Unsur kedua dari kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya
(pertanggungjawaban pidana) adalah hubungan batin antara si pelaku terhadap
perbuatan, yang dicelakakan kepada sipelaku itu. Hubungan batin ini bisa berupa
kesengajaan atau kealpaan.
Apakah yang diartikan dengan sengaja ? KUHP kita tidak
memberi definisi. Petunjuk untuk dapat mengetahui arti kesengajaan, dapat
diambil dari M.v.T. (Memorie van Toelichting), yang mengartikan “kesengajaan”
(opzet) sebagai : “menghendaki dan mengetahui” (willens en wetens). (Pompe :
166). Jadi dapatlah dikatakan, bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui
apa yang dilakukan. Orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki
perbuatan itu dan disamping itu mengetahui atau menyadari tentang apa yang
dilakukan itu. Misal : seorang Ibu, yang sengaja tidak memberi susu kepada
anaknya, menghendaki dan sadar akan perbuatannya.
1.
Teori-teori Kesengajaan
Berhubung dengan
keadaan batin orang yang berbuat dengan sengaja, yang berisi menghendaki dan
mengetahui itu, maka dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dapat disebut dua
teori sebagai berikut:
a. Teori
kehendak (wilstheorie)
Inti
kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan
undang-undang (Simons, Zevenbergen)
b. Teori
pengetahuan / membayangkan (voorstelling-theorie)
Sengaja berarti
membayangkan akan akibat timbulnya akibat perbuatannya; orang tak bisa
menghendaki akibat, melainkan hanya dapat membayangkannya. Teori ini
menitikberatkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan oleh sipelaku ialah
apa yang akan terjadi pada waktu ia akan berbuat. (Frank).
Terhadap perbuatan
yang dilakukan sipelaku kedua teori itu tak ada perbedaan, kedua-duanya
mengakui bahwa dalam kesengajaan harus ada kehendak untuk berbuat. Dalam
praktek penggunaannya, kedua teori adalah sama. Perbedaannya adalah dalam
istilahnya saja.
2.
Bentuk Kesengajaan
Dalam
hal seseorang melakukan sesuatu dengan sengaja dapat dibedakan 3 bentuk sikap
batin, yang menunjukkan tingkatan atau bentuk dari kesengajaan sebagai berikut
:
a. kesengajaan
sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk mencapai suatu tujuan (yang dekat);
dolus directus
b. kesengajaan
dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn atau
noodzakkelijkheidbewustzijn
c. kesengajaan
dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis atau voorwaardelijk-opzet)
Bentuk kesengajaan
ini merupakan bentuk kesengajaan yang biasa dan sederhana. Perbuatan sipelaku
bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang. Kalau akibat ini tidak akan
ada, maka ia tidak akan berbuat demikian. Ia menghendaki perbuatan beserta akibatnya.
Misal : A menempeleng
B. Amenghendaki sakitnya B agar B tidak membohong.
Perhatikan : haruslah ditoh:bedakan antara tujuan dan
motif. Motif suatu perbuatan adalah alasan yang mendorong untuk berbuat
misalnya cemburu, jengkel dsb.
Dalam hal delik materiil harus dihubungkan faktor kausa
yang menghubungkan perbuatan dengan akibat (kausalitas) dimana :
1. akibat yang memang dituju sipelaku. Ini dapat merupakan
delik tersendiri atau tidak.
2. akibat yang tidak didinginkan tetapi merupakan suatu
keharusan untuk mencapai tujuan dalam no. 1 tadi, akibat ini pasti timbul atau
terjadi.
Contoh 1 :
A hendak membunuh B dengan tembakan pistol. B duduk di
balik kaca jendela restoran. Penembakan terhadap B pasti akan memecahkan kaca
pemilik restoran itu.
Terhadap terbunuhnya B kesengajaan merupakan tujuan
sedangkan terhadap rusaknya kaca (ps. 406 KUHP) ada kesengajaan dengan
keinsyafan kepastian atau keharusan sebagai syarat tercapainya tujuan.
