A. Hukum sebagai sitem
nilai
Salah satu paradigm hukum adalah nilai sehingga hukum
dapat dilihat sebagai sosok nilai pula. Hukum sebagai perwujudan niali-nilai
mengandung arti bahwa kehadirannya adalah untuk melindungi dan memajukan
nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya.[1]
Menurut Fuller hukum tidak dapat diterima sebagai hukum, kecuali apabila
bertolak dari moralitas tertentu.
Hukum harus mampu memenuhi ukuran moral tertentu dan
ia tidak layak disebut hukum apabila memperlihatkan kegagalan-kegagalan sebagai
berikut:
1.
Kegagalan untuk
mengeluarkan aturan (to achief rules)
2.
Kegagalan untuk
mengumumkan aturan tersebut kepada public (to
publicize)
3.
Kegagalan karena
menyalahgunakan perundang-undangan yang berlaku surut (retroactive legislation)
4.
Kegagalan karena
membuat aturan-aturan yang saling bertentangan (contraditory rules)
5.
Kegagalan karena
menuntut dilakukannya perilaku di luar kemampuan orang yang diatur (beyond the power of the affected)
6.
Kegagalan karena
sering melakukan perubahan
7.
Kegagalan untuk
menyerasikan aturan dengan praktik penerapannya.
Donald Black, salah seorang sosiologi hukum Amerika
terkemuka, sama sekali menolak untuk membicarakan nilai-nilai, sebab sosiologi
hukum seharusnya konsisten sebagai ilmu menegnai fakta, sehingga segal
sesuatunya harus hanya didasarkan pada apa yang dapat diamati dan
dikualifikasikan. Berseberangan dengan Donald Black, maka Philip Selznick dan kawan-kawannya dari Berkeley berpendapat bahwa hakikat
dari hukum justru terletak pada karakteristik dari hukum sebagai institusi yang
menunjang dan melindungi nilai-nilai. Sejak hukum menjadi cagar niali (sanctuary), yaitu tempat nilai dan moral
disucikan, maka bangsa-bangsa pun berbeda dalam praksis hukumnya. Sosiologi
hukum harus mengahadapi kenyataan tersebut apabial ia ingin menjelaskan
perebdaan-perebdaan tesrsebut.
Bangsa Indonesia juga mengalami konflik nilai-nilai
dalam hukum. Di satu pihak ingin hidup dengan mendasarkan pada kehidupan
berorentiasi kepada niali-nilai komunal, seperti musyawarah dan kebapakan,
tetapi pada waktu yang sama, disadari atau tidak, digunakan doktrin besar rule of law. Dalam sosiologi hukum,
konflik-konflik seperti itu dijelaskan dari interaksi antara nilai-nilai tertentu
dengan struktur sosial di mana nilai-nilai itu dijalankan. Struktur sosial ini
adalah realitas sosiologis yang merupakan modal suatu bahasa untuk memahami dan
mempraktikan perlindungan hak asasi manusia.
B. Hukum sebagai ideologi
Karl Marx dapat disebut sebagai sosioologi hukum pada saat mengemukakan pendapatnya mengenai
pengadilan terhadap pencurian kayu di tahun 1842-1843. Ia mengatakan bahwa
hukum adalah tatanan peraturan untuk kepentingan orang berpunya dalam masyarakat.
Melalui pendapat tersebut maka ideologi sebagai paradigm hukum pertama-tama
dirumuskan. Menurut Marx, maka hukum merupakan bangunan atas yang ditopang oleh
interaksi antara kekuatan-kekuatan dalam sektor ekonomi.[2]
Paradigma ideologi dalam hukum juga dijumpai dalam
bidang hukum kontrak. Hukum kontrak sebagaimana lazim dikenal sekarang adalah
produk dari abad ke-19. Pada abad ke-18, kontrak bukan merupakan hasil dari
persetujuan individual, melainkan implementasi praksis kebiasaan dan kaidah
tradisional. Ideologi komunal tersebut tidak mengenal kontra sebagai hasil
suatu persetujuan.
Ideologi sebagai paradigma tidak membiarakan hukum
sebagai suatu lembaga yang netral. Dunia menjadi sangat tersentak, pada waktu
menyaksikan praktik Negara Jerman-Nazi, sebagai Negara hukum. Ternyata Negara
hukum Jerman tidak menghalangi praktik untuk melakukan genocide terhadap ras yahudi. Kritik juga ditujukan kepada para
praktisi yuris yang telah menjadi budak teknis-yuridis dari dominasi suatu
ideologi yang immoral. Mereka menafsirkan kembali perundang-undangan sebelum
tahun 1933 dengan mengesampingkan interprestasi yang di lakukan selama itu da
menggantikannya dengan penafsiran yang mengacu kepada ideologi
nasional-sosialistis. Ideologi yang berhubungan dengan ras di Amerika Serikat,
itu ideologi keunggulan kulit putih telah menimbulkan penyebutan keadilan
berdasar atas kelas (class justice, white
justice). Kendatipun hukumnya menyatakan asas persamaan dihadapan hukum,
tetapi Amerika terbeah dua menjadi Amerika putih dan hitam, dimana penduduk
hitam ditempatkan di bawah penduduk kulit putih.
