"Ubi Societas Ibi Ius."

Thursday, 14 February 2013

Mahzab-Mahzab Pemikiran dalam Sosiologi Hukum


   A.     Aliran-Aliran dalam  Sosiologi Hukum.
Terdapat dua aliran yang mengembangkan sosiologi hukum yaitu :
1.      Aliran Positif.
Aliran ini hanya ingin membicarakan kejadian yang dapat diamati dari luar secara murni. Mereka tidak mau memasukan hal-hal yang tidak dapat diamati dari luar, seperti nilai dan tujuan. Aliran positif ini di pelopori oleh Donald Black. Black menyatakan perihal terjadinya kekaburan antara ilmu (science) dan kebijaksanaan (policy) dalam sosiologi hukum.
Menurut Black, ia hanya berurusan dengan fakta yang dapat diamati (observable fact). Ia tidak boleh memikirkan tentang adanya tujuan hukum, maksud hukum, nilai dalam hukum dan lain-lain. Hukum adalah apa yang kita lihat ada dan terjadi dilakukan dalam masyarakat.[1] Sosiologi hukum bertolak dari catatan-catatan mengenai kenyataan yang teramati tersebut.
Positivisme ini, dengan maksud yang jelas, hendak menggantikan dan mengerti zaman yang ada dengan caranya sendiri.  Paham ini melihat masa pertengahan abad ke-19 sebagai peralihan yang jelas dari masa dominasi gereja (teologis) dan para pendukungnya (metafisik), digantikan oleh kaum industrialis dan intelektual, yang tidak lain adalah kaum positivistis itu. Yang melatarbelakangi tumbuhnya sosiologi dalam filsafat positivisme itu adalah sebagai berikut :
Ø  Semua pengetahuan harus didasarkan atas pengamatan empiris, baik itu alam, manusia dan masyarakat.
Ø  Pengamatan harus diberi nilai tinggi dari suatu gagasan (reprensentation) [2]
Dengan demikian, pengetahuan yag benar atau ilmiah, yang empiris dan yang bukan diturunkan dari agama dan filsafat. Itulah yang dikatakan positivisme sebagai pemikiran sosiologi awal.
2.      Aliran Normatif
Menurut aliran ini, hukum bukan merupakan fakta yang teramati tetapi merupakan suatu institusi nilai. Hukum mengandung nilai-nilai dan bekerja untuk mengekspresikan nilai-nilai tersebut dalam masyarakat. Menurut aliran ini, hukum bersifat derivartif, karena itu tidak dapat dipisahkan dari institusi primer seperti politik dan ekonomi.

B.     Peletak-Peletak Dasar Sosiologi Hukum
Di Eropa
1.   Durkheim
Dalam karyanya “ Division du Travail Social” tahun 1983 : masalah hubungan antara bentuk-bentuk kemasyarakatan dan jenis-jenis hukum. “Lambang kesetiakawanan sosial yang tampak (dianggap sebagai suatu kesetiakawanan yang sungguh-sungguh, yakni sebagai suatu bentuk kemasyarakatan) adalah hukum”.[3] Pada hakikatnya, banyak jasanya untuk perkembangan sosiologi hukum yang sistematis (dengan menelaah hubungan antara tipe-tipe hukum dan masyarakat-masyarakat yang serba meliputi).   
Sosiologi hukum itu harus harus membedakan antara jenis-jenis hukum. Klasifikasi pertama yang perlu diadakan ialah antara hukum yang bersesuaian dengan kesetiakawanan mekanis atau kesetiakawanan karena perbedaan. Hukum yang bersesuaian dengan kesetiakawanan mekanis ialah hukum pidana dan hukum yang bersesuaian dengan kesetiakawanan organis ialah hukum keluarga, kontrak dan dagang, hukum prosedur, hukum administratif dan konstitusionil. Dua tipe pengaturan hukum yang pararel dengan dua tipe kesetiakawanan yang berlawanan dijelmakan dalam dua jenis sanksi-sanksi yang terorganisasi yang berlain-lainan : hukum yang timbul dari kesetiakawanan mekanis diiring dengan sanksi-sanksi yang sifatnya mengekang dan hokum yang timbul dari kesetiakawanan yang organis diiringi oleh sanksi-sanksi yang sifatnya memulihkan.
Sanksi yang sifatnya mengekang (repressive) adalah suatu sanksi yang berarti suatu celaan dari masyarakat, suatu penghinaan terhadap kehormatan, baik dalam bentuk hukuman mati atau hukuman badan, penghapusan kemerdekaan dan lain-lain atau semata-mata pencelaan dimuka umum. Sesungguhnya sanksi-sanksi represif (mengekang) dan hukum pidana yang mengiringinya melindungi persamaan-persamaan sosial yang paling hakiki. Sebaliknya sanksi-sanksi yang bersifat memulihkan, melindungi diferensiasi masyarakat dalam fungsi-fungsi yang khusus, dalam kelompok-kelompok yang kecil, dalam kegiatan-kegiatan pribadi yang diindividualiskan. Hokum restitutif menjamin pembagian bebas kerja sosial, yang sendirinya merupakan suatu akibat: “diasosiasikan dengan idaman kolektif yang lebih luwes, yang membolehkan pengkhususan”.