Dalam hal ini ada keadaan tertentu yang semula merupakan
diperkirakan sipelaku sebagai kemungkinan terjadi kemudian ternyata benar-benar
terjadi merupakan resiko yang harus diemban sipelaku.
Contoh 2 :
A hendak membalas dendam B yang bertempat tinggal di
Hoorn. A mengirim kue taart yang beracun dengan maksud untuk membunuhnya. A
tahu bahwa ada kemungkinan istri B, yang tidak berdosa itu juga akan makan kue
tersebut dan meninggal karenanya, meskipun A tahu akan hal terakhir ini namun
ia tetap mengirim kue tersebut, oleh karena itu kesengajaan dianggap tertuju
pula pada matinya istri B. Dalam batin si A, kematian tersebut tidak menjadi
persoalan baginya.
Jadi dalam kasus ini :
Ada kesengajaan sebagai tujuan terhadap matinya B dan
kesengajaan dengan keinsyafan kemungkinan terhadap kematian istri B (Arrest H.R.
9 Maret 1911)
Contoh 3 :
Seorang yang melakukan penggelapan, merasa bahwa akhirnya
ia akan ketahuan. Ia ingin menghindarkan diri dari peradilan dunia dan hendak
membunuh dirinya dengan merencanakan sustu kecelakaan lalu – lintas, Ia
menabrakkan mobil yang dikendarainya kepada otobis yang berisi penumpang.
Tujuannya agar uang asuransinya yang sangat tinggi (1 ton) itu dapat dibayarkan
kepada soprnya.
Tetapi ini gagal, ia tidak mati, hanya luka-luka.
Beberapa penumpang bis mengalami luka dan seorang diantaranya luka yang
membahayakan jiwa. R.v.J (Raad van Justitie) Semarang yang diperkuat oleh
Hoogerechtshof dalam tingkat banding menyatakan terdakwa bersalah telah
melakukan penganiayaan berat. Pertimbangannya antara lain sebagai berikut:
Meskipun terdakwa tidak mengharapkan penumpang-penumpang
bis mendapat luka-luka, namun akibat ini ada dalam kesengajaanya, sebab iatetap
melakukan perbuatan itu, meskipun ia sadr akan akibat yang mungkin terjadi.
Kasus ini adalah pengalaman Jokers, ketika menjadi Jaksa Tinggi (Officier van
Justitie) pada R.v.J di Semarang.
3. Dolus
Eventualis
Dolus
eventualis lahir karena suatu keadaan dimana sikap batin pelaku dimana pelaku
tidak menghendaki suatu tujuan untuk mewujudkan suatu tindak pidana, akan
tetapi keadaan menyebabkan ia tidak dapat mengelak dari suatu keadaan tertentu.
Contoh:
Seorang mengendarai mobil angkutan umum dengan lajunya di
jalan dalam kota. Dimuka ia lihat sekelompok anak yang sedang bermain-main.
Apabila ia tetap dalam kecepatan yang sama tanpa menghiraukan nasib anak-anak
dan tanpa mengambil tindakan pencegahan, dan apabila akibat perbuatanya itu
beberapa anak luka atau mati, maka disini ada kesengajaan unuk menganiaya atau
membunuh, meskipun tidak dapat dikatakan bahwa ia mengiginkan akibat tadi,
namun jelas ia menghendaki hal itu, dalam arti, meskipun ia sadar akan
kemungkinan tentang luka dan matinya anak ia mendesak kesadaran itu kebelakang
dan menerima apa boleh buat kemungkinan itu, dengan melampiaskan naPasalunya
untuk menegar kudanya.
Di atas telah disebutkan 2 teori yang menerangkan
bagaimana sikap batin seseorang yang melakukan perbuatan dengan sengaja.
Bagaimanakah menerangkan adanya kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus
eventualis) ?
Berdasarkan teori kehendak, jika sipelaku menetapkan
dalam batinnya, bahwa ia lebih menghendaki perbuatan yang dilakukan itu,
meskipun nanti akan ada akibat yang ia tidak harapkan, dari pada tidak berbuat,
maka kesengajaan orang tersebut juga ditujukan kepada akibat yang tidak diharapkan
itu.
