Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court - ICC) didirikan berdasarkan Statuta Roma yang diadopsi pada tanggal 17 Juli 1998 oleh 120 negara yang berpartisipasi dalam “United Nations Diplomatic Conference on Plenipotentiaries on the Establishment of an International Criminal Court” di kota Roma, Italia. Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional mengatur kewenangan untuk mengadili kejahatan paling serius yang mendapatkan perhatian internasional. Kejahatan yang dimaksud terdiri dari empat jenis, yaitu kejahatan genosida (the crime of genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan agresi (the crime of aggression).
Berbeda dengan mahkamah internasional sebelumnya yang sifatnya ad hoc, seperti International Criminal Tribunal for fomer Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR), Mahkamah Pidana Internasional merupakan pengadilan yang permanen (Pasal 3(1) Statuta Roma). Mahkamah ini hanya berlaku bagi kejahatan yang terjadi setelah Statuta Roma berlaku (Pasal 24 Statuta Roma).
Mahkamah Pidana Internasional merupakan mahkamah yang independen dan bukan merupakan badan dari PBB karena dibentuk berdasarkan perjanjian multilateral, meskipun dalam beberapa kondisi tertentu ada relasi peran antara Mahkamah dengan PBB (Pasal 2 Statuta Roma).
Statuta Roma memuat banyak pengaman yang menjamin penyelidikan dan penuntutan hanya dilakukan untuk kepentingan keadilan, bukan kepentingan politik. Meskipun Dewan Keamanan PBB dan negara dapat merujuk kepada Jaksa Penuntut Mahkamah Pidana Internasional, keputusan untuk melaksanakan penyelidikan merupakan wewenang Jaksa Penuntut. Namun, Jaksa Penuntut tidak hanya akan bergantung pada Dewan Keamanan PBB atau rujukan negara saja, tetapi juga akan mendasarkan penyelidikannya berdasarkan informasi dari berbagai sumber. Jaksa Penuntut harus meminta kewenangan dari Pre-Trial Chamber baik untuk melakukan penyelidikan maupun penuntutan dan permintaan tersebut dapat digugat oleh negara.
A. Proses Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (ICC)
Tahun 1950 PBB melalui Majelis Umum membentuk sebuah panitia yang diberi nama Committee on International Criminal Jurisdiction, dimana panitia ini bertugas untuk menyiapkan sebuah Statuta Mahkamah Pidana Internasional.
Panitia ini menyelesaikan tugasnya setahun kemudian tetapi kurang mendapatkan perhatian dari anggota PBB. Permasalahan ini tenggelam seiring dengan konfrontasi politik dan ideologi selama perang dingin. Tetapi dipertengahan tahun 1980-an, Pemimpin Uni Sovyet, Gorbachev memunculkan kembali ide pendirian Mahkamah Pidana Internasional terutama ditujukan kepada gerakan melawan terorisme.
Tahun 1989 ide untuk mendirikan Mahkamah Pidana Internasional kembali digulirkan dengan usulan delegasi Trinidad dan Tobago yang mengatasnamakan enam negara lainnya di wilayah Karibia pada Sidang Komite VI Majelis Umum PBB. Usulan Trinidad dan Tobago adalah untuk mengaktifkan kembali kerja International Law Commission (ILC) untuk menyusun kembali rancangan Statuta Mahkamah Pidana Internasional berkaitan dengan usaha untuk memberantas perdagangan narkotika internasional. Selanjutnya usulan ini ditanggapi dengan baik oleh Majelis Umum PBB
Pada tahun 1992, Majelis Umum PBB sekali lagi mengeluarkan resolusi untuk meminta ILC menyusun rancangan Statuta Mahkamah Pidana Internasional. Baru pada tahun 1994, ILC menyelesaikan tugasnya menyusun rancangan Statuta Mahkamah Pidana Internasional dan kemudian untuk membahasnya dibentuklah sebuah komite yang dibentuk oleh Majelis Umum PBB dengan nama Ad Hoc Committe on the Establishment of International Criminal Court.
Pada saat yang sama ILC merekomendasikan sebuah konferensi diplomatik untuk mempertimbangkan pengadopsian rancangan statuta tersebut namun tertunda karena masih adanya ketidak sepakatan mengenai rancangan tersebut.
Selanjutnya pada tahun 1995, Komite Ad Hoc diganti dengan Preparatory Committe on the Establihment of International Criminal Court yang mempersiapkan segala sesuatu bagi pembentukan ICC. Hasilnya adalah digelarnya sebuah konferensi diplomatik PBB atau lengkapnya United Nations Conference of Plenipotentiaries on The Establishment of an International Criminal Court, di Roma, Italia tanggal 15-17 Juli 1998 yang dihadiri 120 negara yang kemudian mengadopsi Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional.
