montenegro.
Telah digelarnya peradilan terhadap para penjahat dalam Perang Dunia Kedua tidak membuat pemikiran untuk membuat sebuah institusi peradilan permanen memudar untuk mengadili para pelaku kejahatan internasional. Hal ini disebabkan karena mekanisme pengadilan internasional yang bersifat ad hoc mempunyai kelemahan-kelemahan yang mendasar, yaitu:
(1) Victor’s justice
Dari keempat pengadilan internasional yang telah diselenggarakan, semuanya mempunyai kesamaan, yaitu yang dianggap bertanggung jawab atas kejahatan yang terjadi adalah individu-individu dari negara yang kalah perang, sementara bagi negara-negara pemenang perang akan terbebas dari tanggung jawab, meskipun mereka juga melakukan kejahatan-kejahatan serupa. Inilah mengapa keadilan yang dicapai melalui keempat proses pengadilan tersebut dianggap sebagai victor’s justice (keadilan bagi pemenang).
(2) Selective justice
Kelemahan lain dari mekanisme pengadilan internasional ad hoc adalah terjadinya keadilan “tebang pilih” (selective justice). Maksudnya adalah tidak semua kasus kejahatan internasional paling serius mempunyai kesempatan yang sama untuk dibentuk pengadilan internasional, hanya kasus-kasus tertentu yang dianggap mempengaruhi stabilitas dan keamanan internasional saja yang akan diadili, dan hanya kasus-kasus yang melibatkan negara-negara penting yang mempunyai kesempatan untuk diselesaikan. Artinya, akan ada pelaku yang tidak ditindak, dan akan ada korban yang tidak mendapatkan hak-haknya atas keadilan dan kompensasi. Lebih jauh, kondisi seperti ini tidak banyak memberikan sumbangan untuk menghentikan praktek-praktek impunitas di berbagai penjuru dunia.
(3) Tidak adanya efek jera dan pencegahan di masa mendatang
Meskipun terdapat kemajuan yang pesat dari kedua pengadilan kejahatan internasional pasca Perang Dunia Kedua, kedua pengadilan berikutnya masih memiliki keterbatasan yang sama. Di antaranya, tidak adanya kerjasama dengan negara di mana kejahatan internasional yang serius terjadi; tidak bisa menghentikan konflik yang sedang berlangsung dan tidak bisa mencegah berulangnya konflik; serta jangkauan dari penuntutan terbatas pada kategori konflik yaitu konflik internal atau internasional.
(4) Muatan politis
Lebih dari setengah abad sejak peradilan Nuremberg dan Tokyo, banyak negara gagal membawa mereka yang bertanggung-jawab atas genosida, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang ke pengadilan. Ini disebabkan karena mekanisme pembentukan pengadilan internasional ad hoc HANYA bisa dilakukan melalui Dewan Keamanan PBB. Artinya, “nasib” keadilan sangat tergantung pada komposisi anggota Dewan Keamanan PBB dan penggunaan hak veto oleh anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Dalam konteks ini tentu saja kepentingan politik akan lebih banyak berperan ketimbang pertimbangan hukum dan keadilan.

Berangkat dari alasan-alasan di atas, maka diperlukan sebuah mekanisme pengadilan internasional yang relatif bebas dari intervensi politik internasional, menjunjung tinggi kedaulatan negara, dan bersifat independen dan berlaku lebih fair, bahkan kepada pelaku.

Monday, 17 June 2013

FILSAFAT HUKUM ISLAM

MATERI KULIAH (F.H.I)
                       
DOSEN PENGAMPU : Dr. Zulkarnaini Umar, MIS.

