A.
Budaya
Hukum
Hukum pada dasarnya
tidak hanya sekedar rumusan hitam di atas putih saja sebagaimana yang
dituangkan dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan, tetapi hendaknya
hukum dilihat sebagai suatu gejala yang dapat diamati dalam kehidupan
masyarakat melalui pola tingkah laku warganya. Hal ini berarti hukum sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor non hukum seperti : nilai, sikap, dan pandangan
masyarakat yang biasa disebut dengan kultur/budaya hukum. Adanya kultur/budaya
hukum inilah yang menyebabkan perbedaan penegakan hukum di antara masyarakat
yang satu dengan masyarakat lainnya. Berkaitan dengan hal tersebut, ada 3
persoalan mendasar tentang kultur/budaya hukum yaitu:
Persoalan yang pertama
adalah persoalan yang berkaitan dengan hukum sebagai suatu sistem, dimana hukum
itu dinilai dari 2 sisi yang berbeda yaitu:
1. Hukum
dilihat sebagai suatu sistem nilai, dimana keseluruhan hukum dalam rangka
penegakan hukum didasarkan pada grundnorm yang kemudian menjadi sumber nilai
sekaligus pedoman bagi penegakan hukum itu sendiri;
2. Hukum
dilihat sebagai bagian dari masyarakat (realitas sosial), dimana hukum tidak
dapat dipisahkan dari lingkungan masyarakat karena dalam hal ini, hukum
merupakan salah satu subsistem dari subsistem-subsistem sosial lainnya.
Adapun Lawrence M.
Friedman menjelaskan bahwa hukum sebagai suatu sistem memiliki
komponen-komponen sebagai berikut :
1.
Struktur yaitu berupa kelembagaan yang
diciptakan oleh sistem hukum untuk mendukung bekerjanya sistem hukum itu
sendiri seperti : pengadilan negeri, pengadilan administrasi, dan sebagainya;
2.
Substansi berupa norma-norma hukum yang
digunakan oleh para penegak hukum maupun mereka yang diatur;
3.
Kultur hukum berupa ide, sikap, harapan,
dan pendapat tentang hukum yang secara keseluruhan mempengaruhi seseorang untuk
patuh atau tidak patuh terhadap hukum.
Hukum sebenarnya
memiliki hubungan yang timbal balik dengan masyarakatnya, dimana hukum itu
merupakan sarana/alat untuk mengatur masyarakat dan bekerja di dalam masyarakat
itu sendiri sedangkan masyarakat dapat menjadi penghambat maupun menjadi
sarana/alat sosial yang memungkinkan hukum dapat diterapkan dengan sebaik-baiknya.
Menurut Emile Durkheim, hubungan antara hukum dengan masyarakat dapat dilihat
dari 2 tipe masyarakatnya yang berbeda antara lain :
1. Masyarakat
dengan solidaritas mekanik yang didasarkan pada sifat kebersamaan diantara
anggotanya sehingga hukum bersifat represif yang berfungsi mempertahankan
kebersamaan tersebut;
2. Masyarakat
dengan solidaritas organik yang didasarkan pada sifat individualisme dan
kebebasan anggotanya sehingga menyebabkan hukum menjadi bersifat restitutif
yang hanya berfungsi untuk menjaga kelangsungan kehidupan masyarakat.
H.L.A. Hart juga
mengemukakan 2 tipe masyarakat yaitu :
1. Masyarakat yang didasarkan pada primary rules of
obligation, dimana masyarakatnya hanya terdiri dari komunitas kecil sehingga
kehidupannya hanya berdasar atas kekerabatan saja. Tipe masyarakat ini tidak
membutuhkan peraturan yang resmi dan terperinci sehingga tidak ada pula
diferensiasi maupun spesialisasi badan penegak hukum;
2. Masyarakat yang didasarkan pada secondary rules
of obligation, dimana masyarakatnya sudah tegolong modern sehingga diperlukan
adanya diferensiasi dan institusional di bidang hukum yang menyebabkan pola
penegakan hukumnya diliputi dengan unsur birokrasi.