 Durkheim mendapatkan bukti bagi adanya persesuaian antara hukum yang mengekang dan kesetiakawanan mekanis, antara hukum yang memulihkan dan kesetiakawanan organis. Sesungguhnya sanksi-sanksi refresif (mengekang) dan hukum pidana yang mengiringi persamaan-persamaan sosial yang paling hakiki. Dalam suatu masyarakat yang kesetiakawanan organis, suatu kesetiakawanan di antara mereka yang sejenis, menjadi berkuas, maka sebagian terbesar dari hukum membebaskan diri dari hukum pidana, bahkan mulai menguasai hukum pidana itu. Kemudian Durkheim membedakan hukum kontrak dari hukum yang berada di luar kontrak (hukum rumah tangga, hukum serikat buruh, hukum konstitusionil dan lalin-lain). Demikian pula, menurut Durkheim kesetiakawanan organisasi seolah-olah runtuh menjadi apa yang dinamakan sendiri kesetiakawanan kontrak atau kesetiakawanan yang membatasi dan sauatu kesetiakawanan yang lebih erat dan lebih positif yang boleh dianggap sebagai kesetiakawanan karena saling masuk memasuki atau setengah peleburan. Tetapi dalam penyelidikan-penyelidikannya yang kenmudian, Durkheim agak kurang optimis terhadap revolusi hukum. Bahkan dalam kerjanya Deux lois de le’volution penale (1900), ia memisahkan Negara dari setiap ikatan yang perlu dengan kesetiakawanan organis dan menegaskan peranannya yang merdeka sebagai suatu faktor dalam evolusi hukuman-hukuman selama masih berdasarkan penguasaan. Hukum menjadi semakin keras sesuai dengan semakin rendahnya tipe masyarakat dan semakin mutlak kekuasaan pusatnya. 
Pada hakikatnya, dimana Durkheim melihat identitas atau persamaan, di sana ada berbagi kombinasi : hukum kerjasama, boleh jadi bersifat represif dan bersanksikan sanksi-sanksi yang sifatnya restitutif dan paksaan-paksaan yang bersyarat (hukum  mengenai perusahaan-perusahaan dagang, trust-trust dan pabrik-pabrik dewasa ini). Namun terdapat pengabaian setelah ia meninggal dunia (revue Metaphysique, 1930). Adapun pengabaian analisis permasalahan itu antara lain:
Ø  Pentingnya kedudukan sosiologi hukum genetis dengan sendirinya memusatkan perhatian Durkheim kepada masyarakat yang menyeluruh dan bukan kepada kelompok-kelompok bawah.
Ø  Durkheim cenderung kepada monisme social dan hukum : menyusun kelompok-kelompok bawahnya dalam suatu hierarki yang rapi, dan kelompok kelompok profesional senantiasa dibawahakan kepada Negara, yang jauh lebih tinggi daripada masyarakat internasional.
Dalam bahasan-bahasan yang konkret mengenai hukum, realismenya mengenyahkan idealismenya yang hampir saja membawa dia kembali kepada konsepsi hukum sebagai suatu epiphenomena sederhana, suatu proyeksi subjektif : itulah sebabnya lebih diutamakan penyelidikan genetis.
2.      Duguit, Levy dan Hauriou
Tiga peletak dasar sosiologi hukum bangsa Perancis, Leon Duguit (meninggal tahun 1938), Emmanuel Levy dan Maurice Hauriou (meninggal 1930), sampai pada sosiologi hukum bukan dari sosiologi, tetapi ilmu hukum.[4] Dua orang tersebut dianggap sebagai murid-murid Durkheim, tetapi Houriou-lah yang meneruskan mencari sintesa antara realisme dan idealisme sebagai suatu dasar bagi sosiologi hukum. Sebaliknya  Duguit mengganggap dirinya “realistis dan bukannya naturalistis” dalam orientasinya, sedang Levy cenderung kepada subjektivismenya yang sangat idealistis.
Leon Duguit tidak begitu mengindahkan bahasan sosiologi hukum itu sendiri, melainkan lebih mementingkan penggunaannya dalam iulmu hukum yakni tekhnis sebagai seni dari sistematisasi hukum yang benar-benar berlaku, khususnya hukum konstitusionil. Diantaranya karya-karya Duguit yang berkaitan langsung dengan masalah-masalah sosiologi hukum, L’Etat (1901-1903) terutama sekali dikhusukan yang berkaitan dengan masalah-masalah umum. Sebagaimana halnya Durkheim, maka Duguit pun menghubungkan semua hukum itu dengan kesetiakawanan de facto, yakni ikatan sosial. Duguit setelah mendapatkan bahwa dalam masyarakat yang beradab dan hanya ini saja yang menarik perhatianny, disana ada kesetiakawanan organis, memusatkan perhatiannya pada hubungan antara hukum yang timbul dari kesetiakawanan ini (hukum objektif) dan Negara.
