"Ubi Societas Ibi Ius."

Thursday, 7 March 2013

KEALPAAN (CULPA)


(CULPA dalam arti sempit), SCHULD, NALATIGHEID, RECKLESSNESS, NEGLIGENCE, FAHRLASSIGKEIT, SEMBRONO, TELEDOR).
Disamping sikap batin berupa kesengajaan ada pula sikap batin yang berupa kealpaan. Hal ini terdapat dalam beberapa delik. Akibat ini timbul karena ia alpa, ia sembrono, teledor, ia berbuat kurang hati-hati atau kurang penduga-duga.
Dalam buku II KUHP terdapat beberapa pasal yang memuat unsur kealpaan. Ini adalah delik-delik culpa (culpose delicten). Delik-delik itu dimuat antara lain dalam :
Pasal 188
:
Karena kealpaannya menimbulkan peletusan, kebakaran dst
Pasal 231 (4)
:
Karena kealpaannya sipenyimpan menyebabkan hilangnya dan sebagainnya barang yang disita
Pasal 359
:
Karena kealpaannya menyebabkan matinya orang
Pasal 360
:
Karena kealpaannya menyebabkan orang luka berat dsb.
Pasal 409
:
Karena kealpaannya menyebabkan alat-alat perlengkapan (jalan api dsb) hancur dsb.
Perkataan culpa dalam arti luas berarti kesalahan pada umumnya, sedang dalam arti sempit adalah bentuk kesalahan yang berupa kealpaan. Suatu keadaan, yang sedemikian membahayakan keamanan orang atau barang, atau mendatangkan kerugian terhadap seseorang yang sedemikian besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi, sehingga umdang-undang juga bertindak terhadap larangan penghati-hati, sikap sembrono (teledor), pendek kata “ schuld” (kealpaan yang menyebabkan keadaan tadi)”.(er zijn feiten, die de algemene vefligheid van onen of goederen zozeer in gevaar brengen of zo groot en onherstelbaar nadeel bijzondere personen berokkenen, dat de wet ook de onvoorzichtigheid, de tigheid, het gebrek aan voorzorg, in een woord, schuld, waar het feit prong heeft, moet tekeer gaan”)
1.    Pengertian kealpaan atau culpa (dalam arti sempit)
Menurut M.v.T kealpaan disatu pihak berlawanan benar-benar dengan kesengajaan dan dipihal lain dengan hal yang kebetulan (toevel atau caous).kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan dari pada kesengajaan, akan tetapi bukannya kesengajaan yang ringan.
Beberapa penulis menyebut beberapa syarat untuk adanya kealpaan:
a.       Hazenwinkel – Suringa
Ilmu pengetahuan hukum dan jurispruden mengartikan “schuld” (kealpaan) sebagai:
1.  
kekurangan penduga – duga atau
2.  
kekurangan penghati-hati.

b.       Van hamel
Kealpaan mengandung dua syarat:
1.   
tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum.
2.   
tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.

c.       Simons:
Pada umumnya “schuld” (kealpaan) mempunyai dua unsur :
1.    Tidak adanya penghati-hati, di samping
2.    dapat diduganya akibat
d.       Pompe.
Ada 3 macam yang masuk kealpaan (anachtzaamheid):
1. Dapat mengirakan (kunnen venvachten) timbulnya akibat
2. Mengetahui adanya kemungkinan (kennen der mogelijkheid)
3. Dapat mengetahui adanya kemungkinan (kunnen kennen van de mogelijkheid)
Tetapi nomor 2 dan 3 hanya apabila mengetahui atau dapat mengetahuinyaitu menyangkut juga kewajiban untuk menghindarkan perbuatannya (=untuk tidak melakukan perbuatan).
Kealpaan orang tersebut harus ditentukan secara normatif, dan tidak secara fisik atau psychis. Tidaklah mungkin diketahui bagaimana sikap batin seseorang yang sesungguh-sungguhnya maka haruslah ditetapkan dari luar bagaimana seharusnya ia berbuat  dengan mengambil ukuran sikap batin orang pada umunya apabila ada dalam situasi yang sama dengan si-pelaku itu.
a.    “Orang pada umunya” ini berarti bahwa tidak boleh orang yang paling cermat, paling hati-hati, paling ahli dan sebagainya.
b.    Untuk menentukan adanya kealpaan ini harus dilihat peristiwa demi peristiwa. Yang harus memegang ukuran normatif dari kealpaan itu adalah Hakim. Undang-undang mewajibkan seseorang untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu. Misalnya, dalam peraturan lalu-lintas ada ketentuan bahwa” di simpangan jalan, apabila datangnya bersamaan waktu maka kendaraan dari kiri harus didahulukan”.