Jika kita melihat
kenyataan yang ada, perkembangan hukum di Indonesia ternyata tidak diikuti
dengan perkembangan masyarakatnya. Hal ini dikarenakan terjadinya
ketidakcocokan antara nilai-nilai yang dipilih oleh pemerintah yang sengaja
disiapkan untuk sistem hukum modern dengan nilai-nilai yang telah dihayati oleh
masyarakat yang masih bersifat tradisional sehingga mengakibatkan masyarakat
kita belum siap menerima sistem hukum modern tersebut dan berakibat pula hukum
yang dibuat oleh pemerintah menjadi tidak bermakna bagi masyarakat.
Persoalan kedua adalah
persoalan tentang fungsi hukum kaitannya dengan pengaruh budaya hukum. Hukum
dewasa ini tidak cukup hanya berfungsi sebagai kontrol sosial saja, melainkan
hukum diharapkan mampu untuk menggerakkan masyarakat agar bertingkah laku
sesuai dengan cara/pola baru demi tercapainya tujuan yang dicita-citakan.
Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan adanya kesadaran hukum dari
masyarakat sebagai jembatan yang menghubungkan antara peraturan hukum dengan
tingkah laku anggota masyarakat. Kondisi yang demikian mengakibatkan apa yang
telah diputuskan melalui hukum tidak dapat dilaksanakan dengan baik dalam
masyarakat karena tidak sejalan dengan nilai, pandangan, dan sikap yang telah
dihayati oleh masyarakat. Perkembangan yang terjadi di Indonesia dapat dilihat
bahwa struktur sosial bangsa ternyata tidak sesuai dengan hukum modern yang
dipilih oleh penguasa sehingga berakibat banyak terjadi kepincangan pelaksanaan
hukum modern itu sendiri. Menurut Lon Fuller, ada 8 prinsip legalitas yang
harus diikuti dalam membuat hukum meliputi :
1. Harus
ada peraturannya terlebih dahulu;
2. Peraturan
itu harus diumumkan;
3. Peraturan
itu tidak boleh berlaku surut;
4. Perumusan
peraturan harus dapat dimengerti oleh rakyat;
5. Hukum
tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin;
6. Diantara
sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain;
7. Peraturan
harus tetap dan tidak boleh sering diubah-ubah;
8. Harus
terdapat kesesuaian antara tindakan para pejabat hukum dengan peraturan yang
telah dibuat.
Pedoman yang harus kita
pegang dalam hal ini, sebaik apapun hukum yang dibuat pada akhirnya sangat
ditentukan oleh budaya hukum yang berupa nilai, pandangan serta sikap dari
masyarakat yang bersangkutan. Jika budaya hukum diabaikan, maka dapat
dipastikan akan terjadi kegagalan dari sistem hukum modern yang ditandai dengan
munculnya berbagai gejala seperti : Kekeliruan informasi mengenai isi peraturan
hukum yang ingin disampaikan kepada masyarakat, Muncul perbedaan antara apa
yang dikehendaki oleh undang-undang dengan praktek yang dijalankan oleh masyarakat,
Masyarakat lebih memilih untuk tetap bertingkah laku sesuai dengan apa yang
telah menjadi nilai-nilai dan pandangan dalam kehidupan mereka. Daniel S. Lev
kemudian menjelaskan tentang sistem hukum dan budaya hukum, dimana menurutnya
sistem hukum itu menekankan pada prosedur, sedangkan budaya hukum sendiri
terdiri dari 2 komponen yaitu :
- Nilai-nilai hukum prosedural yang berupa cara-cara
pengaturan masyarakat dan manajemen konflik;
- Nilai-nilai hukum substansial yang berupa
asumsi-asumsi fundamental mengenai distribusi maupun penggunaan sumber-sumber
di dalam masyarakat, terutama mengenai apa yang adil dan tidak menurut
masyarakat.
Suatu sistem hukum
dapat dikatakan efektif apabila tingkah laku manusia di dalam masyarakat sesuai
dengan apa yang telah ditentukan dalam peraturan hukum yang berlaku. Paul dan
Dias dalam hal ini mengemukakan 5 syarat yang harus dipenuhi untuk
mengefektifkan sistem hukum, antara lain :
1.
Mudah tidaknya makna aturan hukum itu
untuk dipahami;
2.