     1.      Pengertian Filsafat Islam
   Ø  Istilah filsafat (philosophy = Bahasa Inggris) atau falsafat, berasal dari kata Arab yaitu falsafah yang diturunkan dari kata Yunani yaitu: Philein yang berarti mencintai, Philia yang berarti cinta, Philos yang berarti kekasih, dan Sophia atau Sophos yang berarti kebijaksanaan, kearifan, pengetahuan
Jadi, secara harfiah filsafat atau falsafat mempunyai arti cinta / mencintai kebijaksanaan (hubbul hikmah) atau sahabat pengetahuan. Dalam penggunaannya, ketiga kata (filsafat, falsafat, falsafah) dapat digunakan. Adapun pengertian filsafat dari segi terminologis, sebagaimana diungkapkan oleh D.C. Mulder, adalah cara berfikir secara ilmiah. Sedangkan cara berfikir ilmiah mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1. Menentukan sasaran pemikiran (Gegenstand) tertentu.
2. Bertanya terus sampai batas terakhir sedalam-dalamnya (radikal).
3. Selalu mempertanggung jawabkan dengan bukti-bukti.
4. Harus sistematik.
Sehingga dari batasan yang diberikan Mulder dapat dirumuskan lebih sederhana, bahwa filsafat adalah pemikiran secara ilmiah, sistematik, dapat dipertanggung jawabkan dan radikal tentang suatu obyek.
Bertitik tolak pada batasan yang dikemukakan oleh D.C. Mulder maka Filsafat Hukum Islam dapat diberikan pengertian bahwa : “Pemikiran secara ilmiah, sistematik, dapat dipertanggungjawabkan dan radikal tentang Hukum Islam.
Filsafat Hukum Islam Terbagi menjadi 2 Rumusan Yaitu :
1.      Falsafah Tasyri’
   Ø  Filsafat yang memancarkan hukum Islam, menguatkan dan memeliharanya. Falsafah tasyri’ antara lain meliputi : Da’aim al-hakim (dasar-dasar hukum Islam), Mabadi al-ahkam (prinsip-prinsip hukum Islam), Ushul al-ahkam (pokok-pokok hukum Islam), Maqashid al-ahkam (tujuan-tujuan hukum Islam), Qawaid al-ahkam (kaidah-kaidah Hukum Islam)
2.      Falsafah Syari’ah
 Ø  Filsafat yang mengungkapkan masalah ibadah, mu’amalah, jinayah, uqubah dari hakikat dan rahasia hukum Islam. Falsafah Syari’ah antara lain meliputi : Asrar al-ahkam (rahasia-rahasia hukum Islam), Khasa is al-ahkam (ciri-ciri khas hukum islam), Mahasin al-ahkam atau mazaya al-ahkam (keutamaan-keutamaan hukum islam), Thawabi al-ahkam (karateristik hukum islam)

2.      Dasar Pertumbuhan Filsafat Hukum Islam

Sumber utama hukum Islam adalah Al-Quran dan As-Sunnah terhadap segala masalah yang tidak diterangkan dalam kedua sumber tersebut, kaum muslimin diperbolehkan berijtihad dengan mempergunakan akalnya guna menentukan ketentuan hukum. Berijtihad dengan mempergunakan akal dalam permasalahan hukum Islam, yang pada hakikatnya merupakan pemikiran falsafi itu, direstui oleh Rasulullah SAW, bahkan Allah menyebutkan bahwa mempergunakan akal dan pikiran falsafi itu sangat perlu memaham dalam berbagai persoalan.
Filsafat telah ada pada Zaman Rasulullah SAW, saat Muadz ditugaskan sebagai Hakim sekaligus seorang guru ke Negeri Yaman Rasulullah SAW, bertanya “ Dengan dasar apa kamu memutusakan perkara wahai Muadz?” Mu'adz r.a. menjawab, "Aku akan berijtihad mengoptimalkan akal pikiranku."
Rasulullah saw. pun membenarkan ucapan Mu'adz seraya berkata, "Segala puji hanya bagi Allah yang telah memberikan petunjuk-Nya kepada utusan Rasul-Nya."

3.      Tujuan Hukum Islam

Hukum Islam adalah hasil dari proses metode ijtihad (fikih) dalam mengistinbath hukum yang bersumber dari Al-Qur`an dan hadis. Oleh karena itu, Allah menurunkan hukum kepada manusia untuk mengatur tatanan kehidupan social sekaligus menegakkan keadilan. Di samping itu juga, hukum diturunkan untuk kepentingan umat manusia, tanpa adanya hukum maka manusia akan bertindak sebebas-bebasnya tanpa menghiraukan kebebasan orang lain.
Tujuan Hukum Islam disyari’atkan ialah untuk mencapai kepada jalan yang lurus guna keselamatan dan kebahagian hidup dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah atau menolak segala yang mudharat (kerugian) dan yang membawa pada kemaslahatan (manfaat) umat manusia.