Hukum objektif yang timbul dari kesetiakawanan yang semata-mata menguasai milieusosial yang berlawanan dengan Negara, adalah bebas dari pernyataan kehendak, karena kehendak tidak dapat berbuat lebih selain daripada mengakuinya dan dapat menghasilkan akibat-akibat hukum hanya dengan menundukkan kepada “hukum objektif”. “Berbicara tentang hak-hak individu, hak-hak masyarakat, hak-hak kelompok, adalah membicarakan segala sesuatu yang tidak ada”.  Hukum objektif yang timbul dari kesetiakawanan social “tidak memungkinkan paham tentang suatu hak masyarakat kolektif untuk memerintah individu dan juga hak individu untuk memaksakan kepribadiannya kepada masyarakat kolektif dan individu-individu lainnya”. Sesungguhnya, organisasi yang dilihat dari sudut hukum, tidak lain adalah gabungan yang saling berkaitan dengan berbagai macam pembagian wewenang serta tugas-tugas, yakni melalui saling resap-meresapi di antara hak-hak, yang diberikan untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi tertentu. Hukum yang tidak terorganisasi dan spontan “adalah lebih tua dan lebih unggul daripada Negara”, bukan hanya unggul dari kekuasaan Negara, juga lebih unggul dari tata tertib Negara dan lembaga Negara, itu sendiri. “Campur tangan pembuat undang-undang tetap tidak mampu mengubah hukum yang spontan dan terorganisir : ”segala apa yang dapat diperbuatnya hanya sekedar merumuskan hukum yang dinamis yang telah ada terlebih dahulu, yang selalu melampaui limitnya”. Pada akhir kariernya, Duguit terpaksa, apabila ia berbicara tentang kesetiakawanan dan hukum, untuk memperhatikan unsur psikologis dan aspirasi-aspirasi terhadap keadilan. “Yang membuat hukum itu adalah kepercayaan, yang meresap ke dalam kalbu pada suatu masa di suatu tempat tertentu, bahwa suatu peraturan tertentu bersifat imperatif, yang berarti : adil menurut perasaan keadilan yang berlaku ketika itu”.
Tipologi hukum masyarakat yang meliputi segala-galanya dewasa ini, sebagaimana yang dilakukan duguit, bermaksud untuk menggambarkan perubahan-perubahan sistem hukum pada bagian kedua dari abad ke-19 dan dalam abad ke-20. Bentuk-bentuk kolektifitas dari Negara mulai zaman romawi kuno Kerajaan Jacobin, hingga napoleon, yang diasosiasikan dengan asas kedaulatan “yang hanya merupakan nama lain untuk hak subjektif Negara untuk Pemerintah”, “sedang mengalami kematian”, yang harus diganti dengan “federalisme fungsionil dari jawatan-jawatan umum yang disentralisasikan”, yang “mengurus dirinya sendiri di bawah pengawasan pemerintah. Demikianlah di zaman sekarang ini, karena dekade “konsepsi imperialistis tentang hukum antar bangsa” dan “ konsepsi individualistis tentang hukum privat”, maka munculah “tata tertib hukum yang realistis, sosialistis dan objektif”, dan yang sendirinya merupakan hasil suatu hari dalam sejarah. Kecenderungan umum dari penyelidikan Duguit adalah terlalu dogmatis, terlalu diresapi oleh asas realivitas. Sedangkan uraian-uraian genetisnya adalah jelas tidak bebas dari suatu prasangka tertentu, suatu hasrat untuk membuktikan bahwa evolusi hukum saat ini membenarkan premis-premis teoretikusnya, realisme sensualisnya, dan lain-lain.
Jasa Duguit terutama sekali terletak dari caranya ia memperlihatkan adanya masalah-masalah tertentu yang tidak dilihat oleh Durkheim (hukum yang spontan tidak terorganisasi, hukum dan Negara), dan bukan dalam caranya memecahkan masalah-masalah itu. Jika Duguit berusaha memutar sintesa sosiologis Durkheim ke arah suatu realisme, maka sebaliknya Emmanuel Levy, mencoba memberinya orientasi yang semata-mata bersifat subyektif dan idealistis. Levy mengejar tujuan dari pengembangan “pandangan hukum sosialistis”, dari menemukan jiwa hukum di masa depan yang sesuai dengan keyakinan-keyakinannya. Ia mengatakan bahwa perubahan hukum sekarang melalui perubahan-perubahan kepercayaan kolektif. Ia menganalisa evolusi sekarang dari psikologi kolektif hukum. Bagi Levy hukum yang spontan ini semata-mata berupa “hukum kolektif” dan di lain pihak, sebagai kesadaran fenomena, sebagai sifat dasar kita, dan kemutlakan kita. Semua hubungan hukum berubah menjadi hubungan-hubungan antara orang-orang yang menyertai dalam kepercayaan-kepercayaan, pada hakikatnya hubungan-hubungan yang bersifat membatasi dan negative, yang di dalamnya tersimpul subyek-subyek yang terisolir dan bertentangan. Karena gagal mengutarakan masalah bentuk-bentuk hubungan masyarakat, Levy akhirnya mereduksi semua ikatanmasyarakat terhadap hubungan-hubungan dengan orang-orang lain (alter, ego), menjadi hubungan-hubungan saling keterkaitan dan saling bersatu : dengan mengabaikan interpenetrasi dan peleburan sebagian-sebagian dan demikian kembali kepada konsepsi-konsepsi tadisional-individualistis. Levy telah memberikan kita suatu uraian tajam tentang perubahan-perubahan milik serta tanggungjawab dalam masyarakat kapitalis modern, yang menuju ke arah suatu hukum berdasarkan nilai-nilai yang tidak tetap, yang dipengaruhi dan tergantung kepada keyakinan dan jaminan kolektif terhadap resiko yang timbul dari ketidaktetapan itu.