Apabila seorang pengendara dalam hal ini berbuat lain ini berbuat lain daripada apa yang diatur itu, maka apabila perbuatannya itu mengakibatkan tabrakan. Sehingga orang lain luka berat, maka ia dapat dikatakan karena kealpaannya mengakibatkan orang lain (Pasal. 360 (1) K.U.H.P)
Dalam hubungan ini VOS mengemukakan, bahwa dalam delik-delik culpa sifat melawan hukum telah tersimpul di dalam culpa itu sendiri.
Ia menyatakan antara lain “Memang culpa tidak mesti meliputi dapat dicelanya si-pelaku, namun culpa menunjukkan kepada tidak patutnya perbuatan itu dan jika perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum, maka tidaklah mungkin perbuatan itu perbuatan yang abnormal, jadi tidak mungkin ada culpa.
     Dalam delik culpoos tidak mungkin diajukan alasan pembenar (rechtvaar digingsgrond).
c.    Untuk adanya pemidanaan perlu adanya kekurangan hati-hati yang cukup besar, jadi harus culpa lata dan bukanya culpa levis (kealpaan yang sangat ringan).
  1. Bentuk kealpaan
Pada dasarnya orang berfikirdan berbuat secara sadar. Pada delik culpoos kesadaran si- pelaku tidak berjalan secara tepat. Karena Bentuk kealpaan dapat dibagi dalam 2 (dua bentuk) yaitu
  1. Kealpaan yang disadari (bewuste schuld)
Disini sipelaku dapat menyadari tentang apa yang dilakukan beserta akibatnya, akan tetapi ia percaya dan mengharap-harap bahwa akibatnya tidak akan terjadi
  1. Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld).
Dalam hali ini si pelaku melakukan sesuatu yang tidak menyadari kemungkinan akan timbulnya sesuatu akibat, padahal seharusnya ia dapat menduga sebelumnya.
     Perbedaan itu bukanlah berarti bahwa kealpaan yang disadari itu sifatnya lebih berat dari pada kealpaan yang tidak disadari. Kerapkali justru karena tanpa berfikir akan kemungkinan timbulnya akibat malah terjadi akibat yang sangat berat. VAN HATTUM mengatakan, bahwa “kealpaan yang disadari itu adalah suatu sebutan yang mudah untuk bagian kesadaran kemungkinan (yang ada pada pelaku), yang tidak merupakan dolus eventualis”. Hemat kami perbedaan tersebut tidak banyak artinya. Kealpaan merupakan pengertian yang normatif bukan suatu pengertian yang menyatakan keadan (bukan feitelijk begrip). Penentuan kealpaan seseorang harus dilakukan dari luar, harus disimpulkan dari situasi tertentu, bagaimana saharusnya si-pelaku itu berbuat.
  1. Delik “pro parte dolus pro parte culpa”
Delik-delik yang di-rumuskan dalam pasal 359, 360, 188, 409 dapat disebut delik-delik culpoos dalam arti yang sesungguhnya. Disamping itu ada delik-delik yang di dalam perumusanya memuat unsur kesengajaan dan kealpaan sekaligus, sedang ancaman pidananya sama. Muljatno menamakan delik-delik tersebut sebagai delik yang salah satu unsurnya diculpakan.
Misalnya:
Pasal 480 (penadahan)
Pasal 483, 484 (delik yang menyangkut pencetak dan penerbit).
Pasal 287, 288, 292 (delik-delik kesusilaan).
Rumusan yang dipakai dalam delik-delik tersebut ialah “diketahui” atau “mengerti” bentuk kesengajaan dan “sepatutnya harus di-duga” atau “seharusnya menduga bentuk kealpaan. Pada delik-delik ini kesengajaan atau kealpaan hanya tertuju kepada salah tertuju kepada salah satu unsur dari delik itu.
-       Pada delik penadahan ditujukan kepada hal “bahwa barang yang bersangkutan diperoleh dari kejahatan”.
-       Pada delik-delik kesusilaan (pasal 287 dan pasal 288) ditujukan kepada “umur-wanita belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tak ternyata, bahwa belum mampu dikawin”.
-       Pada delik Pasal 292 ditujukan kepada unsur “ belum cukup umur dari orang yang sama kelamin itu”.
-       Pada delik-delik Pasal 483 dan Pasal 484 ditujukan kepada unsur “pelaku/orang yang menyuruh cetak pada saat penerbitan, tidak dapat dituntut, atau menetap diluar Indonesia.
Dalam surat dakwaan:
a. Cukup dicantumkan uraian kata-kata presis seperti apa yang dirumuskan dalam undang-undang, jadi misalnya untuk delik dalam pasal 480 : benda), yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa diperoleh dari kejahatan”.
b. Ada dan tidak adanya kealpaan itu harus dibuktikan dalam pemeriksaan pengadilan ditetapkan oleh Hakim.
c.  Pembuktiannya cukup secara normatif, jadi tidak dilihat apakah terdakwa mengetahui.
