"Ubi Societas Ibi Ius."

Saturday, 23 February 2013

Perubahan-Perubahan Sosial dan Hukum


A.  Hubungan antara perubahan sosial dan hukum
              Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam suatu masyarakat dapat terjadi oleh karena bermacam-macam sebab. Sebab-sebab tersebut dapat berasal dari masyarakat itu sendiri (sebab intern) mauapu luar masyarakat tersebut (sebab extern). Sebagai sebab-sebab intern antara lain : pertambahan penduduk atau berkurangnya penduduk, penemuan-penemuan baru, pertentangan (conflict) atau karena terjadinya revolusi. Sdangkan sebab-sebab extern yaitu : mencakup sebab-sebab yang terjadi di lingkungan alam fisik, pengaruh kebudayaan masyarakat lain, peperangan dan lain-lain.[1] Suatu perubahan sosial lebih mudah terjadi apabila suatu masyarakat sering mengadakan kontak dengan masyarakat-masyarakat lain, atau tela mempunyai sistem pendidikan yang maju. Sistem lapisan sosial yang terbuka, penduduk yang heterogen  serta ketidakpuasan masyarakat terhada bidang tertentu dapat pula memperlancar terjadinya perubahan-perubahan sosial.
              Di dalam proses perubahan perubahan hukum (hukum yang tertulis) pada umumnya dikenal adanya tiga badan yang dapat mengubah hukum, yaitu badan-badan pembentuk hukum, badan-badan penegak hukum dan badan-badan pelaksana hukum. Adanya badan-badan pembentuk hukum yang khusus, adanya badan peradilan yang menegakkan hukum serta badan-badan pelaksana yang menjalankan hukum, merupakan ciri-ciri yang terdapat pada Negara-negara modern. Pada masyarakat sederhana, ketiga fungsi tersebut mungkin berada di tangan satu badan tertentu atau diserahkan pada unit-unit terpenting dalam masyarakat seperti misalnya keluarga luas.
        Perubahan-perubahan sosial dan perubahan-perubahan hukum atau sebaliknya, tidak selalu berlangsung bersama-sama. Artinya pada keadaan-keadaan tertentu perkembangan hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur lainnya dari masyarakat serta kebudayaannya, atau mugkin hal yang sebaliknya terjadi. Apabila terjadi hal demikian, maka terjadilah suatu social lag yaitu suatu keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan dalam perkembangan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mengakibatkan terjadinya kepincangan-kepincangan. Tertinggalnya perkembangan hukum oleh unsur-unsur sosial lainnya, atau sebaliknya, terjadi oleh karena pada hakikatnya merupakan suatu gejala wajar di dalam suatu masyarakat bahwa terdapat perbedaan antara pola-pola perikelakuan yang diharapkan oleh kaidah-kaidah hukum dengan pola-pola perikelakuan yang diharapkan oleh kaidah-kaidah sosial lainnya. Hal ini terjadi oleh karena hukum pada hakikatnya disusun atau disahkan oleh sebagian kecil  dari masyarakat yang pada suatu ketika mempunyai kekuasaan atau kewenangan. Suatu keadaan yang menunjukkan bahwa hukum tertinggal oleh perkembangan bidang-bidang lainnya, seringkali menimbulkan hambatan-hambatan terhadap bidang-bidang tersebut. Tertinggalnya kaidah-kaidah hukum juga dapat mengakibatkan terjadinya suatu disorganisasi, yaitu suatu keadaan di mana kaidah-kaidah lama telah berpudar, sedangkan kaidah-kaidah baru sebagai penggantinya belum disusun atau dibentuk. Keadaan tersebut selanjutnya dapat menyebabkan terjadinya anomie, yaitu suatu keadaan yang kacau, oleh karena tidak adanya pegangan bagi para warga masyarakat untuk mengukur kegiatan-kegiatannya.