Berlawanan dengan realisme sensualis dari Duguit dan idealisme subyektivistis dari Levy, Maurice hauriou, seperti Durkheim, berusaha mencari suatu dasar yang “idealistis-realistis” bagi sosiologi hukum. Menurut Maurice Hauriou, gagasan-gasan ini member perlawanan dan bertindak sebagai objeknya. Tetapi gagasan-gagasan serta nilai-nilai ini tidak diperoleh melalui perangkaan atau demonstrasi, karena telah dikhususkan dan tersimpul dalam kenyataan yang mengelilingi kita. Hanya pengalaman langsung yang diperluas memungkinkan kita memahami gagasan-gagasan dan niali-nilai itu. Sosiologi hukum Hauriou yang mengutamakan analisis terhadap lapisan-lapisan keseimbangan yang merupakan “lembaga”, yakni : kenyataan sosial hukum, pada suatu pihak tertuju kepada masalah-masalah sistematis, pada pihak lain tertuju masalah-masalah yang berkenaan dengan tipologi hukum dari kelompok-kelompok, yang saying sekali tidak dibedakan dari mikrososiologi hukum.
Hauriou membedakan dua jenis lembaga  yaitu, lembaga-lembaga kelompok, badan-badan sosial dan apa yang dinnamakan “thing institution atau lembaga perizinan yang digunakan untuk berhubungan dengan yang lainnya. Ia menyinggung masalah bentuk-bentuk kemasyarakatan sebagai tempat-tempat lahirnya berbagai macam hukum, tetapi karena ia tidak mengadakan pembedaan jelas antara miksososiologi dan makrososiologi hukum, maka ia pun segera pula meninggalkan persoalan untuk menyamakan ini dengan persoalan “kehidupan hukum bathiniah dan lahiriah” dari satuan-satuan kolektif yang nyata. Kekuatan yang dipergunakan Hauriou untuk menegaskan kemampuan tiap-tiap lembaga kelompok untuk menciptakan keranga hukumnya sendiri, ketegasan yang diperlihatkan dalam mengutarakan masalah keserbanajemukan hukum, memaksanya menelaahtipologi hukum dari kelompok-kelompok tertentu yang khas. Tetapi tipologi kelompok-kelompok ini, tidak begitu diperkembangkan seluas-luasnya oleh Hauriou dan tidak merupakan kemajuan yang jelas. Ini disebabkan :
Ø  Karena sama sekali tidak ada pertimbangan mikrososiologis di dalam setiap kelompok, seharusnya memperhatikan adanya berbagai bentuk kemasyarakatan yang menentang dan menyeimbangkan satu sama lain dengan cara yang khas.
Ø  Karena kerangka-kerangka hukum yang bersesuaian dengan tipetipe kelompok adalah kompleks karena terdiri dari berbagai jenis hukum yang timbul dari bentuk-bentuk kemasyarakatan, maka semuanya tidak dapat ditentukan cirri-cirinya tanpa mengetahui bentuk-bentuk kemasyarakatan nya.
Akhirnya, ketiadaan analisis mikrososiologis membuatnya ragu-ragu untuk mengakui bahwa kepentingan umum dapat diwakili oleh kelompok-kelompok lain yang bukan Negara, dan menjelang akhir kariernya keragu-raguan ini meneyebabkan (terpengaruh oleh St. Thomas) menyatakan secara dogmatis, bahwa Negara adalah “lembaga terpenting di antara segala lembaga”, lembaga yang paling sempurna dan paling utama “yang mewakili kepentingan umum”.
3.      Max Weber dan Eugene Ehrlich
Menurut Max Weber semua sosiologi hukum dieduksikan menjadi kemungkinan-kemungkinan atau “kesempatan-kesempatan” dari kelakuan sosial, menurut suatu sistem yang koheren dari aturan-aturan yang diselenggarakan oleh ahli hukum bagi suatu tipe masyarakat tertentu. Pendekatan Weber terhadap penggunaan metode pemahaman secara interpretatif dalam arti-arti bathin perbuatan-perbuatan untuk sosiologi, suatu metode yang bermanfaat bagi perdamaian dan kerjasama antara sosiologi hukum dan filsafat hukum. Sdengkan Erlich membuktikan kenyataan bahwa jikalau sosiologi hukum hanya mengambil sistematisasi ilmu hukum sebagai titik tolak, maka sosiologi hukum itu tidak akan memahami tujuannya yang sebenarnya, yakni kenyataan hukum integral yang mentransendikan semua skema “dalil hukum bersifat abstrak” atau aturan-aturan mengenai persengketaan. Dalam tiga karyanya yang terutama, Beitrage zur Theorie der Rechtsqullen (1902), Grundlegung der Sozioligie des Rechts (jilid pertama 1913, jilid kedua 1928) dan Die Juristische Logik (1919) Ehrlich menyelenggarakan dua tugas yaitu :
Ø  Ia hendak menunjukkan bahwa apa yang dinamakan “ilmu hukum” yang diselenggarakan oleh para ahli hukum adalah semata-mata suatu teknik yang bersifat relatif dimaksudkan untuk mencapai ujuan-tujuan praktis dan sementara waktu, dan berkat sistematisasi khayali, tidak mampu memahami apapun kecuali kulit yang paling luar dari kenyataan hukum integral dan spontan dalam segala tingkat kedalamannya.