Arrest Hooggerchtshof (dalam tingkat kasasi) yang membatalkan keputusan Raad van Justitie Medan, yang membebaskan terdakwa yang dituduh melakukan “schuldheling” (pasal 480), Hooggerechtshof (H.G.H) menyatakan bahwa wet tidak mengharuskan adanya dugaan pada terdakwa sepatutnya harus menduga bahwa barang itu berasal dari kejahatan, dengan sama sekali tidak menagnggap penting apakah terdakwa betul-betul mempunyai dugaan atau tidak.
Kelapaan orang lain tidak dapat meniadakan kealpaan dari terdakwa.   Contoh :
a.       terdakwa sebagai pengendara mobil tetap dipidana karena ia pada malam hari menabrak gerobag yang tidak memakai lampu. Pengendara gerobag alpa, tetapi ini tidak meniadakan kealpaan terdakwa.
Seorang pengemudi mobil pada pagi hari jam 03.00 melanggar sekaligus 4 orang yang sedang tidur di tengah jalan raya. Dalam kasus inipun tidak boleh dilihat “kealpaan orang lain”, akan tetapi tetap harus ditinjau ada dan tidak adanya kealpaan pada pengemudi mobil, apakah ia kurang hati-hati dan kurang-menduga-duga ? bagaimana keadaan mobilnya ? kalau lampunya kurang terang, maka ini merupakan indikasi dari kealpaannya. Apabila lampunya normal, maka seharusnya ia dapat mengetahui orang yang tidur di jalan itu. Kalau tidak, maka ini merupakan kealpaan. 

Friday, 1 March 2013

KESENGAJAAN (DOLUS, INTENT, OPZET, VORSATZ)


Unsur kedua dari kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya (pertanggungjawaban pidana) adalah hubungan batin antara si pelaku terhadap perbuatan, yang dicelakakan kepada sipelaku itu. Hubungan batin ini bisa berupa kesengajaan atau kealpaan.
Apakah yang diartikan dengan sengaja ? KUHP kita tidak memberi definisi. Petunjuk untuk dapat mengetahui arti kesengajaan, dapat diambil dari M.v.T. (Memorie van Toelichting), yang mengartikan “kesengajaan” (opzet) sebagai : “menghendaki dan mengetahui” (willens en wetens). (Pompe : 166). Jadi dapatlah dikatakan, bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu. Misal : seorang Ibu, yang sengaja tidak memberi susu kepada anaknya, menghendaki dan sadar akan perbuatannya.
1.    Teori-teori Kesengajaan
Berhubung dengan keadaan batin orang yang berbuat dengan sengaja, yang berisi menghendaki dan mengetahui itu, maka dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dapat disebut dua teori sebagai berikut:
a.    Teori kehendak (wilstheorie)
      Inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang (Simons, Zevenbergen)
b.    Teori pengetahuan / membayangkan (voorstelling-theorie)
Sengaja berarti membayangkan akan akibat timbulnya akibat perbuatannya; orang tak bisa menghendaki akibat, melainkan hanya dapat membayangkannya. Teori ini menitikberatkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan oleh sipelaku ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia akan berbuat. (Frank).
Terhadap perbuatan yang dilakukan sipelaku kedua teori itu tak ada perbedaan, kedua-duanya mengakui bahwa dalam kesengajaan harus ada kehendak untuk berbuat. Dalam praktek penggunaannya, kedua teori adalah sama. Perbedaannya adalah dalam istilahnya saja.
2.    Bentuk Kesengajaan
Dalam hal seseorang melakukan sesuatu dengan sengaja dapat dibedakan 3 bentuk sikap batin, yang menunjukkan tingkatan atau bentuk dari kesengajaan sebagai berikut :
a.    kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk mencapai suatu tujuan (yang dekat); dolus directus
b.    kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn atau noodzakkelijkheidbewustzijn
c.    kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis atau voorwaardelijk-opzet)
Bentuk kesengajaan ini merupakan bentuk kesengajaan yang biasa dan sederhana. Perbuatan sipelaku bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang. Kalau akibat ini tidak akan ada, maka ia tidak akan berbuat demikian. Ia menghendaki perbuatan beserta akibatnya.
Misal : A menempeleng B. Amenghendaki sakitnya B agar B tidak membohong.
Perhatikan : haruslah ditoh:bedakan antara tujuan dan motif. Motif suatu perbuatan adalah alasan yang mendorong untuk berbuat misalnya cemburu, jengkel dsb.
Dalam hal delik materiil harus dihubungkan faktor kausa yang menghubungkan perbuatan dengan akibat (kausalitas) dimana :
1.    akibat yang memang dituju sipelaku. Ini dapat merupakan delik tersendiri atau tidak.