4.      Asas-Asas dan Prinsip-Prinsip Hukum Islam

      a.       Asas Hukum Islam.
Kata asas berasal dari bahasa Arab, yang artinya : dasar, alas, fundamen. Sedangkan Asas Hukum Islam ialah suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan hukum Islam.
Adapun asas-asas hukum Islam itu antara lain :
1.      Meniadakan kesempitan dan kesukaran.
Ø  Islam memberikan kelonggaran/kemudahan (dispensasi) kepada umat Islam (hukum rukhshah) pada saat mengahadapi keadaan darurat (terpaksa) atau hajat (keadaan yang memerlukan kelonggaran.
2.      Sedikit Pembebanan.
Ø  Islam itu bisa dilaksanakan tanpa banyak kesulitan, juga tidak banyak menyita tenaga dan waktu, baik dalam masalah ibadah maupun dalam masalah mu’amalah.
3.      Bertahap dalam menetapkan hukum.
Ø  Asas ini dapat terlihat ditetapkannya hukum-hukum dalam ibadah, seperti : Kewajiban Shalat yang semula hanya 2 kali, yakni shalat pagi 2 raka’at dan sore 2 raka’at. Kemudian setelah memasyarakat, barulah diperntahkan shalat 5 kali dalam waktu sehari semalam.
4.      Sejalan dengan Kepentingan / Kemaslahatan Umat Manusia.
Ø  Pembentukan dan pembinaan hukum Islam itu sejalan dengan kemaslahatan umat Manusia. Oleh karena itu, sebagian hukum Islam ada yang dinasakh (dihapus/diubah). Seperti halnya yang tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 106 yang artinya : “Apa saja ayat yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.”
5.      Mewujudkan Keadilan
Ø   Manusia menurut pandangan Islam adalah sama, baik dihadpan Allah maupun dihadapan hukum. Tidak ada perbedaan karena keturunan, pangkat, kekayaan, atau kedudukan sosialnya.
Keadilan sendiri terbagi kedalam 3 macam yang antara lain :
a.       Keadilan Hukum ialah sistem hukum yang berlaku harus seragam (unifikasi) untuk seluruh warga Negara tanpa ada diskriminasi;
b.      Keadilan Sosial ialah memberi kesempatan yang sama terhadap setiap orang untuk bekerja menurut kemampuan dan keahliannya, dan bagi mereka yang belum mampu bekerja karena masih dibawah umur atau bagi mereka yang sudah tak mampu bekerja karena sudah lanjut usianya atau cacat fisik dan mental dan sebagainya, maka mereka harus diberi bantuan untuk kebutuhan hidupnya;
c.       Keadilan dalam Pemerintahan ialah semua warga Negara mempunyai kedudukan yang sama di dalam Pemerintahan, tidak ada diskriminasi kerena perbedaan bahasa, suku bangsa dan sebagainya.
      b.      Prinsip-Prinsip Hukum Islam
Kata Prinsip berarti asas yakni kebenaran yang menjadi pokok dasar orang berfikir, bertindak dan sebagainya. Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip hukum Islam ialah cita-cita yang menjadi pokok dasar dan landasan hukum Islam, yang antara lain :
1.      Tauhid.
Ø  Tauhid (Ketuhanan Yang Maha Esa), ialah yang menghimpun seluruh umat manusia kepada Tuhan Yang Maha esa.
2.      Berkomunikasi Langsung.
Ø  Berkomunikasi langsung dengan Allah tanpa perantara.
3.      Menghargai Fungsi Akal
Ø  Menghargai fungsi akal, sehingga seseorang menjadi mukallaf (dibebani kewajiban) atau tidak tergantung kepada sehat/tidaknya akal pikirannya.
4.      Menyempurnakan Iman.
Ø  Menyempurnakan akidah/iman dengan akhlak yang mulia yang dapat membersihkan jiwa dan meluruskan kepribadian seorang.
5.      Menjadikan Kewajiban untuk Membersihkan Jiwa.
Ø  Menjadikan segala macam beban (kewajiban) agama demi memperbaiki dan mensucikan jiwa manusia dan bukan untuk menghancurkan dan menundukkan badan.
6.      Memperhatikan Kepentingan Agama dan Dunia.
Ø  Memperhatikan kepentingan agama dan dunia dalam membuat hukum.
7.      Persamaan dan Keadilan.
Ø  Prinsip persamaan dan Keadilan, yang memperlakukan semua manusia sama dihadapan Allah, dan diahadapan hukum dan pemerintahan. Tidak ada diskriminasi karena perbedaan bangsa, suku, bangsa, bahasa, jenis kelamin, agama dan kepercayaan, adat-istiadat, dan sebagainya.
8.      Amar, Ma’ruf Nahi Munkar.
Ø  Prinsip amar ma’ruf (mengajak kebaikan) dan nahi munkar (mencegah kejahatan).
9.      Musyawarah.
Ø  Prinsip Musyawarah merupakan sdalah satu prinsip hukum Islam yang penting, karena melalui musyawarah para ulama dapat mencapai, kesepakatan mengenai hukum suatu masalah, yang disebut ijma’ bayani dan ijma itu merupakan salah satu sumber hukum Islam yang penting.
10.  Toleransi.
Ø  Prinsip toleransi yang menjamin kemerdekaan dan kebebasan beragama dan kepercayaan, dan menjamin kebebasan beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
11.  Kemerdekaan dan Kebebasan.
Ø  Prinsip kemerdekaan dan kebebasan, baik mengenai keyakinan/kepercayaan, kehendak, pendapat/pikiran.
12.  Hidup Gotong royong.
Ø  Prinsip hidup gotong royong dalam masyarakat, dan dengan prinsip ini, Islam mewajibkan orang kaya mengeluarkan zakat harta bendanya untuk diberikan kepada mustahiq-nya, terutama fakir miskin. Zakat itu merupakan hak fakir miskin dan mustahiqin lainnya, sehingga kalau si kaya tidak mau memberikan zakatnya, Pemerintah berhak mengambilnya secara paksa untuk diteruskan kepada para mustahiqnya.