B. Peran Indonesia dalam Proses Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional
Dalam proses pengadopsian Statuta Roma, Indonesia terlibat secara aktif dengan mengirimkan delegasi untuk mengikuti Konferansi Diplomatik di Roma pada bulan Juli 1998, ketika Statuta Roma itu disahkan. Pada saat bersejarah itu, Indonesia menyatakan dukungannya atas pengesahan Statuta Roma dan pembentukan Mahkamah Pidana Internasional . Indonesia juga menyatakan niatnya untuk meratifikasi Statuta Roma. Tahun 1999, Indonesia menyampaikan pernyataan positif kepada Komite Ke-6 Majelis Umum PBB dalam pandangannya mengenai Statuta Roma. Indonesia menyatakan bahwa “partisipasi universal harus menjadi ujung tombak ICC ” dan bahwa “Pengadilan menjadi bentuk hasil kerjasama seluruh bangsa tanpa memandang perbedaan politik, ekonomi, sosial dan budaya.” Dalam pernyataan yang sama, Indonesia menyatakan bahwa Statuta Roma menambah arti penting pada nilai-nilai yang terkandung dalam Piagam PBB yang meliputi persepakatan, imparsialitas, non-diskriminasi, kedaulatan negara dan kesatuan wilayah. Dalam hal ini, Indonesia menegaskan bahwa Mahkamah berusaha untuk melengkapi dan bukan menggantikan mekanisme hukum nasional.
Pada tahun 2004, Presiden Megawati Sukarnoputeri mengesahkan Rencana Aksi Nasional tentang Hak-Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2004 -2009. Rancangan tersebut menyatakan bahwa Indonesia bermaksud meratifikasi Statuta Roma pada tahun 2008. Untuk melaksanakan Rancangan tersebut, Presiden membentuk sebuah Komite Nasional. Dalam beberapa kesempatan, pemerintah juga menyatakan bahwa Statuta Roma sedang dipelajari dan bahwa legislasi nasional perlu dibuat demi keperluan kerjasama dengan Mahkamah sebelum ratifikasi dilaksanakan.
Pada Agustus 2006, perwakilan parlemen Indonesia berpartisipasi dalam konferensi regional dengan seluruh parlemen Asia tentang Mahkamah Pidana Internasional dan berjanji akan bekerja untuk mengupayakan ratifikasi/aksesi pada tahun 2008 atau lebih cepat. Tahun 2007 telah didirikan pula Parliamentarian for Global Action (PGA) Indonesia Chapters, dimana sekretariat internasional PGA selama ini sangat aktif mendukung universalitas Mahkamah Pidana Internasional .
C. Pengadilan Kejahatan Internasional: Dari Nuremberg Hingga Den Haag
Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional memiliki latar belakang dan erat hubungannya dengan pembentukan beberapa pengadilan kejahatan internasional sebelumnya. Pertama, pembentukan pengadilan kejahatan internasional setelah Perang Dunia Kedua usai, yaitu International Military Tribunal (IMT) atau dikenal sebagai Nuremberg Tribunal pada tahun 1945 dan International Military Tribunal for the Far East (IMTFE) atau dikenal sebagai Tokyo Tribunal pada 1946. Kedua, pembentukan mahkamah kejahatan internasional setelah usai perang dingin, yaitu International Criminal Tribunal for fomer Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) yang berkedudukan di Den Haag. Keempat pengadilan kejahatan internasional tersebut bersifat ad hoc. Pembentukan IMT didasarkan pada insiatif sekutu yang memenangkan perang untuk mengadili para pemimpin Nazi-Jerman, baik sipil maupun militer, sebagai penjahat perang dengan terlebih dahulu dituangkan dalam London Agreement tanggal 8 Agustus 1945. Sedangkan IMTFE dibentuk berdasarkan Proklamasi Panglima Tertinggi Tentara Sekutu Jenderal Douglas MacArthur pada 1946.
Kedua pengadilan memiliki persaman dan perbedaan. Persamaan tersebut adalah bahwa charter IMTFE merupakan hasil adopsi dari IMT. Selain itu, semangat dari pembentukan kedua mahkamah kejahatan internasional itu didasari oleh kedudukan sekutu sebagai pemenang dalam Perang Dunia Kedua, sehinggga dikenal dengan keadilan bagi pemenang perang (victor’s justice).
Sedangkan perbedaannya adalah bahwa sekalipun kedua charter memiliki isi yang sama, namun perangkat dan proses persidangannya sangat berbeda jauh, sehingga, menghasilkan perbedaan yang cukup signifikan menyangkut putusan persidangan. Pada IMT, terdapat beberapa terdakwa yang diputus bebas, tetapi pada IMTFE tidak seorang pun lolos dari hukuman.