2.    akibat yang tidak didinginkan tetapi merupakan suatu keharusan untuk mencapai tujuan dalam no. 1 tadi, akibat ini pasti timbul atau terjadi.
Contoh 1 :          
A hendak membunuh B dengan tembakan pistol. B duduk di balik kaca jendela restoran. Penembakan terhadap B pasti akan memecahkan kaca pemilik restoran itu.
Terhadap terbunuhnya B kesengajaan merupakan tujuan sedangkan terhadap rusaknya kaca (ps. 406 KUHP) ada kesengajaan dengan keinsyafan kepastian atau keharusan sebagai syarat tercapainya tujuan.
Dalam hal ini ada keadaan tertentu yang semula merupakan diperkirakan sipelaku sebagai kemungkinan terjadi kemudian ternyata benar-benar terjadi merupakan resiko yang harus diemban sipelaku.
Contoh 2 :
A hendak membalas dendam B yang bertempat tinggal di Hoorn. A mengirim kue taart yang beracun dengan maksud untuk membunuhnya. A tahu bahwa ada kemungkinan istri B, yang tidak berdosa itu juga akan makan kue tersebut dan meninggal karenanya, meskipun A tahu akan hal terakhir ini namun ia tetap mengirim kue tersebut, oleh karena itu kesengajaan dianggap tertuju pula pada matinya istri B. Dalam batin si A, kematian tersebut tidak menjadi persoalan baginya.
Jadi dalam kasus ini :
Ada kesengajaan sebagai tujuan terhadap matinya B dan kesengajaan dengan keinsyafan kemungkinan terhadap kematian istri B (Arrest H.R. 9 Maret 1911)
Contoh 3 :            
Seorang yang melakukan penggelapan, merasa bahwa akhirnya ia akan ketahuan. Ia ingin menghindarkan diri dari peradilan dunia dan hendak membunuh dirinya dengan merencanakan sustu kecelakaan lalu – lintas, Ia menabrakkan mobil yang dikendarainya kepada otobis yang berisi penumpang. Tujuannya agar uang asuransinya yang sangat tinggi (1 ton) itu dapat dibayarkan kepada soprnya.
Tetapi ini gagal, ia tidak mati, hanya luka-luka. Beberapa penumpang bis mengalami luka dan seorang diantaranya luka yang membahayakan jiwa. R.v.J (Raad van Justitie) Semarang yang diperkuat oleh Hoogerechtshof dalam tingkat banding menyatakan terdakwa bersalah telah melakukan penganiayaan berat. Pertimbangannya antara lain sebagai berikut:
Meskipun terdakwa tidak mengharapkan penumpang-penumpang bis mendapat luka-luka, namun akibat ini ada dalam kesengajaanya, sebab iatetap melakukan perbuatan itu, meskipun ia sadr akan akibat yang mungkin terjadi. Kasus ini adalah pengalaman Jokers, ketika menjadi Jaksa Tinggi (Officier van Justitie) pada R.v.J di Semarang.
3.    Dolus Eventualis
Dolus eventualis lahir karena suatu keadaan dimana sikap batin pelaku dimana pelaku tidak menghendaki suatu tujuan untuk mewujudkan suatu tindak pidana, akan tetapi keadaan menyebabkan ia tidak dapat mengelak dari suatu keadaan tertentu.
Contoh:
Seorang mengendarai mobil angkutan umum dengan lajunya di jalan dalam kota. Dimuka ia lihat sekelompok anak yang sedang bermain-main. Apabila ia tetap dalam kecepatan yang sama tanpa menghiraukan nasib anak-anak dan tanpa mengambil tindakan pencegahan, dan apabila akibat perbuatanya itu beberapa anak luka atau mati, maka disini ada kesengajaan unuk menganiaya atau membunuh, meskipun tidak dapat dikatakan bahwa ia mengiginkan akibat tadi, namun jelas ia menghendaki hal itu, dalam arti, meskipun ia sadar akan kemungkinan tentang luka dan matinya anak ia mendesak kesadaran itu kebelakang dan menerima apa boleh buat kemungkinan itu, dengan melampiaskan naPasalunya untuk menegar kudanya.
Di atas telah disebutkan 2 teori yang menerangkan bagaimana sikap batin seseorang yang melakukan perbuatan dengan sengaja. Bagaimanakah menerangkan adanya kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis) ?
Berdasarkan teori kehendak, jika sipelaku menetapkan dalam batinnya, bahwa ia lebih menghendaki perbuatan yang dilakukan itu, meskipun nanti akan ada akibat yang ia tidak harapkan, dari pada tidak berbuat, maka kesengajaan orang tersebut juga ditujukan kepada akibat yang tidak diharapkan itu.
Berdasarkan teori pengetahuan, pelaku mengetahui / membayangkan akan kemungkinan terjadinyan akibat yang tak dikehendaki, tetapi bayangkan itu tidak mencegah dia untuk tidak berbuat; maka dapat dikatakan, bahwa kesengajaan diarahkan kepada akibat yang mungkin terjadi itu.