Luas tidaknya kalangan di dalam
masyarakat yang mengetahui isi aturan hukum yang bersangkutan;
3.
Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi
aturan hukum;
4.
Adanya mekanisme penyelesaian sengketa
yang tidak hanya mudah dijangkau oleh masyarakat tetapi juga harus cukup
efektif dalam menyelesaikan sengketa;
5.
Adanya anggapan dan pengakuan yang
merata di kalangan masyarakat bahwa aturan dan pranata hukum itu memang
sesungguhnya berdaya kemampuan yang efektif.
Jika kita melihat
kenyataan yang ada di Indonesia, terutama di daerah pedesaan terlihat jelas
bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalam hukum berbeda dengan nilai-nilai
yang telah melekat dalam kehidupan masyarakat desa. Hal ini mengingat tingkat
pengetahuan masyarakat desa masih rendah sehingga mereka sulit memahami apa
yang dikehendaki oleh hukum. Dalam menghadapi kondisi seperti ini, ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan yaitu : Peranan birokrasi pelaksana yaitu kepala
desa sangat penting artinya untuk membuat hukum menjadi efektif dalam
masyarakat, Perlunya komunikasi hukum yang dijalankan dengan baik agar masyarakat
memahami hukum yang ada, Sarana penyampaian isi suatu peraturan hukum harus
memadai agar masyarakat dapat berpartisipasi dalam proses mobilisasi hukum. Selain
itu, keefektifan hukum juga dapat dicapai dengan cara menanamkan nilai-nilai
baru melalui proses pelembagaan agar dapat menjadi pola tingkah laku baru dalam
rangka pembentukan kesadaran hukum masyarakat. Kiranya dapat dipahami bahwa
usaha untuk menanamkan budaya hukum yang baru dapat tercapai jika proses
pelembagaannya telah dilakukan secara baik dan sungguh-sungguh demi terciptanya
kesadaran hukum masyarakat.
Persoalan ketiga adalah
peranan kultur/budaya hukum terhadap bekerjanya hukum, ini berarti menyangkut bagaimana
cara pembinaan kesadaran hukum. Masalah pembinaan kesadaran hukum erat
kaitannya dengan berbagai faktor, khususnya sikap para pelaksana hukum artinya
para penegak hukum memiliki peranan yang besar dalam membina pertumbuhan
kesadaran masyarakat. Kesadaran hukum dalam konteks ini berarti kesadaran untuk
bertindak sesuai dengan ketentuan hukum dan berfungsi sebagai jembatan yang
menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah laku anggota masyarakatnya.
Lawrence M. Friedman menyebutnya sebagai bagian dari kultur hukum. Fakta
selanjutnya menunjukkan bahwa meskipun ada unsur-unsur baru dalam peraturan
hukum, tetap saja masyarakat kita yang sebenarnya adalah pemegang peran (adressat) berpola tingkah laku sesuai
dengan kesadaran hukumnya sendiri. Hal ini berarti apa yang menjadi cita-cita
pembuat undang-undang nyatanya belum terwujud. Ada 3 variabel utama yang
menurut Seidman dapat digunakan untuk mengetahui apakah seseorang akan
bertindak sesuai dengan peraturan hukum atau tidak, yaitu :
-
Apakah normanya telah disampaikan
(sosialisasi produk hukum);
-
Apakah normanya serasi dengan tujuan
yang diterapkan bagi posisi itu (sinkronisasi produk hukum);
-
Apakah si pemegang peran digerakkan oleh
motivasi yang menyimpang (faktor motivasi).
Teori dari Seidman itu
mengajarkan bahwa para pemegang peran dapat memiliki motivasi, baik yang
berkehendak maupun yang tidak berkehendak untuk menyesuaikan diri dengan norma.
Sementara itu, pemegang peran juga dapat memiliki tingkah laku yang mungkin
konform maupun yang mungkin tidak konform. Teori ini kemudian dikenal sebagai
teori penyimpangan. Terjadinya ketidakcocokan antara peranan yang
diharapkan oleh norma dengan tingkah laku yang nyata dari masyarakat
sebagaimana dijelaskan oleh teori penyimpangan di atas, dikarenakan fungsi
hukum tidak lagi hanya sekedar sebagai kontrol sosial saja melainkan sebagai
sarana untuk membentuk pola tingkah laku yang baru sehingga melahirkan
masyarakat baru yang dicita-citakan. Berdasarkan konsep yang modern, fungsi
hukum seperti ini digunakan sebagai sarana untuk melakukan social engineering.