Peter Gabel dan Jay M. Feinman mengamati
perubahan-perubahan dalam sosial ekonomi yang memunculkan ideologi berbeda dan
yang pada gilirannya membentuk konsep tentang kontrak. Ideologi tersebut
berfungsi untuk melegitimasi praksis kontrak dalam konteks tatanan sosial
ekonomi yang berbeda-beda. Legitimasi kontrak pada abad ke-29 adalah ideologi
tentang persaingan bebas sebagai konsekuensi dari interaksi antara individu
secara sukarela, yang pada dasarnya bebas dan sederajad satu sama lain.
Ideologi tersebut mengabaikan kenyataan tentang terbatasnya kebebasan pasar
yang muncul dari posisi kelas seseorang dan pendistribusian kekayaan yang tidak
sama. Konsekuensi hukum dari mistifikasi legitimasi tersebut adalah pemisahan
hukum kontrak dari hukum tentang pemilikan dan hukum tentang hubungan yang
bersifat non-konsensual.
Pada abad ke-20 berlangsung suatu transformasi yang
memberantakan aturan-aturan lama, persis abad ke-19 memberantakan tatanan abad
ke-18. Di sini juga terjadi transformasi dari pikiran ideologis yang dibutuhkan
untuk membenarkan praksis abad ke-20. Karakteristik esensial kapitalisme abad
ke-20 adalah digantikannya kompetisi tanpa kendali dari pasar bebas oleh
integrasi dan koordinasi dalam ekonomi. Di sini Negara secara besar-besaran
masuk untuk mengatur dan menstabilkan keadaan.
C.
Hukum
sebagai rekayasa social
Hukum sebagai rekayasa sosial atau sarana rekayasa
sosial merupakan fenomena yang menonjol pada abad ke-20 ini. Tidak seperti
halnya dalam suasana tradisional, dimana hukum lebih merupakan pembadanan dari
kaidah-kaidah sosial yang sudah tertanam dalam masyarakat, hukum sekarang sudah
menjadi sarana yang sarat dengan keputusan politik. Secara pasti penggunaan
hukum sebagai sarana rekayasa sosial dipelopori oleh Roscoe Pound, yang pada
tahun 1912 melontarkan suatu paket gagasan yang kemudian dikenal dengan sebagai
program aliran hukum sosiologis. Program tersebut dirumuskan dalam tulisannya
berjudul Scope and Purposive of
Sociological Jurispridence. Program
Pound tersebut makna sosiologisnya terlihat pada sifatnya yang :
1. Lebih diarahkan kepada bekerjanya hukum daripada
kepada isinya yang abstrak
2. Memandang hukum sebagai lembaga sosial yang dapat
dikembangkan melalui usaha manusia dan menganggap sebagai kewajiban mereka
untuk menemukan cara-cara terbaik dalam memajukan dan mengarahkan usaha
sedemikian itu
3. Lebih menekankan pada tujuan-tujuan sosial yang
dilayani oleh hukum daripada sanksinya.
4. Menekankan, bahwa aturan-aturan hukum itu harus lebi
dipandang sebagai pedoman untuk mencapai hasil-hasil yang dianggap adil oleh
masyarakat daripada sebagai kerangka yang kaku.
Penggunaan hukum sebagai sarana rekayasa sosial tidak
dapat dilepaskan dari anggapan serta faham bahwa hukuman itu merupakan sarana
(instrumen) yang dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan yang jelas. Penggunaan
hukum sebagai sarana rekayasa sosial membawa kita kepada penelitian mengenai
kaitan antara pembuatan hukum atau cara-cara yang dilakukan oleh hukum dengan
hasil atau akibat yang kemudian muncul. Adam Podgorecki mengajukan beberapa
langkah yang harus ditempuh, apabila pembuatan hukum ingin memberikan akibat
seperti dikehendaki. Adapun langkah-langkah dalam rekayasa sosial itu antara
lain :
1. Mendeskripsikan situasi yang dihadapi dengan baik
2. Analisis terhadap penilaian-penilaian mengenai situasi
tersebut dan menentukan jenjang susunannya.
3. Melakukan verifikasi hipotesa-hipotesa
4. Pengukuran efek hukum yang dibuat.
Sesungghnya proses rekayasa
sosial dengan menggunakan hukum merupakan proses yang tidak berhenti pada
pengukuran efektivitasnya, melainkan bergulir terus. Proses yang bersambungan
terus itu mengandung arti, bahwa temuan-temuan dalam pengukuran akan menjadi
umpan balik untuk semakin mendekatkan hukum kepada tujuan yang ingin
dicapainya.
No comments :
Post a Comment