Perbedaan lainnya terletak pada dasar hukum dari pembentukannya. Pada IMT, seluruh pemimpin Nazi-Jerman duduk di kursi pesakitan, sedangkan pada IMTFE, Kaisar Hirohito selaku pemimpin tertinggi Jepang tidak disentuh sama sekali. Ini disebabkan kesepakatan antara Pemerintah Jepang dengan Sekutu, dalam hal ini Amerika Serikat, untuk tidak mengganggu eksistensi Hirohito sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Jepang. Berdasarkan perbedaan tersebut dapat disimpulkan bahwa kedua pengadilan tersebut tidak memiliki sifat independent dan impartial.
Berikutnya adalah pembentukan pengadilan kejahatan internasional oleh Dewan Keamanan PBB untuk bekas Yugoslavia (ICTY) dan Rwanda (ICTR). Kedua pengadilan ini juga memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya, kedua pengadilan dibentuk oleh lembaga yang sama, yaitu Dewan Keamanan PBB melalui sebuah resolusi. Sedangkan perbedaannya adalah, pembentukan ICTY merupakan hasil dari evaluasi masyarakat internasional melalui Dewan Keamanan PBB terhadap pelanggaran berat HAM yang terjadi di bekas Yugoslavia. Pembentukannya sendiri tidak mendapatkan dukungan, terutama dari “Yugoslavia baru” saat itu yang terdiri dari Serbia dan Montenegro.
Telah digelarnya peradilan terhadap para penjahat dalam Perang Dunia Kedua tidak membuat pemikiran untuk membuat sebuah institusi peradilan permanen memudar untuk mengadili para pelaku kejahatan internasional. Hal ini disebabkan karena mekanisme pengadilan internasional yang bersifat ad hoc mempunyai kelemahan-kelemahan yang mendasar, yaitu:
(1) Victor’s justice
Dari keempat pengadilan internasional yang telah diselenggarakan, semuanya mempunyai kesamaan, yaitu yang dianggap bertanggung jawab atas kejahatan yang terjadi adalah individu-individu dari negara yang kalah perang, sementara bagi negara-negara pemenang perang akan terbebas dari tanggung jawab, meskipun mereka juga melakukan kejahatan-kejahatan serupa. Inilah mengapa keadilan yang dicapai melalui keempat proses pengadilan tersebut dianggap sebagai victor’s justice (keadilan bagi pemenang).
(2) Selective justice
Kelemahan lain dari mekanisme pengadilan internasional ad hoc adalah terjadinya keadilan “tebang pilih” (selective justice). Maksudnya adalah tidak semua kasus kejahatan internasional paling serius mempunyai kesempatan yang sama untuk dibentuk pengadilan internasional, hanya kasus-kasus tertentu yang dianggap mempengaruhi stabilitas dan keamanan internasional saja yang akan diadili, dan hanya kasus-kasus yang melibatkan negara-negara penting yang mempunyai kesempatan untuk diselesaikan. Artinya, akan ada pelaku yang tidak ditindak, dan akan ada korban yang tidak mendapatkan hak-haknya atas keadilan dan kompensasi. Lebih jauh, kondisi seperti ini tidak banyak memberikan sumbangan untuk menghentikan praktek-praktek impunitas di berbagai penjuru dunia.
(3) Tidak adanya efek jera dan pencegahan di masa mendatang
Meskipun terdapat kemajuan yang pesat dari kedua pengadilan kejahatan internasional pasca Perang Dunia Kedua, kedua pengadilan berikutnya masih memiliki keterbatasan yang sama. Di antaranya, tidak adanya kerjasama dengan negara di mana kejahatan internasional yang serius terjadi; tidak bisa menghentikan konflik yang sedang berlangsung dan tidak bisa mencegah berulangnya konflik; serta jangkauan dari penuntutan terbatas pada kategori konflik yaitu konflik internal atau internasional.
(4) Muatan politis
Lebih dari setengah abad sejak peradilan Nuremberg dan Tokyo, banyak negara gagal membawa mereka yang bertanggung-jawab atas genosida, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang ke pengadilan. Ini disebabkan karena mekanisme pembentukan pengadilan internasional ad hoc HANYA bisa dilakukan melalui Dewan Keamanan PBB. Artinya, “nasib” keadilan sangat tergantung pada komposisi anggota Dewan Keamanan PBB dan penggunaan hak veto oleh anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Dalam konteks ini tentu saja kepentingan politik akan lebih banyak berperan ketimbang pertimbangan hukum dan keadilan.
Berangkat dari alasan-alasan di atas, maka diperlukan sebuah mekanisme pengadilan internasional yang relatif bebas dari intervensi politik internasional, menjunjung tinggi kedaulatan negara, dan bersifat independen dan berlaku lebih fair, bahkan kepada pelaku.