Namun sayangnya, fungsi hukum sebagai social engineering ternyata tidak selalu
didukung oleh kehidupan sosial dimana hukum itu diterapkan sehingga harus
ditunjang dengan tingkat kesadaran hukum masyarakat yang tinggi. Kenyataan yang
sering kita temui adalah masih banyaknya faktor inkonsistensi dalam pelaksanaan
hukum serta keengganan dalam menerapkan ketentuan hukum yang telah ditetapkan
dan kebiasaan-kebiasaan lain yang kurang mendukung dalam menaati hukum.
Dengan demikian,
pembinaan kesadaran hukum hendaknya berorientasi pada usaha untuk
memasyarakatkan nilai-nilai yang mendasari peraturan hukum yang bersangkutan
serta memperhatikan faktor komunikasi hukumnya agar isi peraturan hukum
tersebut dapat diketahui oleh masyarakat luas sebagai sasaran dari peraturan
hukum itu sendiri.
B.
Penegakan
Hukum
Menurut Soejono
Soekamto, ”Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai
yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah, pandangan-pandangan yang mantap dan
mengejawantahkannya dalam sikap, tindak sebagai serangkaian penjabaran nilai
tahap akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan hidup.” Karena itu
tegaknya hukum dapat ditandai oleh beberapa faktor yang saling terkait sangat
erat yaitu:
1. Pertama, Hukum
dan aturannya sendiri, sehingga diperlukan adanya keserasian antara peraturan
perundang-undangan yang ada.
2. Kedua, fasilitas
pelaksanaan hukumnya yang memadai, sebab sering kali hukum sulit ditegakkan
bahkan tak tertangani karena fasilitas untuk menegakkannya tidak memadai
ataupun tidak tersedia.
3. Ketiga, Kesadaran
dan kepastian hukum serta perilaku masyarakat itu sendiri.
4. Keempat,
Mental aparat penegak hukum. Dalam hal ini adalah pelaku hukum secara langsung
seperti polisi, jaksa, pengacara, hakim, petugas lembaga pemasyarakatan dan
sebagainya karena pada dasarnya penegakan hukum sangat tergantung pada
mentalitas para aparatur penegak hukumnya.
Dari
uraian tersebut, jelas terlihat bahwa penegakan hukum selain ditentukan oleh
aturan-aturan hukumnya sendiri, fasilitas, mentalitas aparat penegak hukum,
juga sangat tergantung kepada faktor kesadaran dan kepatuhan masyarakat, baik
secara personal maupun dalam komunitas sosialnya masing-masing. Pada
akhirnya kembali pada unsur manusianya (budaya) juga yang menentukan corak
yang sebenarnya; in the last
analysis it is the human being that counts. Sehingga adanya hukum yang baik
dan benar tidak otomatis menjamin kehidupan masyarakat yang baik dan benar.
Adanya polisi, jaksa, hakim, pengacara sebagai penegak hukum langsung dan
formal belumlah menjamin tegaknya hukum dan berlakunya rule of law. Adanya parlemen
sekalipun dipilih lewat pemilu dengan ongkos besar belum otomatis demokrasi
tumbuh. Di samping itu, penting juga untuk dipikirkan sarana apa saja yang
dibutuhkan agar peraturan hukum itu dapat dijalankan dengan baik. Kesadaran
hukum dapat juga ditingkatkan dengan cara memberi contoh untuk masyarakat
melalui peranan para penegak hukum seperti polisi dan hakim, mengingat
masyarakat kita masih bersifat paternalistik. Jika semua faktor tersebut di
atas dapat dilaksanakan dengan baik, tentunya peraturan hukum akan dapat
ditegakkan karena kesadaran hukum masyarakat sudah dibina sedemikian rupa
sehingga dapat memperkecil kemungkinan terjadinya penyimpangan tingkah laku yang
tidak sesuai dengan hukum.
No comments :
Post a Comment