Berdasarkan teori pengetahuan, pelaku mengetahui /
membayangkan akan kemungkinan terjadinyan akibat yang tak dikehendaki, tetapi
bayangkan itu tidak mencegah dia untuk tidak berbuat; maka dapat dikatakan,
bahwa kesengajaan diarahkan kepada akibat yang mungkin terjadi itu.
Dalam kedua teori itu digambarkan, bahwa dalam batin si –
pelaku terjadi suatu proses, bahwa ia
lebih baik berbuat dari pada tidak berbuat. Disini ada suatu yang tidak jelas,
oleh karena itu disamping kedua teori itu ada teori yang disebut teori apa
boleh buat (“In Kauf nehmen theorie”atau” op de koop toe nemen
theorie”).
Menurut teori apa boleh buat (“In Kauf nehmen theorie “atau”op
de koop toe nemen theorie”) keadaan batin si pelaku terhadap perbuatannya
adalah sebagai berikut:
- akibat itu
sebenarnya tidak dikehendaki, bahkan ia benci atau takut akan kemungkinan
timbulnya akibat itu
- akan tetapi
meskipun ia tidak menghendakinya, namun apabila toh keadaan/akibat itu
timbul, apa boleh buat hak itu diterima juga, ini berarti ia berani
memikul resiko.”
Dalam perdebatan di Eerste Kamsr mengenai W.v.S. Menteri
Modderman mengatakan, bahwa “voorwaardelijkk opzet” (dolus eventualis) itu ada,
apabila kehendak kita langsung ditujukan pada kejahatan tersebut, tetapi
meskipun telah mengetahui bahwa keadaan tertentu masih akan terjadi, namun kita
berbuat dengan tiada tercegah oleh kemungkinan terjadinya hal yang telah kita
ketahui itu.
Dengan teori apa boleh buat ini maka sebenarnya tidak
perlu lagi untuk membedakan kesengajaan dengan sadar kepastian dan kesengajaan
dengan sadar kemungkinan.
Dalam uraian-uraian diatas penentuan tentang kesengajaan
si-pelaku adalah dengan melihat bagaimana sikap batinnya perbuatan ataupun
akibat perbuatannya. Demikian itu karena kesengajaan dipandang sebagai sikap
batin pelaku terhadap perbuatannya.
Dengan teori-teori itu diusahakan untuk menetapkan
kesengajaan sipelaku Dalam kejadian konkret tidaklah mudah bagi Hakim untuk
menentukan bahwa sikap batin yang berupa kesengajaan (atau kealpaan) itu
benar-benar ada pada pelaku. Orang tidak dapat secara pasti mengetahui
mengetahui batin orang lain, lebih-lebih bagaimana keadaan batinnya pada waktu
orang ini berbuat.
Apabila orang ini dengan jujur menerangkan keadaan
batinnya yang sebenarnya maka tidak ada kesukaran. Kalau tidak, maka sikap
batinnya harus disimpulkan dari keadaan lahir, yang tampak dari luar. Jadi
dalam banyak hal hakim baru mengobyektifkan adanya kesengajaan itu.
Contoh Van Bemmelen:
A melepaskan tembakan kepada B dalam jarak 2 meter.
Meskipun A mungkin, bahwa ia mempunyai kesengajaan untuk
membunuh B, namun Hakim tetap akan menentukan adanya kesengajaan tersebut,
kecuali apabila dapat diterima alasan-alasan yang sangat masuk akal bahwa A
tidak tahu pistol itu berisi atau bahwa matinya B itu disebabkan karena
kekhilafan dari A.
Dalam hal ini diragukan adanya kesenjajaan, sehingga ada
pembebasan. Hakim harus sangat berhati-hati. Kesengajaan berwarna (gekleurd)
dan tidak berwarna (kleurloos). Persoalan ini berhubungan dengan masalah: apakah
untuk adanya kesengajaan itu sipelaku harus menyadari bahwa perbuatannya itu
dilarang (bersifat melawan hukum) ?