Dalam kedua teori itu digambarkan, bahwa dalam batin si – pelaku terjadi suatu proses,  bahwa ia lebih baik berbuat dari pada tidak berbuat. Disini ada suatu yang tidak jelas, oleh karena itu disamping kedua teori itu ada teori yang disebut teori apa boleh buat (“In Kauf nehmen theorie”atau” op de koop toe nemen theorie”).
Menurut teori apa boleh buat (“In Kauf nehmen theorie “atau”op de koop toe nemen theorie”) keadaan batin si pelaku terhadap perbuatannya adalah sebagai berikut:
  1. akibat itu sebenarnya tidak dikehendaki, bahkan ia benci atau takut akan kemungkinan timbulnya akibat itu
  2. akan tetapi meskipun ia tidak menghendakinya, namun apabila toh keadaan/akibat itu timbul, apa boleh buat hak itu diterima juga, ini berarti ia berani memikul resiko.”

Dalam perdebatan di Eerste Kamsr mengenai W.v.S. Menteri Modderman mengatakan, bahwa “voorwaardelijkk opzet” (dolus eventualis) itu ada, apabila kehendak kita langsung ditujukan pada kejahatan tersebut, tetapi meskipun telah mengetahui bahwa keadaan tertentu masih akan terjadi, namun kita berbuat dengan tiada tercegah oleh kemungkinan terjadinya hal yang telah kita ketahui itu.
Dengan teori apa boleh buat ini maka sebenarnya tidak perlu lagi untuk membedakan kesengajaan dengan sadar kepastian dan kesengajaan dengan sadar kemungkinan.
Dalam uraian-uraian diatas penentuan tentang kesengajaan si-pelaku adalah dengan melihat bagaimana sikap batinnya perbuatan ataupun akibat perbuatannya. Demikian itu karena kesengajaan dipandang sebagai sikap batin pelaku terhadap perbuatannya.
Dengan teori-teori itu diusahakan untuk menetapkan kesengajaan sipelaku Dalam kejadian konkret tidaklah mudah bagi Hakim untuk menentukan bahwa sikap batin yang berupa kesengajaan (atau kealpaan) itu benar-benar ada pada pelaku. Orang tidak dapat secara pasti mengetahui mengetahui batin orang lain, lebih-lebih bagaimana keadaan batinnya pada waktu orang ini berbuat.
Apabila orang ini dengan jujur menerangkan keadaan batinnya yang sebenarnya maka tidak ada kesukaran. Kalau tidak, maka sikap batinnya harus disimpulkan dari keadaan lahir, yang tampak dari luar. Jadi dalam banyak hal hakim baru mengobyektifkan adanya kesengajaan itu.
Contoh Van Bemmelen:
A melepaskan tembakan kepada B dalam jarak 2 meter.
Meskipun A mungkin, bahwa ia mempunyai kesengajaan untuk membunuh B, namun Hakim tetap akan menentukan adanya kesengajaan tersebut, kecuali apabila dapat diterima alasan-alasan yang sangat masuk akal bahwa A tidak tahu pistol itu berisi atau bahwa matinya B itu disebabkan karena kekhilafan dari A.
Dalam hal ini diragukan adanya kesenjajaan, sehingga ada pembebasan. Hakim harus sangat berhati-hati. Kesengajaan berwarna (gekleurd) dan tidak berwarna (kleurloos). Persoalan ini berhubungan dengan masalah: apakah untuk adanya kesengajaan itu sipelaku harus menyadari bahwa perbuatannya itu dilarang (bersifat melawan hukum) ?
Mengenai hal ini ada 2 pendapat, ialah yang mengatakan bahwa:
  1. sifat kesengajaan itu berwarna dan kesengajaan melakukan sesuatu perbuatan mencakup pengetahuan sipelaku bahwa perbuatanya melawan hukum (dilarang); harus ada hubungan antara keadaan batin si-pelaku dengan melawan hukumnya perbuatan. Dikatakan, bahwa sengaja disini berarti dolus malus, artinya sengaja untuk berbuat jahat (boos opzet). Jadi menurut pendirian yang pertama, untuk adanya kesengajaan perlu bahwa sipelaku menyadari bahwa perbuatannya dilarang. Penganutnya antara lain Zevenbergen, yang mengatakan (dalam bukunya leerboek van het Nederlandsch Strafrecht, tahun 1924, halaman 169), bahwa: Kesengajaan senantiasa ada hubungannya dengan dolus molus, dengan perkataan lain dalam kesengajaan tersimpul adanya kesadaran mengenai sifat melawan hukumnya perbuatan.” Untuk adanya kesengajaan, di perlukan syarat, bahwa pada sipelaku ada kesadaran, bahwa perbuatannya dilarang dan/atau dapat dipidana
  2. Kesengajaan tidak berwarna
Kalau dikatakan bahwa kesengajaan itu tak berwarna, maka itu berarti, bahwa untuk adanya kesengajaan cukuplah bahwa sipelaku itu menghendaki perbuatan yang dilarang itu. Ia tak perlu tahu bahwa perbuatannya terlarang / sifat melawan hukum.
