"Ubi Societas Ibi Ius."

Saturday 23 February 2013

Budaya Hukum dan Penegakan Hukum


       A.    Budaya Hukum
Hukum pada dasarnya tidak hanya sekedar rumusan hitam di atas putih saja sebagaimana yang dituangkan dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan, tetapi hendaknya hukum dilihat sebagai suatu gejala yang dapat diamati dalam kehidupan masyarakat melalui pola tingkah laku warganya. Hal ini berarti hukum sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor non hukum seperti : nilai, sikap, dan pandangan masyarakat yang biasa disebut dengan kultur/budaya hukum. Adanya kultur/budaya hukum inilah yang menyebabkan perbedaan penegakan hukum di antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya. Berkaitan dengan hal tersebut, ada 3 persoalan mendasar tentang kultur/budaya hukum yaitu:
Persoalan yang pertama adalah persoalan yang berkaitan dengan hukum sebagai suatu sistem, dimana hukum itu dinilai dari 2 sisi yang berbeda yaitu:
1.    Hukum dilihat  sebagai suatu sistem nilai, dimana keseluruhan hukum dalam rangka penegakan hukum didasarkan pada grundnorm yang kemudian menjadi sumber nilai sekaligus pedoman bagi penegakan hukum itu sendiri;
2.    Hukum dilihat sebagai bagian dari masyarakat (realitas sosial), dimana hukum tidak dapat dipisahkan dari lingkungan masyarakat karena dalam hal ini, hukum merupakan salah satu subsistem dari subsistem-subsistem sosial lainnya.
Adapun Lawrence M. Friedman menjelaskan bahwa hukum sebagai suatu sistem memiliki komponen-komponen sebagai berikut :
1.      Struktur yaitu berupa kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum untuk mendukung bekerjanya sistem hukum itu sendiri seperti : pengadilan negeri, pengadilan administrasi, dan sebagainya;
2.      Substansi berupa norma-norma hukum yang digunakan oleh para penegak hukum maupun mereka yang diatur;
3.      Kultur hukum berupa ide, sikap, harapan, dan pendapat tentang hukum yang secara keseluruhan mempengaruhi seseorang untuk patuh atau tidak patuh terhadap hukum.
Hukum sebenarnya memiliki hubungan yang timbal balik dengan masyarakatnya, dimana hukum itu merupakan sarana/alat untuk mengatur masyarakat dan bekerja di dalam masyarakat itu sendiri sedangkan masyarakat dapat menjadi penghambat maupun menjadi sarana/alat sosial yang memungkinkan hukum dapat diterapkan dengan sebaik-baiknya. Menurut Emile Durkheim, hubungan antara hukum dengan masyarakat dapat dilihat dari 2 tipe masyarakatnya yang berbeda antara lain :
1.    Masyarakat dengan solidaritas mekanik yang didasarkan pada sifat kebersamaan diantara anggotanya sehingga hukum bersifat represif yang berfungsi mempertahankan kebersamaan tersebut;
2.    Masyarakat dengan solidaritas organik yang didasarkan pada sifat individualisme dan kebebasan anggotanya sehingga menyebabkan hukum menjadi bersifat restitutif yang hanya berfungsi untuk menjaga  kelangsungan kehidupan masyarakat.
H.L.A. Hart juga mengemukakan 2 tipe masyarakat yaitu :
1. Masyarakat yang didasarkan pada primary rules of obligation, dimana masyarakatnya hanya terdiri dari komunitas kecil sehingga kehidupannya hanya berdasar atas kekerabatan saja. Tipe masyarakat ini tidak membutuhkan peraturan yang resmi dan terperinci sehingga tidak ada pula diferensiasi maupun spesialisasi badan penegak hukum;
2. Masyarakat yang didasarkan pada secondary rules of obligation, dimana masyarakatnya sudah tegolong modern sehingga diperlukan adanya diferensiasi dan institusional di bidang hukum yang menyebabkan pola penegakan hukumnya diliputi dengan unsur birokrasi.