Mengenai hal ini ada 2 pendapat, ialah yang mengatakan
bahwa:
- sifat
kesengajaan itu berwarna dan kesengajaan melakukan sesuatu perbuatan mencakup
pengetahuan sipelaku bahwa perbuatanya melawan hukum (dilarang); harus ada
hubungan antara keadaan batin si-pelaku dengan melawan hukumnya perbuatan.
Dikatakan, bahwa sengaja disini berarti dolus malus, artinya sengaja untuk
berbuat jahat (boos opzet). Jadi menurut pendirian yang pertama, untuk
adanya kesengajaan perlu bahwa sipelaku menyadari bahwa perbuatannya
dilarang. Penganutnya antara lain Zevenbergen, yang mengatakan (dalam
bukunya leerboek van het Nederlandsch Strafrecht, tahun 1924, halaman
169), bahwa: Kesengajaan senantiasa ada hubungannya dengan dolus molus,
dengan perkataan lain dalam kesengajaan tersimpul adanya kesadaran
mengenai sifat melawan hukumnya perbuatan.” Untuk adanya kesengajaan, di
perlukan syarat, bahwa pada sipelaku ada kesadaran, bahwa perbuatannya
dilarang dan/atau dapat dipidana
- Kesengajaan tidak berwarna
Kalau
dikatakan bahwa kesengajaan itu tak berwarna, maka itu berarti, bahwa untuk
adanya kesengajaan cukuplah bahwa sipelaku itu menghendaki perbuatan yang
dilarang itu. Ia tak perlu tahu bahwa
perbuatannya terlarang / sifat melawan hukum.
Dapat saja sipelaku dikatakan berbuat dengan sengaja,
sedang ia tidak mengetahui bahwa perbuatannya itu dilarang atau bertentangan
dengan hukum.
Penganut-penganutnya antara lain : Simons, Pompe,
Jonkers. Menurut M.v.T. tidak perlu ada “boos opzet”. M.v.T. mengatakan
demikian :
“Akan tetapi untuk berbuat dengan sengaja itu apakah
sipelaku tidak harus menyadari, bahwa ia melakukan suatu perbuatan yang menurut
tata susila tidak dibenarkan (zadelijk ongeoorlooid) ? Cukupkah dengan adanya
kesengajaan saja atau perlukah adanya “kesengajaanj jahat” (boos opzet) ?
Jawabnya tidak akan lain dari pada itu.
Keberatan terhadap pendirian bahwa kesengajaan itu
berwarna ialah akan merupakan beban yan berat bagi jaksa apabila untuk
membuktikan adanya kesengajaan, tiap kali ia harus membuktikan bahwa pada
terdakwa ada kesadaran atau pengetahuan tentang dilarangnya perbuatan itu.
Sebaliknya, alasan bahwa kesengajaan itu berwarna ialah kesalahan itu, jadi
termasuk kesengajaan, berisi bahwa sipelaku harus sadar bahwa perbuatan itu
keliru.
Apabila ia sama sekali tidak sadar akan itu, meskipun
pada kenyataannya ia melakukan perbuatan yang dilarang, yang melawan hukum, ia
tidak dapat dipidana.
4.
Perumusan Unsur Sengaja dalam KUHP
M.v.T. memuat suatu
asas yang mengatakan antara lain, bahwa “unsur-unsur delik yang terletak
dibelakang perkataan opzettelijk (dengan sengaja) dikuasai atau diliputi
olehnya”.
Oleh karena itu pembentuk undang-undang menetapkan dengan
seksama dimana letak perkataan “opzettelijk” itu. (bacalah ps. 151 dan 152 dan
bandingkan letak perkataan sengaja dalam kedua pasal tersebut). Unsur yang
terletak di muka perkataan “opzettelijk” disebut “diobjektip-kan”
(geobjektiveerd), artinya dilepaskan dari kekuasaan kesengajaan. Jadi tidak
perlu dibuktikan bahwa kesengajaan sipelaku ditujukan kepada hal tersebut,
seperti halnya ps. 152. Lihat
ps. 303 KUHP. Kesengajaan disini harus ditujukan kepada hal-hal apa saja ?