Ø  Kenyataan bahwa ilmu hukum dogmatis-normatif bukanlah suatu ilmu melainkan semata-mata suatu teknik yang diapakai untuk mencapai tujuan-tujuan pengadilanyang bersifat temporer, menjadi sangat jelas apabila diketahui bahwa asas-asas yang biasanya dianggap bersumber pada logika hukum yang tidak berubah-ubah sesungguhnya hanyalah penyesuaian kepada keadaan-keadaan kesejarahan yang sangat konkret.
Demikianlah postulat dari apa yang dianamakan dengan logika hukum yang sesungguhnya tidak ada sangkut pautnya dengan logika yang sebenarnya. Yaitu :
a.       Pengabaian kebebasan bagi hakim, yang terikat oleh dalil-dalil yang diterapkan terlebih dahulu.
b.      Tergantungnya segala hukum kepada Negara.
c.       Kesatauan hukum yang disamakan dengan keruntuhan sistematis dari dalil-dalil hukum.
Menurut Ehrlich, diletakannya peraturan-peraturan untuk mencapai keputusan-keputusan jika terjadi silang sengketa di atas tata tertibmasyarakat yang damai dan spontan, dan diletakannya dalil-dalil hukum yang abstrak diatas peraturan-peraturan ini, dan juga perubahan-perubahan dalam hubungan-hubungan di antara ketiga lapisan dari kenyataan hukum, haruslah dijelaskan secara sosiologis. Kekurangan hakiki dalam sosiologis hukum Ehrlich, suatu kekurangan yang sangat menarik perhatian dan banyak pengarunya di Amerika Serikat ialah ketiadaannya perhatian terhadap bentuk-bentuk kemasyarakatan dan tipe-tipe hukum pengelompokan. Pluralisme sosiologis dan pluralisme hukum Ehrlich sifatnya adalah semata-mata vertical. Hal ini menyebabkan ia mencampuradukan dengan istilah “Gesellschaftsrecht” serangkaian jenis hukum, dan mencampuradukkan ini diulangi lag terhadap aturan-aturan untuk mengambil keputusan dan dalil-dalil abstrak.
            Di Amerika
4.      O.W. Holmes
Hakim Holmes salah seorang sahabat karib dari filosof besar Amerika, William James. Holmes sudah member isyarat yang disebut dengan tepatnya oleh Profesor Aronson “revolusi sosiologi dalam ilmu hukum” di Amerika. Holmes menekankan perlunya bagi sarjana hukum untuk yang berkaitan dengan pekerjaannya memberikan perhatian kepada penelaahan-penelaahan yang obyektif dan empiris dari kenyataan sosial yang aktuil, sebagaimana yang dilakukan oleh ilmu-ilmu sosial, khusunya sosiologi.
Tiga unsur pikiran Holmes mendorongnya ke suat jurusan yang bertentang dengan inspirasi utamanya, yaitu :
Ø  Definisinya bukan saja tentang ilmu hukum yurisprudensi, tetapi tentang hukum itu sendiri sebagai ramalan tentang apa yang dilakukan oleh pengadilan-pengadilan, membatasi programnya yang luas dari sosiolog hukum dengan memusatkan perhatiannya kepada penggambaran satu lapisan kedalaman dari kenyataan hukum saja, yang berhubungan dengan kegiatan pengadilan-pengadilan.
Ø  Karena mengakibatkan ilmu hukum, sebagai suatu seni, menjadi suatu ilmu deskriptif dalam arti yang sempit, sehingga Holmes agak terpaksa merubah sosiologi menjadi suatu seni, sambil berusaha melenyapkan tujuan-tujuan ilmu hukum yang efektif sebagai seni.
5.      Roscoe Pound
Sosiologi hukum di Amerika Serikat telah menemukan ketelitian yang sangat terperinci dan meluas, berkat penemuan ilmiah Roscoe Pound, pakar tiada tandingannya dari mazhab “ilmu hukum sosiologis yurisprudensi”. Pound lebih mengutamakan tujuan-tujuan praktis, yaitu antara lain :
a.       Menelaah “akibat-akibat sosial yang aktual dari lembaga-lembaga hukum dan doktrin-doktrin hukum”, dan karenannya lebih memandang kepada kerjanya hukum daripada isi abstraknya.
b.      Mengajukan “studi sosiologis berkenaan dengan studi hukum untuk mempersiapkan perundang-undangan”.
c.        Menciptakan “efektifitas studi tentang cara-cara membuat peraturan-peraturan dan member tekanan kepada tujuan-tujuan sosial yang henadk dicapai oleh hukum dan bukannya kepada sanksi”.
d.      Studi “sejarah hukum sosiologis” yakni tentang akibat sosial yang telah dihasilkan oleh doktrin-doktrin hukum dan bagaimana cara menghasilkannya.
e.       Membela apa yang telah dinamakan pelaksanakan hukum secara adil dan mendesak agar ajaran-ajaran hukum harus dianggap petunjuk-prtunjuk ke arah hasil-hasil yang  adil bagi masyarakat dan bukannya terutama sekali sebagai bentuk-bentuk yang tidak dapat dirubah.
f.       Akhirnya tujuan yang hendak dicapai dari keseluruhan ialah agar lebih efektifnya usaha untuk mencapai maksud-maksud serta tujuan-tujuan hukum.