Jika kita melihat kenyataan yang ada, perkembangan hukum di Indonesia ternyata tidak diikuti dengan perkembangan masyarakatnya. Hal ini dikarenakan terjadinya ketidakcocokan antara nilai-nilai yang dipilih oleh pemerintah yang sengaja disiapkan untuk sistem hukum modern dengan nilai-nilai yang telah dihayati oleh masyarakat yang masih bersifat tradisional sehingga mengakibatkan masyarakat kita belum siap menerima sistem hukum modern tersebut dan berakibat pula hukum yang dibuat oleh pemerintah menjadi tidak bermakna bagi masyarakat.
Persoalan kedua adalah persoalan tentang fungsi hukum kaitannya dengan pengaruh budaya hukum. Hukum dewasa ini tidak cukup hanya berfungsi sebagai kontrol sosial saja, melainkan hukum diharapkan mampu untuk menggerakkan masyarakat agar bertingkah laku sesuai dengan cara/pola baru demi tercapainya tujuan yang dicita-citakan. Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan adanya kesadaran hukum dari masyarakat sebagai jembatan yang menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah laku anggota masyarakat. Kondisi yang demikian mengakibatkan apa yang telah diputuskan melalui hukum tidak dapat dilaksanakan dengan baik dalam masyarakat karena tidak sejalan dengan nilai, pandangan, dan sikap yang telah dihayati oleh masyarakat. Perkembangan yang terjadi di Indonesia dapat dilihat bahwa struktur sosial bangsa ternyata tidak sesuai dengan hukum modern yang dipilih oleh penguasa sehingga berakibat banyak terjadi kepincangan pelaksanaan hukum modern itu sendiri. Menurut Lon Fuller, ada 8 prinsip legalitas yang harus diikuti dalam membuat hukum meliputi :
1.      Harus ada peraturannya terlebih dahulu;
2.      Peraturan itu harus diumumkan;
3.      Peraturan itu tidak boleh berlaku surut;
4.      Perumusan peraturan harus dapat dimengerti oleh rakyat;
5.      Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin;
6.      Diantara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain;
7.      Peraturan harus tetap dan tidak boleh sering diubah-ubah;
8.      Harus terdapat kesesuaian antara tindakan para pejabat hukum dengan peraturan yang telah dibuat.
Pedoman yang harus kita pegang dalam hal ini, sebaik apapun hukum yang dibuat pada akhirnya sangat ditentukan oleh budaya hukum yang berupa nilai, pandangan serta sikap dari masyarakat yang bersangkutan. Jika budaya hukum diabaikan, maka dapat dipastikan akan terjadi kegagalan dari sistem hukum modern yang ditandai dengan munculnya berbagai gejala seperti : Kekeliruan informasi mengenai isi peraturan hukum yang ingin disampaikan kepada masyarakat, Muncul perbedaan antara apa yang dikehendaki oleh undang-undang dengan praktek yang dijalankan oleh masyarakat, Masyarakat lebih memilih untuk tetap bertingkah laku sesuai dengan apa yang telah menjadi nilai-nilai dan pandangan dalam kehidupan mereka. Daniel S. Lev kemudian menjelaskan tentang sistem hukum dan budaya hukum, dimana menurutnya sistem hukum itu menekankan pada prosedur, sedangkan budaya hukum sendiri terdiri dari 2 komponen yaitu :
- Nilai-nilai hukum prosedural yang berupa cara-cara pengaturan masyarakat dan manajemen konflik;
- Nilai-nilai hukum substansial yang berupa asumsi-asumsi fundamental mengenai distribusi maupun penggunaan sumber-sumber di dalam masyarakat, terutama mengenai apa yang adil dan tidak menurut masyarakat.