Pecahkanlah sendiri !
Dalam hal itu asas yang dianut M.v.T. itu tidak berlaku
untuk semua delik. Ada pengecualiannya. Lihat ps. 187 KUHP. Di sini ada
keadaan-keadaan, yang disebut di belakang perkataan sengaja, diobjektipkan,
sehingga tak perlu dibuktian bahwa kesengajaan pelaku ditujukan kepada hal
tersebut yang diobjektipkan, artinya yang tidak perlu ditanyakan apakah
sipelaku mengetahui atau menghendakinya, ialah “dapat terjadinya bahaya umum
atau bahaya maut tersebut”.
Demikianlah teknik perundang-undangan yang diikuti oleh
KUHP dalam teks Belanda. Yang menjadi masalah ialah apabila kita menghadapi
KUHP dalam teks Bahasa Indonesia, yang sebenarnya bukan teks resmi. Tata bahasa
kedua bahasa itu tidak sama, oleh karena itu teknik perundang-undangan dalam
menyusun kalimat tentunya tidak dapat atau tidak perlu mengikuti KUHP
sepenuhnya. Menghadapi teks terjemahan yang diusahakan oleh beberapa penulis
sekarang ini tidak ada jalan lain bagi pelaksana hukum misalnya hakim, untu
melihat teks aslinya ialah teks Bahasa Belanda dan mendasarkan penafsiran pada
teks tersebut.
Pada delik-delik yang memuat unsur-unsur “met het oogmerk
om ........ (dengan tujuan untuk), misalnya pada delik pencurian (ps. 362),
pemalsuan surat (ps. 263), ialah yang disebut “Tendenz-delikte” atau
Absicht-delikte”, ada pendapat bahwa unsur tersebut bukannya unsur kesengajaan,
melainkan unsur melawan hukum subjektif. Unsur ini memberi.sifat atau arah dari
perbuatan yang dimaksud dalam rumusan delik yang bersangkutan.
Pada delik-delik yang memuat unsur-unsur ”met het oogmerk
om..............(dengan tujuan untuk.........), misalnya dalam delik pencurian
(pasal 362), pemalsuan surat (pasal 263), ialah apa yang disebut
“Tendenz-delikte” atau “Absicht-delikte”, ada pendapat bahwa unsur tersebut
bukannya unsur kesengajaan, melainkan unsur melawan hukum yang subjektif. Unsur
ini memberi sifat atau arah dari perbuatan yang dimaksud dalam rumusan delik
yang bersangkutan.
4.1. Kata “dan”
Dalam KUHP (teks Belanda), dalam merumuskan sesuatu
delik, terdapat bentuk rumusan:
- Sengaja tanpa ada rumusan unsur melawan hukum
(wederrechtelijk)
- Sengaja
melawan hukum (wederrechtelijk) tanpa kata dan
- Meyisipkan
kata “dan” diantara perkataan “sengaja” dan perkataan “melawan hukum”, jadi
merumuskan sebagai “sengaja dan melawan hukum” (opzettelijk en
wederrechtelijk).
Contoh:
Pasal 333: Hij die
opzettelijk iemand wederrechtelijk van devrijhiid berooft of berooft
houdt..............
Dalam pasal ini jelas
bahwa kesengajaan meliputi melawan hukumnya perbuatan dengan perkatan lain
pelaku harus tahu, bahwa perbuatan yang dilakukan itu bertentangan dengan
hukum, disamping ia berbuat dengan sengaja. Apabila ia dengan iktikad baik (te
goeder trouw) mengira, bahwa ia dalam keadaan tertentu boleh merampas kemerdekaan
seseorang, maka ia tak dapat dipidana. Disini ada kesesatan yang bisa
membebaskan.
Pasal 406: Hij die
opzettelijk en wederrechitelijk enig goed dat geheel of ten deele aan een onder
toebe hoort, vernielt, beschadigt, onbruik baar maakt of wegmaakt,
wordt.....................