5.      Hikmah dan Mashlahah dalam Pensyari’atan Hukum Islam
            a.       Pengertian Syari’at
Ø  Syari’at ialah Hukum, Undang-Undang, Peraturan-Peraturan dalam agama Islam yang diturunkan Allah SWT. Syari’at Islam juga disebut hukum syara’ yaitu mengatur hubungan antara sesam muslimdan bukan muslim, antara manusia dengan kehidupannya dan antara manusia dengan alam semesta.
Ø  Syari’at menurut bahasa ialah telah masuk ke dalam air atau telah meminum air dengan kedua tangannya, jalan ke arah air, tempat keluarnya mata air. Pengertian air yang dimaksud ialah suatu perkara yang diperlukan oleh manusia seluruhnya dimana manusia memerlukan air untuk kehidupannya dan untuk menjamin supaya kehidupan dapat diteruskan.
b.      Tujuan Syari’at.
Ø  Setiap syari’at yang diperintah Allah SWT. Adalah wajib bagi setiap mukallaf untuk mengerjakannya. Setiap suruhan Allah tersebut mengandung tujuan-tujuan tertentu agar umatnya merasa tidak sia-sia untuk melaksanakan setiap suruhanNya. Adapun tujuan-tujuan tersebut antara lain :
1.      Untuk menyucikan jiwa agar setiap muslim memperoleh kebaikan dan menjauhkan diri kita dari keburukan. Ibadah-ibadah yang diperintahkan oleh Allah dapat mebersihkan jiwa dari kotoran-kotoran yang melekat pada manusia.
2.      Untuk menegakkan keadilan dalam masyarakat Islam yaitu adil dalam urusan antara sesame muslim. Keadilan dalam Islam menyangkut hal-hal dalam bidang hukum, peradilan dan persaksian serta adil dalam bermuamalah (bergaul).
3.      Untuk mencari kemaslahatan yaitu yang harus terdapat pada setiap hukum Islam. Maslahah yang dikehendaki dalam Islam adalah maslahah yang hakiki yaitu yang menyangkut kepentingan umum, tidak khusus dan ia tidak didorong oleh hawa nafsu.
c.       Pengertian Hikmah.
Ø  Hikmah ialah manfaat yang Nampak dengan jelas ketika syari’ (Allah) memerintahkan sesuatu atau terhindarnya kerusakan ketika syari’ melarangnya. Hikmah dapat juga diartikan dorongan atau tujuan yang dimaksudkan oleh syara’ untuk mencari kemanfaatan yang harus didayagunakan dan kemafsadatan yang harus dihindari atau dikurangi.
Ø  Perbedaan antara Hikmah dan Illat,
è Illat ialah pokok perkara yang menjadi landasan qiyas. Pengertian lainnya ialah suatu sifat khas yang dipandang sebagai dasar penetapan hukum. Sehingga dapat dilihat perbedaan antara illat dan hikmah yaitu illat merupakan satu hal yang jelas dan pasti sedangkan hikmah merupakan suatu hal yang masih diperkira-kirakan.
d.      Pengertian Maslahah.
Ø  Maslahah merupakan salah satu dari sumber hukum Islam yang mana tiap-tiap hukum tersebut berdasarkan kebaikan. Pada awalnya hukum itu tidak disentuh oleh syara’ sedangkan ia mendatangkan faedah atau menolak mudharat yang menjadi tujuan utama bagi segenap manusia.