Suatu sistem hukum dapat dikatakan efektif apabila tingkah laku manusia di dalam masyarakat sesuai dengan apa yang telah ditentukan dalam peraturan hukum yang berlaku. Paul dan Dias dalam hal ini mengemukakan 5 syarat yang harus dipenuhi untuk mengefektifkan sistem hukum, antara lain :
1.      Mudah tidaknya makna aturan hukum itu untuk dipahami;
2.      Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi aturan hukum yang bersangkutan;
3.      Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan hukum;
4.      Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah dijangkau oleh masyarakat tetapi juga harus cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa;
5.      Adanya anggapan dan pengakuan yang merata di kalangan masyarakat bahwa aturan dan pranata hukum itu memang sesungguhnya berdaya kemampuan yang efektif.
Jika kita melihat kenyataan yang ada di Indonesia, terutama di daerah pedesaan terlihat jelas bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalam hukum berbeda dengan nilai-nilai yang telah melekat dalam kehidupan masyarakat desa. Hal ini mengingat tingkat pengetahuan masyarakat desa masih rendah sehingga mereka sulit memahami apa yang dikehendaki oleh hukum. Dalam menghadapi kondisi seperti ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu : Peranan birokrasi pelaksana yaitu kepala desa sangat penting artinya untuk membuat hukum menjadi efektif dalam masyarakat, Perlunya komunikasi hukum yang dijalankan dengan baik agar masyarakat memahami hukum yang ada, Sarana penyampaian isi suatu peraturan hukum harus memadai agar masyarakat dapat berpartisipasi dalam proses mobilisasi hukum. Selain itu, keefektifan hukum juga dapat dicapai dengan cara menanamkan nilai-nilai baru melalui proses pelembagaan agar dapat menjadi pola tingkah laku baru dalam rangka pembentukan kesadaran hukum masyarakat. Kiranya dapat dipahami bahwa usaha untuk menanamkan budaya hukum yang baru dapat tercapai jika proses pelembagaannya telah dilakukan secara baik dan sungguh-sungguh demi terciptanya kesadaran hukum masyarakat.
Persoalan ketiga adalah peranan kultur/budaya hukum terhadap bekerjanya hukum, ini berarti menyangkut bagaimana cara pembinaan kesadaran hukum. Masalah pembinaan kesadaran hukum erat kaitannya dengan berbagai faktor, khususnya sikap para pelaksana hukum artinya para penegak hukum memiliki peranan yang besar dalam membina pertumbuhan kesadaran masyarakat. Kesadaran hukum dalam konteks ini berarti kesadaran untuk bertindak sesuai dengan ketentuan hukum dan berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah laku anggota masyarakatnya. Lawrence M. Friedman menyebutnya sebagai bagian dari kultur hukum. Fakta selanjutnya menunjukkan bahwa meskipun ada unsur-unsur baru dalam peraturan hukum, tetap saja masyarakat kita yang sebenarnya adalah pemegang peran (adressat) berpola tingkah laku sesuai dengan kesadaran hukumnya sendiri. Hal ini berarti apa yang menjadi cita-cita pembuat undang-undang nyatanya belum terwujud. Ada 3 variabel utama yang menurut Seidman dapat digunakan untuk mengetahui apakah seseorang akan bertindak sesuai dengan peraturan hukum atau tidak, yaitu :
-          Apakah normanya telah disampaikan (sosialisasi produk hukum);
-          Apakah normanya serasi dengan tujuan yang diterapkan bagi posisi itu (sinkronisasi produk hukum);
-          Apakah si pemegang peran digerakkan oleh motivasi yang menyimpang (faktor motivasi).