Dapat saja sipelaku dikatakan berbuat dengan sengaja, sedang ia tidak mengetahui bahwa perbuatannya itu dilarang atau bertentangan dengan hukum.
Penganut-penganutnya antara lain : Simons, Pompe, Jonkers. Menurut M.v.T. tidak perlu ada “boos opzet”. M.v.T. mengatakan demikian :
“Akan tetapi untuk berbuat dengan sengaja itu apakah sipelaku tidak harus menyadari, bahwa ia melakukan suatu perbuatan yang menurut tata susila tidak dibenarkan (zadelijk ongeoorlooid) ? Cukupkah dengan adanya kesengajaan saja atau perlukah adanya “kesengajaanj jahat” (boos opzet) ?
Jawabnya tidak akan lain dari pada itu.
Keberatan terhadap pendirian bahwa kesengajaan itu berwarna ialah akan merupakan beban yan berat bagi jaksa apabila untuk membuktikan adanya kesengajaan, tiap kali ia harus membuktikan bahwa pada terdakwa ada kesadaran atau pengetahuan tentang dilarangnya perbuatan itu. Sebaliknya, alasan bahwa kesengajaan itu berwarna ialah kesalahan itu, jadi termasuk kesengajaan, berisi bahwa sipelaku harus sadar bahwa perbuatan itu keliru.
Apabila ia sama sekali tidak sadar akan itu, meskipun pada kenyataannya ia melakukan perbuatan yang dilarang, yang melawan hukum, ia tidak dapat dipidana.
4.    Perumusan Unsur Sengaja dalam KUHP
M.v.T. memuat suatu asas yang mengatakan antara lain, bahwa “unsur-unsur delik yang terletak dibelakang perkataan opzettelijk (dengan sengaja) dikuasai atau diliputi olehnya”.
Oleh karena itu pembentuk undang-undang menetapkan dengan seksama dimana letak perkataan “opzettelijk” itu. (bacalah ps. 151 dan 152 dan bandingkan letak perkataan sengaja dalam kedua pasal tersebut). Unsur yang terletak di muka perkataan “opzettelijk” disebut “diobjektip-kan” (geobjektiveerd), artinya dilepaskan dari kekuasaan kesengajaan. Jadi tidak perlu dibuktikan bahwa kesengajaan sipelaku ditujukan kepada hal tersebut, seperti halnya ps. 152. Lihat ps. 303 KUHP. Kesengajaan disini harus ditujukan kepada hal-hal apa saja ? Pecahkanlah sendiri !
Dalam hal itu asas yang dianut M.v.T. itu tidak berlaku untuk semua delik. Ada pengecualiannya. Lihat ps. 187 KUHP. Di sini ada keadaan-keadaan, yang disebut di belakang perkataan sengaja, diobjektipkan, sehingga tak perlu dibuktian bahwa kesengajaan pelaku ditujukan kepada hal tersebut yang diobjektipkan, artinya yang tidak perlu ditanyakan apakah sipelaku mengetahui atau menghendakinya, ialah “dapat terjadinya bahaya umum atau bahaya maut tersebut”.
Demikianlah teknik perundang-undangan yang diikuti oleh KUHP dalam teks Belanda. Yang menjadi masalah ialah apabila kita menghadapi KUHP dalam teks Bahasa Indonesia, yang sebenarnya bukan teks resmi. Tata bahasa kedua bahasa itu tidak sama, oleh karena itu teknik perundang-undangan dalam menyusun kalimat tentunya tidak dapat atau tidak perlu mengikuti KUHP sepenuhnya. Menghadapi teks terjemahan yang diusahakan oleh beberapa penulis sekarang ini tidak ada jalan lain bagi pelaksana hukum misalnya hakim, untu melihat teks aslinya ialah teks Bahasa Belanda dan mendasarkan penafsiran pada teks tersebut.
Pada delik-delik yang memuat unsur-unsur “met het oogmerk om ........ (dengan tujuan untuk), misalnya pada delik pencurian (ps. 362), pemalsuan surat (ps. 263), ialah yang disebut “Tendenz-delikte” atau Absicht-delikte”, ada pendapat bahwa unsur tersebut bukannya unsur kesengajaan, melainkan unsur melawan hukum subjektif. Unsur ini memberi.sifat atau arah dari perbuatan yang dimaksud dalam rumusan delik yang bersangkutan.