Dalam rumusan (dalam
bahasa Belanda) yang demikian ini menjadi persoalan apakah sifat melawan
hukumnya perbuatan juga harus diliputi oleh kesengajaan. Mengenai hal ini
terdapat tiga pandangan:
- Perkataan “en” (dan) menunjukkan kedudukan yang
sejajar. Kesengajaan pelaku tidak perlu ditujukan kepada sifat melawan
hukumnya perbuatan, dengan perkataan lain sifat melawan hukum ini
diobjektipkan. Sipelaku tidak perlu tahu bahwa perbuatannya melawan hukum.
Contoh pasal 406 :
Seorang pekerja yang mendapat perintah dari pemilik rumah untuk membongkar
rumahnya, tetapi sebelum melaksanakan perintah tersebut, tanpa diketahui
olehnya rumah itu ganti pemilik. Ia
terus saja membongkar. Ia merusak dengan sengaja dan dengan melawan hukum. Ia
dapat dipidana.
- Perkataan “en”
(dan) tidak ada artinya.
Semua delik yang menurut unsur “sengaja melawan hukum”
dapat dibaca “sengaja dan melawan hukum”, yang berarti dua hal yang terpisah
dan tidak berpengaruh satu sama lain, meskipun tidak ada perkataan “en” (dan)
tersebut : Dalam hukum, pendapat ini diragukan.
- Perkataan “en”
(dan) tidak ada artinya
Berbeda dengan pendapat ke 2 tersebut, pendapat ini
justru mengartikan sengaja dan melawan hukum “sebagai” sengaja melawan hukum.
Jadi meskipun ada perkataan dan, kesengajaan sipelaku harus ditujukan kepada
melawan hukumnya perbuatan, sesuai dengan asas, bahwa semua unsur yang terletak di belakang perkataan sengaja
dikuasai olehnya. Jadi menurut pendapat ini dalam contoh tersebut di atas,
si-pekerja tidak dapat dipidana karena ia sama sekali tidak mengetahui sifat
melawan hukumya perbuatan yang ia lakukan.
Van Hamel, Simons, Pompe menganut pendapat yang pertama,
sedang Vos, Zevenbergen, Langemeyer mengikuti pendapat yang ketiga. Hoge Raad
mengikuti pendapat pertama. Dalam arrest tgl. 21 Desember 1914 dimuat antara
lain : karena antara unsur kesengajaan dan unsur melawan hukum ada perkataan
“en”, maka unsur melawan hukum tidak diliputi oleh kesengajaan.
Bagi Prof. Muljatno perkataan “dan” diantara perkataan
“sengaja” dan perkataan “melawan hukum” tidak mempunyai arti. Unsur sifat
melawan hukum itu harus dikuasai oleh unsur kesengajaan. Pelaku harus tahu
bahwa yang dilakukan itu bersifat melawan hukum.
5.
Kesengajaan Menurut Doktrin
Dalam ilmu
pengetahuan dikenal beberapa macam kesengajaan :
a. dolus
premeditatus
Bentuk ini mengacu
pada rumusan delik yang mensyaratkan
unsur “dengan rencana lebih dahulu” (met voorbedachte rade) sebagai unsur yang
menentukan dalam pasal. Ini
terdapat dalam delik-delik yang dirumuskan dalam pasal 363, 340, 342 KUHP.
Istilah tersebut meliputi bagaimana terbentuknya
“kesengajaan” dan bukan merupakan bentuk atau tingkat kesengajaan. Menurut
M.v.T. untuk “voorbedachte rade” diperlukan “saat memikirkan dengan tenang”
(een tijdstip van kalm overleg, van bedaard nedenken). Untuk dapat dikatakan
“ada rencana lebih dulu”, si pelaku sebelum atau ketika melakukan tindak pidana
tersebut, memikirkan secara wajar apa yang ia lakukan atau yang akan ia
lakukan.
