"Ubi Societas Ibi Ius."

Saturday 23 February 2013

Paradigma Hukum


A.  Hukum sebagai sitem nilai
Salah satu paradigm hukum adalah nilai sehingga hukum dapat dilihat sebagai sosok nilai pula. Hukum sebagai perwujudan niali-nilai mengandung arti bahwa kehadirannya adalah untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya.[1] Menurut Fuller hukum tidak dapat diterima sebagai hukum, kecuali apabila bertolak dari moralitas tertentu.
Hukum harus mampu memenuhi ukuran moral tertentu dan ia tidak layak disebut hukum apabila memperlihatkan kegagalan-kegagalan sebagai berikut:
1.      Kegagalan untuk mengeluarkan aturan (to achief rules)
2.      Kegagalan untuk mengumumkan aturan tersebut kepada public (to publicize)
3.      Kegagalan karena menyalahgunakan perundang-undangan yang berlaku surut (retroactive legislation)
4.      Kegagalan karena membuat aturan-aturan yang saling bertentangan (contraditory rules)
5.      Kegagalan karena menuntut dilakukannya perilaku di luar kemampuan orang yang diatur (beyond the power of the affected)
6.      Kegagalan karena sering melakukan perubahan
7.      Kegagalan untuk menyerasikan aturan dengan praktik penerapannya.
Donald Black, salah seorang sosiologi hukum Amerika terkemuka, sama sekali menolak untuk membicarakan nilai-nilai, sebab sosiologi hukum seharusnya konsisten sebagai ilmu menegnai fakta, sehingga segal sesuatunya harus hanya didasarkan pada apa yang dapat diamati dan dikualifikasikan. Berseberangan dengan Donald Black, maka Philip Selznick dan kawan-kawannya dari Berkeley berpendapat bahwa hakikat dari hukum justru terletak pada karakteristik dari hukum sebagai institusi yang menunjang dan melindungi nilai-nilai. Sejak hukum menjadi cagar niali (sanctuary), yaitu tempat nilai dan moral disucikan, maka bangsa-bangsa pun berbeda dalam praksis hukumnya. Sosiologi hukum harus mengahadapi kenyataan tersebut apabial ia ingin menjelaskan perebdaan-perebdaan tesrsebut.
Bangsa Indonesia juga mengalami konflik nilai-nilai dalam hukum. Di satu pihak ingin hidup dengan mendasarkan pada kehidupan berorentiasi kepada niali-nilai komunal, seperti musyawarah dan kebapakan, tetapi pada waktu yang sama, disadari atau tidak, digunakan doktrin besar rule of law. Dalam sosiologi hukum, konflik-konflik seperti itu dijelaskan dari interaksi antara nilai-nilai tertentu dengan struktur sosial di mana nilai-nilai itu dijalankan. Struktur sosial ini adalah realitas sosiologis yang merupakan modal suatu bahasa untuk memahami dan mempraktikan perlindungan hak asasi manusia.

B.  Hukum sebagai ideologi
Karl Marx dapat disebut sebagai sosioologi hukum   pada saat mengemukakan pendapatnya mengenai pengadilan terhadap pencurian kayu di tahun 1842-1843. Ia mengatakan bahwa hukum adalah tatanan peraturan untuk kepentingan orang berpunya dalam masyarakat. Melalui pendapat tersebut maka ideologi sebagai paradigm hukum pertama-tama dirumuskan. Menurut Marx, maka hukum merupakan bangunan atas yang ditopang oleh interaksi antara kekuatan-kekuatan dalam sektor ekonomi.[2]
Paradigma ideologi dalam hukum juga dijumpai dalam bidang hukum kontrak. Hukum kontrak sebagaimana lazim dikenal sekarang adalah produk dari abad ke-19. Pada abad ke-18, kontrak bukan merupakan hasil dari persetujuan individual, melainkan implementasi praksis kebiasaan dan kaidah tradisional. Ideologi komunal tersebut tidak mengenal kontra sebagai hasil suatu persetujuan.
Ideologi sebagai paradigma tidak membiarakan hukum sebagai suatu lembaga yang netral. Dunia menjadi sangat tersentak, pada waktu menyaksikan praktik Negara Jerman-Nazi, sebagai Negara hukum. Ternyata Negara hukum Jerman tidak menghalangi praktik untuk melakukan genocide terhadap ras yahudi. Kritik juga ditujukan kepada para praktisi yuris yang telah menjadi budak teknis-yuridis dari dominasi suatu ideologi yang immoral. Mereka menafsirkan kembali perundang-undangan sebelum tahun 1933 dengan mengesampingkan interprestasi yang di lakukan selama itu da menggantikannya dengan penafsiran yang mengacu kepada ideologi nasional-sosialistis. Ideologi yang berhubungan dengan ras di Amerika Serikat, itu ideologi keunggulan kulit putih telah menimbulkan penyebutan keadilan berdasar atas kelas (class justice, white justice). Kendatipun hukumnya menyatakan asas persamaan dihadapan hukum, tetapi Amerika terbeah dua menjadi Amerika putih dan hitam, dimana penduduk hitam ditempatkan di bawah penduduk kulit putih.
Peter Gabel dan Jay M. Feinman mengamati perubahan-perubahan dalam sosial ekonomi yang memunculkan ideologi berbeda dan yang pada gilirannya membentuk konsep tentang kontrak. Ideologi tersebut berfungsi untuk melegitimasi praksis kontrak dalam konteks tatanan sosial ekonomi yang berbeda-beda. Legitimasi kontrak pada abad ke-29 adalah ideologi tentang persaingan bebas sebagai konsekuensi dari interaksi antara individu secara sukarela, yang pada dasarnya bebas dan sederajad satu sama lain. Ideologi tersebut mengabaikan kenyataan tentang terbatasnya kebebasan pasar yang muncul dari posisi kelas seseorang dan pendistribusian kekayaan yang tidak sama. Konsekuensi hukum dari mistifikasi legitimasi tersebut adalah pemisahan hukum kontrak dari hukum tentang pemilikan dan hukum tentang hubungan yang bersifat non-konsensual.   
Pada abad ke-20 berlangsung suatu transformasi yang memberantakan aturan-aturan lama, persis abad ke-19 memberantakan tatanan abad ke-18. Di sini juga terjadi transformasi dari pikiran ideologis yang dibutuhkan untuk membenarkan praksis abad ke-20. Karakteristik esensial kapitalisme abad ke-20 adalah digantikannya kompetisi tanpa kendali dari pasar bebas oleh integrasi dan koordinasi dalam ekonomi. Di sini Negara secara besar-besaran masuk untuk mengatur dan menstabilkan keadaan.