Penandasan Pound kepada kepentingan-kepentingal sosial, yang terkadang dianggap salah sebagai kecenderungan kepada keserbamanfaatan sosial suatu pandangan yang selalu ditentangnya secara tegas, yang terbukti dengan pertikaiannya denga Ihering baginya pada hakikatnya hanyalah merupakan suatu metode untuk mengajak pengadilan-pengadilan agar memperhatikan kenyataan kelompok-kelompok sosial yang khusus dan tata tertibnya masing-masing. Didalam karya-karyanya secara tegas diperlihatkannya kenisbian sosiologis dari tehnik-tehnik hukum, kategori-kategori hukum dan konsep-konsep hukum. Pound tidak sadar bahwa orang dapat memiliki perhatian dengan nilai-nilai yang menjelma dalam fakta-fakta special dan tetap tak menyatakan baik buruknya. Dari semua ini timbul suatu tendensi yang dogmatis serta bersifat menyusilakan yang secara langsung mengancam pendirian metode dalam sosiologi hukum. Sebagai akibat dari orientasi teleologisnya ini dapatlah dicatat penolakan Pound untuk menangalkan kepercayaan kepada harus Negara terlebih dahulu, dan keunggulan priori Negara atas kelompok-kelompok lainnya.
6.      Benjamin Cardoso
Sosiologi hukum Hakim Cardoso ini bertolak dari perenungan tentang perlunya memperbaharui teknik hukum yang actual dengan menutup jurang antara teknik hukum itu dan kenyataan hukum yang hidup dewasa ini. Karyanya pertamanya, yang diberi judul The Nature of Judicial Proses (1921, edisi ke-8, 1932) bertujuan untuk menunjukan bahwa “ketidaktetapan yang semakin bertambah oleh keputusan pengadilan” adalah suatu manisfestasi yang tidak dapat dicegah dari kenyataan bahwa proses pengadilan “bukanlah penemuan, melainkan penciptaan” penciptaan yang diperhebat oleh situasi sesungguhnya dari kehidupan hukum. Situasi ini terdiri atas kenyataan “bahwa untuk setiap tendensi kelihatannya orang harus mencari tendensi-lawan, dan bagi setiap peraturan harus dicariakn lawannnya pula.
Melalui konsep sempit dari metode sosiologi yang diperlengkapi dengan metode logika secara analog, dan juga metode tradisi dalam proses pengadilan bahwa Cardozo mengawali bukunya dan dalam beberapa hal. Kecenderungan teologikal-sosiologikal inilah yang mendorong Cardozo, melalui putusan-putusan pengadilan, mencari yang bertindak sebagai penengah dari antara pergerakan dan stabilitas luar biasa, ketidaktentuan dan keamanan. Ia menyatakan bahwa “adat kebiasaan” hanya menjadi hukum jika menadpat sanksi atau mampu mengadakan sanksi demi pengadilan. Ia bersandar pada definisi Holmes tentang hukum sebagai suatu ramalan tentang apa yang akan dilakukan oleh pengadilan. Menurut Cardozo, cukup memadai untuk menentapkan kemungkinan berhasil bahwa adat kebiasaan pada suatu hari akan dapat berwujud sebagai suatu pertimbangan untuk menganggapnya sebagai hukum.
Buku terakhir Cardozo, Paradoxes of Legal Sciences (1982) yang paling berkesan dari antara karya-karyanya, maju selangkah lagi ke arah sosiologi hukum yang bebas dari tehnik yuridis (yurisprudensi) dan yang bertugas sebagai satu dasarnya. Bahwa sosiologi hukum haruslah dibimbing oleh kesadaran. Dinamisme yang serba nisbi dan anti konseptualisme mulai menguasai pemikiran-pemikiran terkahir Cardozo, yang disokong oleh suatu renungan tentang partikularisme, kekhususan, nilai-nilai konkret, dan oleh pluralisme, kemajemukan sosiologis.

C.    Realisme Hukum dan selanjutnya
K.M. Lewelyn dan Thurman Arnold. Mazhab neo-realistis yang berkembang selama sepuluh tahun terakhir ini merupakan suatu reaksi yang sengit terhadap orientasi “sociological yurisprudence” yang bersifat terutama sekali teleologis dan moralistis. Erat bertalian dengan nama-nama K.N. Lewelyn, Thurman Arnold, Walter W. Cook, H.E. Yntema, L. Green, Underhill Moore, H.Oliphant, Max Radin, Yerone Frank, E.W. Robinson dan Charles E. Clark, aliran ini hanya sama dengan sikap negative daripada jurubicaranya.[5] Mereka berusaha untuk menghapuskan pertimbangan-pertimbangan teleologis dan penilaian-penilaian buruk, bukan saja dari sosiologi hukum melainkan juga ilmu hukum sendiri.
Para realis-realis hukum (legal realist) itu semuanya memulai dengan interprestasi yang sangat sempit dan sungguh-sungguh buruk dari definisi hukum Holmes, yakni hukum sebagai “ramalan tentang apa yang dilakukan oleh pengadilan-pengadilan. Maka Lewelyn menulis dalam karyanya yang pertama : apa yang diperbincangkan oleh para pembesar (hakim-hakim atau polisi-polisi atau klerk-klerk atau sipir-sipir atau ahli-ahli hukum). Demikiam pula Frank : hukum adalah suatu keputusan dari suatu pengadilan. Realisme hukum saat ini mempunyai arti ‘sensualisme naturalistis”, yakni suatu keperluan sederhana untuk menggantikan penilaian-penilaian berdasarkan kenyataan, yakni “serba pengalaman” (empiricism), istilah yang dapat mempunyai berbagai arti, yakni anti-konseptualisme, yakni irrasionalisme decisionistis dan actualistis irrationalism yang tidak perlu bersifat sensualistis atau realistis dan lain-lainnya.