Ø  Maslahah juga diartikan dengan memelihara maksud syara’ yang terdapat pada mahluk yaitu memelihara agama, diri (nyawa dan anggota tubuh), akal, keturunan (nasab) dan harta.

Thursday, 7 March 2013

KEALPAAN (CULPA)


(CULPA dalam arti sempit), SCHULD, NALATIGHEID, RECKLESSNESS, NEGLIGENCE, FAHRLASSIGKEIT, SEMBRONO, TELEDOR).
Disamping sikap batin berupa kesengajaan ada pula sikap batin yang berupa kealpaan. Hal ini terdapat dalam beberapa delik. Akibat ini timbul karena ia alpa, ia sembrono, teledor, ia berbuat kurang hati-hati atau kurang penduga-duga.
Dalam buku II KUHP terdapat beberapa pasal yang memuat unsur kealpaan. Ini adalah delik-delik culpa (culpose delicten). Delik-delik itu dimuat antara lain dalam :
Pasal 188
:
Karena kealpaannya menimbulkan peletusan, kebakaran dst
Pasal 231 (4)
:
Karena kealpaannya sipenyimpan menyebabkan hilangnya dan sebagainnya barang yang disita
Pasal 359
:
Karena kealpaannya menyebabkan matinya orang
Pasal 360
:
Karena kealpaannya menyebabkan orang luka berat dsb.
Pasal 409
:
Karena kealpaannya menyebabkan alat-alat perlengkapan (jalan api dsb) hancur dsb.
Perkataan culpa dalam arti luas berarti kesalahan pada umumnya, sedang dalam arti sempit adalah bentuk kesalahan yang berupa kealpaan. Suatu keadaan, yang sedemikian membahayakan keamanan orang atau barang, atau mendatangkan kerugian terhadap seseorang yang sedemikian besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi, sehingga umdang-undang juga bertindak terhadap larangan penghati-hati, sikap sembrono (teledor), pendek kata “ schuld” (kealpaan yang menyebabkan keadaan tadi)”.(er zijn feiten, die de algemene vefligheid van onen of goederen zozeer in gevaar brengen of zo groot en onherstelbaar nadeel bijzondere personen berokkenen, dat de wet ook de onvoorzichtigheid, de tigheid, het gebrek aan voorzorg, in een woord, schuld, waar het feit prong heeft, moet tekeer gaan”)
1.    Pengertian kealpaan atau culpa (dalam arti sempit)
Menurut M.v.T kealpaan disatu pihak berlawanan benar-benar dengan kesengajaan dan dipihal lain dengan hal yang kebetulan (toevel atau caous).kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan dari pada kesengajaan, akan tetapi bukannya kesengajaan yang ringan.
Beberapa penulis menyebut beberapa syarat untuk adanya kealpaan:
a.       Hazenwinkel – Suringa
Ilmu pengetahuan hukum dan jurispruden mengartikan “schuld” (kealpaan) sebagai:
1.  
kekurangan penduga – duga atau
2.  
kekurangan penghati-hati.