B.  Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat
         Hukum mungkin dipergunakan sebagai suatu alat oleh agent of change atau pelopor perubahan adalah seseorang atau kelompok orang yang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Suatu perubahan social yang dikehendaki atau direncanakan, selalu berada di bawah pengendalian serta pengawasan pelopor perubahan tersebut. Cara-cara untuk mempengaruhi masyarakat dengan system yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu, dinamakan social engineering atau social planning.[2] Hukum mepunyai pengaruh langsung atau pengaruh yang tidak langsung di dalam mendorong terjadinya perubahan social. Misalnya, suatu peraturan yang menentukan system pendidikan tertentu bagi warga Negara mepunyai pengaruh secara tidak langsung yang sangat penting bagi terjadinya perubahan-perubahan sosial.
      Di dalam berbagai hal, hukum mempunyai pengaruh yang langsung terhadap lembaga-lembaga kemasyarakatan yang artinya adalah bahwa terdapat hubungan yang langsung antara hukum dengan perubahan-perubahan sosial. Suatu kaidah hukum yang menetapkan bahwa janda dan anak-anak tanpa memperhatikan jenisnya dapat menjadi ahliwaris mempunyai pengaruh langsung terhadapat terjadinya perubahan-perubahan sosial, sebab tujuan utamanya adalah untuk mengubah pola-pola perikelakuan dan hubungan-hubungan antara warga masyarakat. Pengalaman-pengalaman di Negara-negara lain dapat membuktikan bahwa hukum, sebagiamana halnya dengan bidang-bidang kehidupan lainnya dipergunakan sebagai alat untuk mengadakan perubahan sosial. Misalnya di Tunisia, maka sejak diperlakukannya Code of Personal Status pada tahun 1957, seorang wanita yang telah dewasa, mempunyai kemampuan hukum untuk menikah tanpa harus di dampingi oleh seorang wali.
        Kiranya dapat dikatakan bahwa kaidah-kaidah hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat mempunyai peranan penting terutama dalam perubahan-perubahan yang dikehendaki atau perubahan-perubahan yang direncanakan. Dengan perubahan-perubahan yang dikehendaki dan direncanakan dimaksudkan sebagai suatu perubahan yang dikehendaki dan direncanakan oleh warga masyarakat yang berperan sebagai pelopor masyarakat. Dan dalam masyarakat yang sudah kompleks di mana birokrasi memegang peranan penting tindakan-tindakan social, mau tak mau harus mempunyai dasar hukum untuk sahnya. Oleh sebab itu, apabila pemerintah ingin membentuk badan-badan yang berfungsi untuk mengubah masyarakat (secara terencana), maka hukum diperlukan untuk membentuk badan tadi serta untuk menentukan dan membatasi kekuasaannya. Dalam hal ini kaidah hukum mendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial dengan membentuk badan-badan yang secara langsung berpengaruh terhadap perkembangan-perkembangan di bidang-bidang sosial, ekonomi, dan politik.

C.  Hukum sebagai sarana pengatur perikelakuan
        Sebagai sarana social engineering, hukum merupakan suatu sarana yang ditujukan untuk mengubah perikelakuan warga masyaraka, sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Salah satu masalah yang dihadapi dalam bidang ini adalah jika terjadi apa yang dinamakan oleh Gunnar Myrdal sebagaisoftdevelopment, dimana hukum-hukum tertentu yang dibentuk dan diterapkan, ternyata tidak efektif.
Gejala-gejala tersebut akan timbul, apabila ada faktor-faktor tertentu yang menjadi halangan. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari pembentuk hukum, penegak hukum, para pencari keadilan (justitiabelen), maupun golongan-golongan lain di dalam masyarakat. Faktor-faktor itulah yang harus diidentifikasi karena merupakan suatu kelemahan yang terjadi kalau hanya tujuan-tujuan yang dirumuskan, tanpa mempertimbangkan sarana-sarana untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Kalau hukum merupakan sarana yang dipilih untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, maka prosesnya tidak hanya berhenti pada pemilihan hukum sebagai sarana saja. Perlu diketahui batas-batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana (untuk mengubah atau mengatur perikelakuan warga masyarakat). Sebab, sarana yang ada membatasi pencapaian tujuan, sedangkan tujuan menentukan sarana-sarana yang tepat untuk digunakan. Adanya alat-alat  komunikasi tertentu, merupakan salah satu syarat bagi penyebaran serta pelembagaan hukum. Komunikasi tersebut dilakukan secara formal, yaitu melalui suatu tata cara yang terorganisasikan dengan resmi. Ada pula tata cara informal yang tidak resmi sifatnya. Inilah yang dinamakan difusi, yaitu penyebaran dari unsur-unsur kebudayaan tertentu didalam masyarakat yang bersangkutan. Proses difusi dapat dipengaruhi oleh:
a.       Pengakuan, bahwa unsur kebudayaan yang bersangkutan (dalam hal ini hukum) mempunyai kegunaan;
b.      Ada tidaknya pengaruh dari unsur-unsur kebudayaan lainnya, yang mungkin merupakan pengaruh negatif ataupun positif;
c.       Sebagai suatu unsur yang baru, maka hukum tadi mungkin akan ditolak oleh masyarakat, oleh karena berlawanan dengan fungsi unsur lama;
d.      Kedudukan dan peranan dari mereka yang menyebarluaskan hukum, mempengaruhi efektivitas hukum di dalam mengubah serta mengatur perikelakuan warga-warga masyarakat.
Inilah yang merupakan salah satu batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana pengatur atau pengubah perikelakuan. Untuk dapat mengidentifikasi masalah-masalah yang berkaitan dengan penggunaan hukum sebagai sarana pengatur perikelakuan. Terutama, masalah yang bersangkut paut dengan tata cara komunikasi, maka perlu dibicarakan perihal struktur penentuan pilihan pada manusia, sarana-sarana yang ada untuk mengadakan social engineering melalui hukum, hubungan antara hukum dengan perikelakuan, dan sebagainya. Hukum berproses dengan cara membentuk struktur pilihan-pilihan para pemegang peranan melalui aturan-aturan serta sarana-sarana untuk mengusahakan konformitas (antara lain, berwujud sanksi). Proses tadi berjalan dengan cara:
a.       Penetapan kaidah-kaidah hukum yang harus dipatuhi oleh pemegang peranan;
b.      Perumusan tugas-tugas penegak hukum untuk melakukan tindakan-tindakan positif atau negatif, sesuai dengan kepatuhan atau pelanggaran terhadap kaidah-kaidah hukum.
Hans Kelsen hanya menguraikan pada hubungan antara kaidah-kaidah hukum tersebut. Maka diperlukan kerangka yang lebih luas yang mungkin lebih banyak mempertimbangkan masalah-masalah disekitar penegak hukum subyek-subyek hukum lainnya. Untuk keperluan itu, dapat dikemukakan melalui langkah-langkah atau tahap-tahap yang didasarkan pada hipotesis-hipotesis sebagai berikut:
1.      Para pemegang peranan akan menentukan pilihannya, sesuai dengan anggapan-anggapan ataupun nilai-nilai mereka terhadap realitas yang menyediakan kemungkinan-kemungkinan untuk memilih dengan segala konsekuensinya.
2.      Salah satu di antara faktor-faktor yang menentukan kemungkinan untuk menjatuhkan pilihan adalah perikelakuan yang diharapkan dari pihak lain.
3.      Harapan terhadap peranan-peranan tertentu dirumuskan oleh kaidah-kaidah.
4.      Kaidah-kaidah hukum adalah kaidah-kaidah yang dinyatakan oleh para pelopor perubahan atau mungkin juga oleh pattern-setting group.
5.      Kaidah-kaidah hukum yang bertujuan untuk mengubah dan mengatur perikelakuan dapat dilakukan dengan cara-cara meliputi, pertama, melakukan imbalan-imbalan secara psikologis bagi pemegang peranan yang patuh maupun melanggar kaidah hukum; kedua, merumuskan tugas-tugas penegak hukum untuk bertindak sedemikian rupa; ketiga, mengubah perikelakuan pihak ketiga yang dapat mempengaruhi perikelakuan pemegang peranan yang mengadakan interaksi; keempat, mengusahakan perubahan pada persepsi, sikap, dan nilai pemegang peranan.