K.N. Lewelyn menyatakan dalam bukunya yang pertama, bahwa yang dapat menjadi dasar ilmiah dari ilmu hukum hanyalah sosiologi hukum : “suatu hal yang tak dapat dihindarkan untuk member kepada sosiologi hukum kemungkinan untuk melakukan pekerjaannya sendiri, tanpa gangguan, sebelum hasil-hasilnya yang pasti dapat digunakan terhadap ilmu hukum (Jurisprudensi)”.  Sosiologi hukum menyimpulkan adanya “konsepsi msayarakat sedang bergerak, dan bergerak jauh lebih cepat daripada hukum, sehingga selalu ada kemungkinan, bahwa setiap bagian hukum memerlukan pemeriksaan kembali untuk menentukan apakah ia masih sesuai dengan masyarakat. Lewelyn merasa juga adanya kebutuhan-kebutuhan yang dihadapinya, dan ia berusaha meloloskan diri dari kebuntuan-kebuntuan dengan menambahkan kepada salah satu bahasan-bahasannya tentang definisi hukumnya yang asli, pernyataan bahwa bukannya semata-mata kelakuan resmi, melainkan juga “kelakuan orang-orang awam adalah sebagian dari hukum” ( A realistic Jurisprudence) atau sebagaimana ia pernah menuliskan “hukum adalah apa yang dilakukan sesungguhnya oleh pengadilan-pengadilan atau orang-orang (Some Realism About Realism). “Cara-cara hukum dipergunakan untuk menunjukan sesuatu kelakuan atau perbuatan yang jelas menurut hukum adalah menurut sifatnya, coraknya, artinya atau akibatnya”.  Dengan menghapuskan tuntutan akan nilai-nilai hukum tentang keadilan khusus, Lewelyn menghapuskan kemungkinan :
a. Untuk menghubungkan sifat sebagai peranan dari sahnya hukum, yang ditempatkan antara otonomi dan heteronomi dengan struktur dalam dari pengaturannya, yang berlawanan dengan struktur dalam agama, kesusilaan dan estetika.
b. Untuk menembus lapisan-lapisan yang terdalam dari kenyataan sosial dari hukum, yang mengatasi tingkat pola-pola yang bersesuaian dan yang dipusatkan di sekitar lambing-lambang yang sesungguhnya, nilai-nilai kolektif dan kepercayaan-kepercayaan.
Konsepsi tentang teknik hukum tidak membuatnya menjadi nisbi semata-mata dengan struktur-struktur sosial dan tidak dengan nilai-nilai yang direalisasikan di dalamnya. Penggunaan realisme hukum oleh Thurman Arnold sebagai titik tolak bagi sosiologi hukum, sangat berlainan bentuknya dari apa yang dilakukan oleh Lewelyn. Sebagaimana halnya dengan Lewwlyn, Arnold telah mengatasi sama sekali konsepsi tentang hukum yang dianut oleh kaum realis, tetapi kejurusan yang beralinan sama sekali, yakni suatu keyakinan bahwa semua kehidupan sosial ada hubungannya dengan ilusi-ilusi, kepercayaan-kepercayaan serta government (1935) dan The Folklore of capitalism (1973) ia telah berusaha membuktikan bahwa “lembaga-lembaga sosial membutuhkan kepercayaan serta impian-impian”. Rasionalisasi dogmatis dan lambing-lambang ilusionair telah menjadikannya sebagai ‘halangan-halangan bukannya bantuan-bantuan” dan membuat penyakit perbudakan menjadi lambing-lambang. Sebaliknya, skeptisisme terhadpa lambing-lambang diiringi dengan kesadaran akan peranan asasi yang dimainkan dalam kehidupan sosial, mempunyai sifat membebaskan.
Yurisprudensi, “teknik hukum”, yang ‘rahasia gaibnya”, diusulkan oleh Arnold agar dianalisis bersama-sama dengan hukum menurut pendapatnya merupakan lambing sendiri, tetapi nomor wahid “ yang tersuci diantara yang suci”. Pembubaran ilmu-ilmu sosial khas menjadi sosiologi lambing-lambang menurut Arnold adalah khususnya sangat diperlukan dalam zaman saat ini, karena belum pernah sebelumnya lambing-lambang yang merosot menjadi berhala-hala (idols) memainkan peranan yang demikian mencelakakan dan yang merupakan rintangan-rintangan yang menghalangi gerak masyarakat yang serta-merta (Folklore of Capitalism, passim). Konsepsi-konsepsi Arnold yang begitu menarik perhatian dan telah menimbulkan perbincangan-petbincangan ramai dan luas, adalah sangat berharga dipandang dari sosiologi sukma manusia. Karena Arnold yang dengan kuatnya menangkap arti pentingnya lambing-lambang dalam kenyataan sosial, dan khususnya dalam kenyataan hukum, tak mungkin sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang dapat diterima, karena tiadanya lambing-lambang sosial itu semua adalah proyeksi-proyeksi subjektif, khayalan-khayalan, ilusi-ilusi yang tiada artinya. Keismpulan ini olehnya diperkuat lagi oleh suatu prasangka intelektualis, yang menurut pendapatnya semua yang tak subyektif sendirinya bersifat rasional.