b.       Van hamel
Kealpaan mengandung dua syarat:
1.   
tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum.
2.   
tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.

c.       Simons:
Pada umumnya “schuld” (kealpaan) mempunyai dua unsur :
1.    Tidak adanya penghati-hati, di samping
2.    dapat diduganya akibat
d.       Pompe.
Ada 3 macam yang masuk kealpaan (anachtzaamheid):
1. Dapat mengirakan (kunnen venvachten) timbulnya akibat
2. Mengetahui adanya kemungkinan (kennen der mogelijkheid)
3. Dapat mengetahui adanya kemungkinan (kunnen kennen van de mogelijkheid)
Tetapi nomor 2 dan 3 hanya apabila mengetahui atau dapat mengetahuinyaitu menyangkut juga kewajiban untuk menghindarkan perbuatannya (=untuk tidak melakukan perbuatan).
Kealpaan orang tersebut harus ditentukan secara normatif, dan tidak secara fisik atau psychis. Tidaklah mungkin diketahui bagaimana sikap batin seseorang yang sesungguh-sungguhnya maka haruslah ditetapkan dari luar bagaimana seharusnya ia berbuat  dengan mengambil ukuran sikap batin orang pada umunya apabila ada dalam situasi yang sama dengan si-pelaku itu.
a.    “Orang pada umunya” ini berarti bahwa tidak boleh orang yang paling cermat, paling hati-hati, paling ahli dan sebagainya.
b.    Untuk menentukan adanya kealpaan ini harus dilihat peristiwa demi peristiwa. Yang harus memegang ukuran normatif dari kealpaan itu adalah Hakim. Undang-undang mewajibkan seseorang untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu. Misalnya, dalam peraturan lalu-lintas ada ketentuan bahwa” di simpangan jalan, apabila datangnya bersamaan waktu maka kendaraan dari kiri harus didahulukan”.
Apabila seorang pengendara dalam hal ini berbuat lain ini berbuat lain daripada apa yang diatur itu, maka apabila perbuatannya itu mengakibatkan tabrakan. Sehingga orang lain luka berat, maka ia dapat dikatakan karena kealpaannya mengakibatkan orang lain (Pasal. 360 (1) K.U.H.P)
Dalam hubungan ini VOS mengemukakan, bahwa dalam delik-delik culpa sifat melawan hukum telah tersimpul di dalam culpa itu sendiri.
Ia menyatakan antara lain “Memang culpa tidak mesti meliputi dapat dicelanya si-pelaku, namun culpa menunjukkan kepada tidak patutnya perbuatan itu dan jika perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum, maka tidaklah mungkin perbuatan itu perbuatan yang abnormal, jadi tidak mungkin ada culpa.
     Dalam delik culpoos tidak mungkin diajukan alasan pembenar (rechtvaar digingsgrond).
c.    Untuk adanya pemidanaan perlu adanya kekurangan hati-hati yang cukup besar, jadi harus culpa lata dan bukanya culpa levis (kealpaan yang sangat ringan).
  1. Bentuk kealpaan
Pada dasarnya orang berfikirdan berbuat secara sadar. Pada delik culpoos kesadaran si- pelaku tidak berjalan secara tepat. Karena Bentuk kealpaan dapat dibagi dalam 2 (dua bentuk) yaitu
  1. Kealpaan yang disadari (bewuste schuld)
Disini sipelaku dapat menyadari tentang apa yang dilakukan beserta akibatnya, akan tetapi ia percaya dan mengharap-harap bahwa akibatnya tidak akan terjadi
  1. Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld).
Dalam hali ini si pelaku melakukan sesuatu yang tidak menyadari kemungkinan akan timbulnya sesuatu akibat, padahal seharusnya ia dapat menduga sebelumnya.