b. dolus
determinatus dan indeterminatus
Unsurnya ialah
pendirian bahwa kesengajaan dapat lebih pasti atau tidak. Pada dolus
determinatus, pelaku misalnya menghendaki matinya orang tertentu, sedang pada
dolus indeterminatus pelaku misalnya menembak ke arah gerombolan orang atau
menembak penumpang-penumpang dalam mobil yang tidak mau disuruh berhenti, atau
meracun reservoir air minum, dan sebagainya.
c. dolus
alternativus
Dalam hal ini,
sipelaku menghendaki atau A atau B, akibat yang satu atau yang lain
d. dolus
indirectus, Versari in re illicita
Ajaran tentang “dolus
indirectus” mengatakan, bahwa semua akibat dari perbuatan yang disengaja,
dituju atau tidak dituju, diduga atau tidak diduga, itu dianggap sebagai hal
yang ditimbulkan dengan sengaja. Ajaran ini dengan tegas ditolak oleh pembentuk
undang-undang. Macam dolus ini masih dikenal oleh Code Penal Perancis. Dolus
ini ada, apabila dari suatu perbuatan yang dilarang dan dilakukan dengan
sengaja timbul akibat yang tidak diinginkan. Misalnya A dan B berkelahi, A memukul B, B jatuh dan
dilindas mobil. Ini oleh Code Penal dipandang sebagai “meutre”.
Hazewinkel-Suringa menganggap hal ini sebagai suatu pengertian yang tidak baik.
Ajaran dolus indirectus ini mengingatkan orang kepada
ajaran kuno (hukum kanonik) tentang pertanggung-jawab, ialah versari in re
illicita.menurut ajaran ini seseorang yang melakukan perbuatan terlarang juga
dipertanggung-jawabkan atas semua akibatnya. Dipertanggung-jawabkan dalam hukum
pidana, meskipun akibat itu tidak dapat dibayangkan sama sekali olehnya dan
timbul secara kebetulan. Di Inggris dan Spanyol pengertian dolus
indirectus adalah sama dengan apa yang kita sebut “dolus eventualis”.
e. dolus
directus
Ini berarti, bahwa
kesengajaan sipelaku tidak hanya ditukaun kepada perbuatannya, melainkan juga
kepada akibat perbuatannya.
f. dolus
generalis
Pada delik materiil harus ada hubungan kausal antara
perbuatan terdakwa dan akibat yang tidak dikehendaki undang-undang.
Misalkan seseorang yang bermaksud untuk membunuh orang
lain, telah melakukan serangkaian perbuatan misalnya mencekik dan kemudian
melemparnya ke dalam sungai. Menurut otopsi (pemeriksaan mayat) matinya orang
ini disebabkan karena tenggelam, jadi pada waktu dilempar ke air ia belum mati.
Menurut ajaran kuno disini ada dolus generalis, ialah
harapan dari terdakwa secara umum agar orang yang dituju itu mati, bagaimanapun
telah tercapai. Simons menyetujui jenis dolus ini. Hazewinkel-Suringa
menganggap hal tersebut secara dogmatis tidak tepat. Perbuatan pertama
(mencekik) dikualifikasikan sebagai “percobaan pembunuhan”, sedang perbuatan
kedua (melempar ke kali) merupakan perbuatan yang terletak / di luar lapangan
hukum pidana atau “menyebabkan matinya orang karena kealpaannya”.
Contoh :
Seorang Ibu yang ingin melepaskan diri dari bayinya,
menaruh bayi itu di pantai dengan harapan agar dibawa oleh arus pasang. Akan
tetapi air pasangnya tidak setinggi yang diharapkan; namun bayinya mati karena
kelaparan dan kedinginan. Meskipun jalannya peristiwa tidak tepat seperti yang
dibayangkan oleh sipelaku, namun karena akibat yang dikenhendaki telah terjadi,
maka disini menurut von Hippel ada pembunuhan yang direncanakan. Pendirian von
Hippel ada pembunuhan yang direncanakan. Pendirian Von Hippel ini sama dengan
pendapat H.R. dalam arrestnya tanggal 26 Juni 1962.