D.    Beberapa Mazhab Dewasa ini
Di Perancis studi-studi terbaru di lapangan sosiologi hukum pada umumnya memusatkan usahanya kepada suatu penguraian dari percobaan-percobaan dalam hukum kepada suatu studi mengenai corak-corak khas hukum serikat-serikat dagang yang berlawanan dengan hukum Negara.  Maximo lorey, dalam buku-bukunya yang sekarang menjadi klasik, Le Code Civil et le Droit Nouveau (1906) La Coutume Ouvriere dua jilid (1931); Les Tendaces du Pouvoiret de la Liberte en France au Xxe siècle (1937) menyumbangkan suatu contoh untuk jenis studi ini, yang hanya berdasarkan pengamatan deskriptif dari corak ragam empiris dan dibebaskan dari segala tuntutan dan kecenderungan yang dogmatis.[6] Penulis-penulis lainnya mengikuti tipe penyelidikan yang sama. Di antara mereka ialah Cruet (la Vie du Troit et I’lmuissance des Lis, (1914) dan terutama sekali, Gaston Morin (La revolte de Faits Contre le Code, 1920 dan La Loi et el Contrat : la Decadence de leur Souverainete, 1927). Analisis sistematis masalah-masalah sosiologi sukma manusia, terutama sekali dibawah aspek mikrososiologi serta tipologi hukum pengelompokan, mengilhami karya-karya penulis ini.
Di Negara-negara anglo-zaxon, perkembangan teori-teori pluralistis dalam ilmu politik sejajar dengan aliran yang lebih baru dari sosiologi hukum di Perancis. Dirumuskan untuk pertama kalinya dalam G.D.H Cole, Social Theori (1920) dan Harold J. Laski, Authority in the Modern State (1919) dan juga J.A Hobson, The Guilds and the State (1918), aliran ini menarik perhatian terutama sekali karena pertaliannya dengan “sosialisme gilda”.  Pluralisme politik dinyatakan sangat terperinci sekali dalam Laski, “ A grammar of Politics (1926), dan ada beberapa penganutnya di Amerika Serikat (cf. W.F. Shepart, Political Science”, dalam H.E Barnes, History And Prospects of Social Science,  dan dilanjutkan oleh Mary P Follet, The New State, 1918, Creative Experience, 1924). Tetapi aliran ini memusatkan usaha-usahanya khusus kepada masalah-masalah teleologis dan praktis tentang reorganisasi Negara dan masyarakat dewasa ini daiatas dasar perseimbangan baru dari kelompok-kelompok.
Di Jerman, Hugo Sinzheimer, De Taak der Rechtssociologie (1935), didahului dengan berbagai kerja persiapan yang penting oleh penulis yang sama tentang hukum perburuhan, khususnya Die Soziale Selbstbestimmung in Recht (1916), dan Die Sozilogisce Methode in der Privaterchswissenchaft (1909). Sinzheimer, yang mendasarkan pendapat-pendapatnya serentak atas Gierke, Erlich dan Weber, mengemukakan masalah asasi tentang diferensiasi serta hierarkisasi dari bebagai bagian sosiologi hukum. Ia mengusulkan untuk mengadakan perbedaan antara :
a.       Sosiologi hukum deskriptif
b.      Sosilogi hukum kritis
c.       Sosiologi hukum genetis, dan
d.      Sosiologi hukum teoritis
Sosiologi hukum kritis menyelidiki masalah perwujudan norma-norma dalam kelakuan kolektif yang efektif. Sosiologi hukum teoritis menyelidiki pengaruh unsur-unsur rohani maupun segi-segi morfologi serta ekonominya pada susunan kenyataan hukum. Sosiologi hukum deskriptif semata-mata mengumpulkan fakta-fakta tentang kehidupan hukum dalam berbagai masyarakat. Sosiologi hukum genetis mengikuti perubahan-perubahan hukum menurut lingkungan-lingkungan serta zaman-zaman konkret. Sosiologi hukum kritis adlah berdasarkan sosiologi deskriptif, sosiologi hukum genetis bersandar kepada kedua sosiologi hukum tersebut, sedangkan sosiologi hukum teoritis memahkotai bangunan itu.
Diantara tulisan-tulisan sosiologi hukum genetis di Eropa Tengah, yang diterapkan pada masyarakat dewasa ini, harus dicatat secara khusus karya seorang Austria, Karl Renner, yang berjudul Die Rechtsintute des Privatrechts und ihre Soziale Funktion (1922), yang rencananya terbit dengan judul “Die soziale Funktion des Rechts” (1904) dalam Marxstudien, Jilid V, buku ini menentang kerangka hukum yang tidak dapat diubah-ubah dengan akibat-akibat ekonomi serta sosialnya dibawah pemerintahan kapitalisme. Demikianlah, maka sosiologi Marxistis pada umumnya, dan khusunya sosiologi hukumnya Nampak makin lama makin melepaskan diri dari godaan-godaan naturalism dan realism.



[1] .   Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum (Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalahnya), Genta       Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 103
[2] .   Yesmil Anwar & Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, PT. Grasindo, Jakarta, 2008, hlm.130-131
[3] . Alvin S. Johnson, Sosiologi Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2006. Hlm. 103
[4] Ibid, hlm. 118
[5] Ibid, hlm. 164.
[6] Ibid, hlm. 180.

No comments :

Post a Comment