     Perbedaan itu bukanlah berarti bahwa kealpaan yang disadari itu sifatnya lebih berat dari pada kealpaan yang tidak disadari. Kerapkali justru karena tanpa berfikir akan kemungkinan timbulnya akibat malah terjadi akibat yang sangat berat. VAN HATTUM mengatakan, bahwa “kealpaan yang disadari itu adalah suatu sebutan yang mudah untuk bagian kesadaran kemungkinan (yang ada pada pelaku), yang tidak merupakan dolus eventualis”. Hemat kami perbedaan tersebut tidak banyak artinya. Kealpaan merupakan pengertian yang normatif bukan suatu pengertian yang menyatakan keadan (bukan feitelijk begrip). Penentuan kealpaan seseorang harus dilakukan dari luar, harus disimpulkan dari situasi tertentu, bagaimana saharusnya si-pelaku itu berbuat.
  1. Delik “pro parte dolus pro parte culpa”
Delik-delik yang di-rumuskan dalam pasal 359, 360, 188, 409 dapat disebut delik-delik culpoos dalam arti yang sesungguhnya. Disamping itu ada delik-delik yang di dalam perumusanya memuat unsur kesengajaan dan kealpaan sekaligus, sedang ancaman pidananya sama. Muljatno menamakan delik-delik tersebut sebagai delik yang salah satu unsurnya diculpakan.
Misalnya:
Pasal 480 (penadahan)
Pasal 483, 484 (delik yang menyangkut pencetak dan penerbit).
Pasal 287, 288, 292 (delik-delik kesusilaan).
Rumusan yang dipakai dalam delik-delik tersebut ialah “diketahui” atau “mengerti” bentuk kesengajaan dan “sepatutnya harus di-duga” atau “seharusnya menduga bentuk kealpaan. Pada delik-delik ini kesengajaan atau kealpaan hanya tertuju kepada salah tertuju kepada salah satu unsur dari delik itu.
-       Pada delik penadahan ditujukan kepada hal “bahwa barang yang bersangkutan diperoleh dari kejahatan”.
-       Pada delik-delik kesusilaan (pasal 287 dan pasal 288) ditujukan kepada “umur-wanita belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tak ternyata, bahwa belum mampu dikawin”.
-       Pada delik Pasal 292 ditujukan kepada unsur “ belum cukup umur dari orang yang sama kelamin itu”.
-       Pada delik-delik Pasal 483 dan Pasal 484 ditujukan kepada unsur “pelaku/orang yang menyuruh cetak pada saat penerbitan, tidak dapat dituntut, atau menetap diluar Indonesia.
Dalam surat dakwaan:
a. Cukup dicantumkan uraian kata-kata presis seperti apa yang dirumuskan dalam undang-undang, jadi misalnya untuk delik dalam pasal 480 : benda), yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa diperoleh dari kejahatan”.
b. Ada dan tidak adanya kealpaan itu harus dibuktikan dalam pemeriksaan pengadilan ditetapkan oleh Hakim.
c.  Pembuktiannya cukup secara normatif, jadi tidak dilihat apakah terdakwa mengetahui.
Arrest Hooggerchtshof (dalam tingkat kasasi) yang membatalkan keputusan Raad van Justitie Medan, yang membebaskan terdakwa yang dituduh melakukan “schuldheling” (pasal 480), Hooggerechtshof (H.G.H) menyatakan bahwa wet tidak mengharuskan adanya dugaan pada terdakwa sepatutnya harus menduga bahwa barang itu berasal dari kejahatan, dengan sama sekali tidak menagnggap penting apakah terdakwa betul-betul mempunyai dugaan atau tidak.
Kelapaan orang lain tidak dapat meniadakan kealpaan dari terdakwa.   Contoh :
a.       terdakwa sebagai pengendara mobil tetap dipidana karena ia pada malam hari menabrak gerobag yang tidak memakai lampu. Pengendara gerobag alpa, tetapi ini tidak meniadakan kealpaan terdakwa.
Seorang pengemudi mobil pada pagi hari jam 03.00 melanggar sekaligus 4 orang yang sedang tidur di tengah jalan raya. Dalam kasus inipun tidak boleh dilihat “kealpaan orang lain”, akan tetapi tetap harus ditinjau ada dan tidak adanya kealpaan pada pengemudi mobil, apakah ia kurang hati-hati dan kurang-menduga-duga ? bagaimana keadaan mobilnya ? kalau lampunya kurang terang, maka ini merupakan indikasi dari kealpaannya. Apabila lampunya normal, maka seharusnya ia dapat mengetahui orang yang tidur di jalan itu. Kalau tidak, maka ini merupakan kealpaan.