C.  Hukum sebagai rekayasa social
Hukum sebagai rekayasa sosial atau sarana rekayasa sosial merupakan fenomena yang menonjol pada abad ke-20 ini. Tidak seperti halnya dalam suasana tradisional, dimana hukum lebih merupakan pembadanan dari kaidah-kaidah sosial yang sudah tertanam dalam masyarakat, hukum sekarang sudah menjadi sarana yang sarat dengan keputusan politik. Secara pasti penggunaan hukum sebagai sarana rekayasa sosial dipelopori oleh Roscoe Pound, yang pada tahun 1912 melontarkan suatu paket gagasan yang kemudian dikenal dengan sebagai program aliran hukum sosiologis. Program tersebut dirumuskan dalam tulisannya berjudul Scope and Purposive of Sociological Jurispridence.  Program Pound tersebut makna sosiologisnya terlihat pada sifatnya yang :
1.      Lebih diarahkan kepada bekerjanya hukum daripada kepada isinya yang abstrak
2.      Memandang hukum sebagai lembaga sosial yang dapat dikembangkan melalui usaha manusia dan menganggap sebagai kewajiban mereka untuk menemukan cara-cara terbaik dalam memajukan dan mengarahkan usaha sedemikian itu
3.      Lebih menekankan pada tujuan-tujuan sosial yang dilayani oleh hukum daripada sanksinya.
4.      Menekankan, bahwa aturan-aturan hukum itu harus lebi dipandang sebagai pedoman untuk mencapai hasil-hasil yang dianggap adil oleh masyarakat daripada sebagai kerangka yang kaku.
Penggunaan hukum sebagai sarana rekayasa sosial tidak dapat dilepaskan dari anggapan serta faham bahwa hukuman itu merupakan sarana (instrumen) yang dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan yang jelas. Penggunaan hukum sebagai sarana rekayasa sosial membawa kita kepada penelitian mengenai kaitan antara pembuatan hukum atau cara-cara yang dilakukan oleh hukum dengan hasil atau akibat yang kemudian muncul. Adam Podgorecki mengajukan beberapa langkah yang harus ditempuh, apabila pembuatan hukum ingin memberikan akibat seperti dikehendaki. Adapun langkah-langkah dalam rekayasa sosial itu antara lain :
1.    Mendeskripsikan situasi yang dihadapi dengan baik
2.    Analisis terhadap penilaian-penilaian mengenai situasi tersebut dan menentukan jenjang susunannya.
3.    Melakukan verifikasi hipotesa-hipotesa
4.    Pengukuran efek hukum yang dibuat.
Sesungghnya proses rekayasa sosial dengan menggunakan hukum merupakan proses yang tidak berhenti pada pengukuran efektivitasnya, melainkan bergulir terus. Proses yang bersambungan terus itu mengandung arti, bahwa temuan-temuan dalam pengukuran akan menjadi umpan balik untuk semakin mendekatkan hukum kepada tujuan yang ingin dicapainya.


[1] Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum (Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalahnya), Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 66
[2]  Ibid, hlm 74-75

No comments :

Post a Comment