D.  Batas-batas penggunaan hukum
Menentukan tujuan hukum dan perkembangannya tidaklah sulit, sebaliknya yang dianggap sulit adalah menetapkan apakah anggota-anggota masyarakat itu dapat menerima atau mengakui tujuan hukum tersebut oleh karena taatnya anggota-anggota masyarakat kepada hukum dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu :
1.    Bahwa tujuan hukum identik dengan tujuan / aspirasi anggota-anggota masyarakat itu atau dengan kata lain taatnya anggota-anggota masyarakat pada hukum adalah karena terdapatnya perasaan keadilan dan kebenaran dalam hukum itu sendiri.
2.    Karena adanya kekuasaan yang imperative melekat dalam hukum tersebut, dengan sanksi apabila ada orang yang berani melanggarnya ia akan memperoleh akibat-akibat hukum yang tidak di ingini.
Menurut Roscoe Pound batas-batas kemampuan hukum terletak pada hal-hal sebagai berikut :
1.    Hukum pada umumnya hanya mengatur kepentingan-kepentingan para wraga masyarakat, yang bersifat lahiriyah
2.    Dalam menerapkan sanksi-sanksi yang melekat pada hukum ada batas-batasnya, sebab sebagaimana dikatakan oleh Edwin Sutherland “When the mores are adequate, laws are unnecessary; when the mores are inadequate, the laws are ineffective”.
3.    Lagipula, untuk melaksanakan isi, mmaksud dan tujuan hukum, di perlukan lembaga-lembaga tertentu.
Faktor-faktor tersebut perlu sekali diperhatikan apabila hukum hendak dipakai sebagai alat untuk mengubah masyarakat. Akan tetapi yang lebih penting lagi adalah pelopor perubahan yang ingin mengubah masyarakat dengan memakai hukum sebagai alatnya.
Rex dengan semangat sebagai seorang pelopor pembaharuan menduduki tahta pemerintah di suatu Negara. Ia beranggapan bahwa kegagalan-kegagalan dari orang-orang sebelum ia adalah terutama di bidang hukum. Sistem hukum yang berlaku tidak mengalami perubahan apapun juga sejak beberapa generasi yang lampau. Hal pertama yang dilakukannya adalah menghapuskan kekuatan berlakunya aturan-aturan hukum yang telah ada, oleh karena ia ingin mulai dengan sesuatu yang baru. Kemudian ia berusaha untuk melakukan kodifikasi hukum yang baru. Dikarenakan latar belakang pendidikannya yang sangat terbatas, ia pun menemui kesukaran-kesukaran untuk menyusun prinsip-prinsip dan garis-garis hukum yang umum sifatnya.




[1] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, cet-5, 1988, hlm. 99
[2] Ibid, hlm 107.

No comments :

Post a Comment