Pada delik-delik yang memuat unsur-unsur ”met het oogmerk om..............(dengan tujuan untuk.........), misalnya dalam delik pencurian (pasal 362), pemalsuan surat (pasal 263), ialah apa yang disebut “Tendenz-delikte” atau “Absicht-delikte”, ada pendapat bahwa unsur tersebut bukannya unsur kesengajaan, melainkan unsur melawan hukum yang subjektif. Unsur ini memberi sifat atau arah dari perbuatan yang dimaksud dalam rumusan delik yang bersangkutan.
4.1. Kata “dan”
Dalam KUHP (teks Belanda), dalam merumuskan sesuatu delik, terdapat bentuk rumusan:
-       Sengaja tanpa ada rumusan unsur melawan hukum (wederrechtelijk)
-       Sengaja melawan hukum (wederrechtelijk) tanpa kata dan
-       Meyisipkan kata “dan” diantara perkataan “sengaja” dan perkataan “melawan hukum”, jadi merumuskan sebagai “sengaja dan melawan hukum” (opzettelijk en wederrechtelijk).
Contoh:
Pasal 333: Hij die opzettelijk iemand wederrechtelijk van devrijhiid berooft of berooft houdt..............
Dalam pasal ini jelas bahwa kesengajaan meliputi melawan hukumnya perbuatan dengan perkatan lain pelaku harus tahu, bahwa perbuatan yang dilakukan itu bertentangan dengan hukum, disamping ia berbuat dengan sengaja. Apabila ia dengan iktikad baik (te goeder trouw) mengira, bahwa ia dalam keadaan tertentu boleh merampas kemerdekaan seseorang, maka ia tak dapat dipidana. Disini ada kesesatan yang bisa membebaskan.
Pasal 406: Hij die opzettelijk en wederrechitelijk enig goed dat geheel of ten deele aan een onder toebe hoort, vernielt, beschadigt, onbruik baar maakt of wegmaakt, wordt.....................
Dalam rumusan (dalam bahasa Belanda) yang demikian ini menjadi persoalan apakah sifat melawan hukumnya perbuatan juga harus diliputi oleh kesengajaan. Mengenai hal ini terdapat tiga pandangan:
  1. Perkataan “en” (dan) menunjukkan kedudukan yang sejajar. Kesengajaan pelaku tidak perlu ditujukan kepada sifat melawan hukumnya perbuatan, dengan perkataan lain sifat melawan hukum ini diobjektipkan. Sipelaku tidak perlu tahu bahwa perbuatannya melawan hukum.
Contoh pasal 406 : Seorang pekerja yang mendapat perintah dari pemilik rumah untuk membongkar rumahnya, tetapi sebelum melaksanakan perintah tersebut, tanpa diketahui olehnya rumah itu ganti pemilik. Ia terus saja membongkar. Ia merusak dengan sengaja dan dengan melawan hukum. Ia dapat dipidana.
  1. Perkataan “en” (dan) tidak ada artinya.
Semua delik yang menurut unsur “sengaja melawan hukum” dapat dibaca “sengaja dan melawan hukum”, yang berarti dua hal yang terpisah dan tidak berpengaruh satu sama lain, meskipun tidak ada perkataan “en” (dan) tersebut : Dalam hukum, pendapat ini diragukan.
  1. Perkataan “en” (dan) tidak ada artinya
Berbeda dengan pendapat ke 2 tersebut, pendapat ini justru mengartikan sengaja dan melawan hukum “sebagai” sengaja melawan hukum. Jadi meskipun ada perkataan dan, kesengajaan sipelaku harus ditujukan kepada melawan hukumnya perbuatan, sesuai dengan asas, bahwa semua unsur yang  terletak di belakang perkataan sengaja dikuasai olehnya. Jadi menurut pendapat ini dalam contoh tersebut di atas, si-pekerja tidak dapat dipidana karena ia sama sekali tidak mengetahui sifat melawan hukumya perbuatan yang ia lakukan.
Van Hamel, Simons, Pompe menganut pendapat yang pertama, sedang Vos, Zevenbergen, Langemeyer mengikuti pendapat yang ketiga. Hoge Raad mengikuti pendapat pertama. Dalam arrest tgl. 21 Desember 1914 dimuat antara lain : karena antara unsur kesengajaan dan unsur melawan hukum ada perkataan “en”, maka unsur melawan hukum tidak diliputi oleh kesengajaan.
Bagi Prof. Muljatno perkataan “dan” diantara perkataan “sengaja” dan perkataan “melawan hukum” tidak mempunyai arti. Unsur sifat melawan hukum itu harus dikuasai oleh unsur kesengajaan. Pelaku harus tahu bahwa yang dilakukan itu bersifat melawan hukum. 