Teori dari Seidman itu mengajarkan bahwa para pemegang peran dapat memiliki motivasi, baik yang berkehendak maupun yang tidak berkehendak untuk menyesuaikan diri dengan norma. Sementara itu, pemegang peran juga dapat memiliki tingkah laku yang mungkin konform maupun yang mungkin tidak konform. Teori ini kemudian dikenal sebagai teori penyimpangan. Terjadinya ketidakcocokan antara peranan yang diharapkan oleh norma dengan tingkah laku yang nyata dari masyarakat sebagaimana dijelaskan oleh teori penyimpangan di atas, dikarenakan fungsi hukum tidak lagi hanya sekedar sebagai kontrol sosial saja melainkan sebagai sarana untuk membentuk pola tingkah laku yang baru sehingga melahirkan masyarakat baru yang dicita-citakan. Berdasarkan konsep yang modern, fungsi hukum seperti ini digunakan sebagai sarana untuk melakukan social engineering. Namun sayangnya, fungsi hukum sebagai social engineering ternyata tidak selalu didukung oleh kehidupan sosial dimana hukum itu diterapkan sehingga harus ditunjang dengan tingkat kesadaran hukum masyarakat yang tinggi. Kenyataan yang sering kita temui adalah masih banyaknya faktor inkonsistensi dalam pelaksanaan hukum serta keengganan dalam menerapkan ketentuan hukum yang telah ditetapkan dan kebiasaan-kebiasaan lain yang kurang mendukung dalam menaati hukum.
Dengan demikian, pembinaan kesadaran hukum hendaknya berorientasi pada usaha untuk memasyarakatkan nilai-nilai yang mendasari peraturan hukum yang bersangkutan serta memperhatikan faktor komunikasi hukumnya agar isi peraturan hukum tersebut dapat diketahui oleh masyarakat luas sebagai sasaran dari peraturan hukum itu sendiri.
                                                                                                  
       B.     Penegakan Hukum
Menurut Soejono Soekamto, ”Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah, pandangan-pandangan yang mantap dan mengejawantahkannya dalam sikap, tindak sebagai serangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan hidup.” Karena itu tegaknya hukum dapat ditandai oleh beberapa faktor yang saling terkait sangat erat yaitu:
1.     Pertama, Hukum dan aturannya sendiri, sehingga diperlukan adanya keserasian antara peraturan perundang-undangan yang ada.
2.    Kedua, fasilitas pelaksanaan hukumnya yang memadai, sebab sering kali hukum sulit ditegakkan bahkan tak tertangani karena fasilitas untuk menegakkannya tidak memadai ataupun tidak tersedia. 
3.    Ketiga, Kesadaran dan kepastian hukum serta perilaku masyarakat itu sendiri.
4.    Keempat, Mental aparat penegak hukum. Dalam hal ini adalah pelaku hukum secara langsung seperti polisi, jaksa, pengacara, hakim, petugas lembaga pemasyarakatan dan sebagainya karena pada dasarnya penegakan hukum sangat tergantung pada mentalitas para aparatur penegak hukumnya.
Dari uraian tersebut, jelas terlihat bahwa penegakan hukum selain ditentukan oleh aturan-aturan hukumnya sendiri, fasilitas, mentalitas aparat penegak hukum, juga sangat tergantung kepada faktor kesadaran dan kepatuhan masyarakat, baik secara personal maupun dalam komunitas sosialnya masing-masing. Pada akhirnya kembali pada unsur manusianya (budaya) juga yang menentukan corak yang sebenarnya; in the last analysis it is the human being that counts. Sehingga adanya hukum yang baik dan benar tidak otomatis menjamin kehidupan masyarakat yang baik dan benar. Adanya polisi, jaksa, hakim, pengacara sebagai penegak hukum langsung dan formal belumlah menjamin tegaknya hukum dan berlakunya rule of law. Adanya parlemen sekalipun dipilih lewat pemilu dengan ongkos besar belum otomatis demokrasi tumbuh. Di samping itu, penting juga untuk dipikirkan sarana apa saja yang dibutuhkan agar peraturan hukum itu dapat dijalankan dengan baik. Kesadaran hukum dapat juga ditingkatkan dengan cara memberi contoh untuk masyarakat melalui peranan para penegak hukum seperti polisi dan hakim, mengingat masyarakat kita masih bersifat paternalistik. Jika semua faktor tersebut di atas dapat dilaksanakan dengan baik, tentunya peraturan hukum akan dapat ditegakkan karena kesadaran hukum masyarakat sudah dibina sedemikian rupa sehingga dapat memperkecil kemungkinan terjadinya penyimpangan tingkah laku yang tidak sesuai dengan hukum.

No comments :

Post a Comment