5.    Kesengajaan Menurut Doktrin
Dalam ilmu pengetahuan dikenal beberapa macam kesengajaan :
a.    dolus premeditatus
Bentuk ini mengacu pada rumusan delik yang  mensyaratkan unsur “dengan rencana lebih dahulu” (met voorbedachte rade) sebagai unsur yang menentukan dalam pasal. Ini terdapat dalam delik-delik yang dirumuskan dalam pasal 363, 340, 342 KUHP.
Istilah tersebut meliputi bagaimana terbentuknya “kesengajaan” dan bukan merupakan bentuk atau tingkat kesengajaan. Menurut M.v.T. untuk “voorbedachte rade” diperlukan “saat memikirkan dengan tenang” (een tijdstip van kalm overleg, van bedaard nedenken). Untuk dapat dikatakan “ada rencana lebih dulu”, si pelaku sebelum atau ketika melakukan tindak pidana tersebut, memikirkan secara wajar apa yang ia lakukan atau yang akan ia lakukan.
b.    dolus determinatus dan indeterminatus
Unsurnya ialah pendirian bahwa kesengajaan dapat lebih pasti atau tidak. Pada dolus determinatus, pelaku misalnya menghendaki matinya orang tertentu, sedang pada dolus indeterminatus pelaku misalnya menembak ke arah gerombolan orang atau menembak penumpang-penumpang dalam mobil yang tidak mau disuruh berhenti, atau meracun reservoir air minum, dan sebagainya.
c.    dolus alternativus
Dalam hal ini, sipelaku menghendaki atau A atau B, akibat yang satu atau yang lain
d.    dolus indirectus, Versari in re illicita
Ajaran tentang “dolus indirectus” mengatakan, bahwa semua akibat dari perbuatan yang disengaja, dituju atau tidak dituju, diduga atau tidak diduga, itu dianggap sebagai hal yang ditimbulkan dengan sengaja. Ajaran ini dengan tegas ditolak oleh pembentuk undang-undang. Macam dolus ini masih dikenal oleh Code Penal Perancis. Dolus ini ada, apabila dari suatu perbuatan yang dilarang dan dilakukan dengan sengaja timbul akibat yang tidak diinginkan. Misalnya A dan B berkelahi, A memukul B, B jatuh dan dilindas mobil. Ini oleh Code Penal dipandang sebagai “meutre”. Hazewinkel-Suringa menganggap hal ini sebagai suatu pengertian yang tidak baik.
Ajaran dolus indirectus ini mengingatkan orang kepada ajaran kuno (hukum kanonik) tentang pertanggung-jawab, ialah versari in re illicita.menurut ajaran ini seseorang yang melakukan perbuatan terlarang juga dipertanggung-jawabkan atas semua akibatnya. Dipertanggung-jawabkan dalam hukum pidana, meskipun akibat itu tidak dapat dibayangkan sama sekali olehnya dan timbul secara kebetulan. Di Inggris dan Spanyol pengertian dolus indirectus adalah sama dengan apa yang kita sebut “dolus eventualis”.
e.    dolus directus
Ini berarti, bahwa kesengajaan sipelaku tidak hanya ditukaun kepada perbuatannya, melainkan juga kepada akibat perbuatannya.
f.     dolus generalis
Pada delik materiil harus ada hubungan kausal antara perbuatan terdakwa dan akibat yang tidak dikehendaki undang-undang.
Misalkan seseorang yang bermaksud untuk membunuh orang lain, telah melakukan serangkaian perbuatan misalnya mencekik dan kemudian melemparnya ke dalam sungai. Menurut otopsi (pemeriksaan mayat) matinya orang ini disebabkan karena tenggelam, jadi pada waktu dilempar ke air ia belum mati.
Menurut ajaran kuno disini ada dolus generalis, ialah harapan dari terdakwa secara umum agar orang yang dituju itu mati, bagaimanapun telah tercapai. Simons menyetujui jenis dolus ini. Hazewinkel-Suringa menganggap hal tersebut secara dogmatis tidak tepat. Perbuatan pertama (mencekik) dikualifikasikan sebagai “percobaan pembunuhan”, sedang perbuatan kedua (melempar ke kali) merupakan perbuatan yang terletak / di luar lapangan hukum pidana atau “menyebabkan matinya orang karena kealpaannya”.
Contoh :
Seorang Ibu yang ingin melepaskan diri dari bayinya, menaruh bayi itu di pantai dengan harapan agar dibawa oleh arus pasang. Akan tetapi air pasangnya tidak setinggi yang diharapkan; namun bayinya mati karena kelaparan dan kedinginan. Meskipun jalannya peristiwa tidak tepat seperti yang dibayangkan oleh sipelaku, namun karena akibat yang dikenhendaki telah terjadi, maka disini menurut von Hippel ada pembunuhan yang direncanakan. Pendirian von Hippel ada pembunuhan yang direncanakan. Pendirian Von Hippel ini sama dengan pendapat H.R. dalam arrestnya tanggal 26 Juni 1962.