A.
Aliran-Aliran
dalam Sosiologi Hukum.
Terdapat
dua aliran yang mengembangkan sosiologi hukum yaitu :
1. Aliran
Positif.
Aliran ini hanya ingin
membicarakan kejadian yang dapat diamati dari luar secara murni. Mereka tidak
mau memasukan hal-hal yang tidak dapat diamati dari luar, seperti nilai dan
tujuan. Aliran positif ini di pelopori oleh Donald Black. Black menyatakan perihal terjadinya kekaburan antara
ilmu (science) dan kebijaksanaan (policy) dalam sosiologi hukum.
Menurut Black, ia hanya
berurusan dengan fakta yang dapat diamati (observable
fact). Ia tidak boleh memikirkan tentang adanya tujuan hukum, maksud hukum,
nilai dalam hukum dan lain-lain. Hukum adalah apa yang kita lihat ada dan
terjadi dilakukan dalam masyarakat.[1]
Sosiologi hukum bertolak dari catatan-catatan mengenai kenyataan yang teramati
tersebut.
Positivisme ini, dengan
maksud yang jelas, hendak menggantikan dan mengerti zaman yang ada dengan
caranya sendiri. Paham ini melihat masa
pertengahan abad ke-19 sebagai peralihan yang jelas dari masa dominasi gereja (teologis) dan para pendukungnya (metafisik), digantikan oleh kaum
industrialis dan intelektual, yang tidak lain adalah kaum positivistis itu.
Yang melatarbelakangi tumbuhnya sosiologi dalam filsafat positivisme itu adalah
sebagai berikut :
Ø Semua
pengetahuan harus didasarkan atas pengamatan empiris, baik itu alam, manusia
dan masyarakat.
Ø Pengamatan
harus diberi nilai tinggi dari suatu gagasan (reprensentation) [2]
Dengan demikian, pengetahuan
yag benar atau ilmiah, yang empiris dan yang bukan diturunkan dari agama dan
filsafat. Itulah yang dikatakan positivisme sebagai pemikiran sosiologi awal.
2. Aliran
Normatif
Menurut
aliran ini, hukum bukan merupakan fakta yang teramati tetapi merupakan suatu
institusi nilai. Hukum mengandung nilai-nilai dan bekerja untuk mengekspresikan
nilai-nilai tersebut dalam masyarakat. Menurut aliran ini, hukum bersifat
derivartif, karena itu tidak dapat dipisahkan dari institusi primer seperti
politik dan ekonomi.
B. Peletak-Peletak Dasar Sosiologi Hukum
Di Eropa
1. Durkheim
Dalam
karyanya “ Division du Travail Social”
tahun 1983 : masalah hubungan antara bentuk-bentuk kemasyarakatan dan
jenis-jenis hukum. “Lambang kesetiakawanan sosial yang tampak (dianggap sebagai
suatu kesetiakawanan yang sungguh-sungguh, yakni sebagai suatu bentuk
kemasyarakatan) adalah hukum”.[3]
Pada hakikatnya, banyak jasanya untuk perkembangan sosiologi hukum yang
sistematis (dengan menelaah hubungan antara tipe-tipe hukum dan
masyarakat-masyarakat yang serba meliputi).
Sosiologi
hukum itu harus harus membedakan antara jenis-jenis hukum. Klasifikasi pertama
yang perlu diadakan ialah antara hukum yang bersesuaian dengan kesetiakawanan
mekanis atau kesetiakawanan karena perbedaan. Hukum yang bersesuaian dengan
kesetiakawanan mekanis ialah hukum pidana dan hukum yang bersesuaian dengan
kesetiakawanan organis ialah hukum keluarga, kontrak dan dagang, hukum
prosedur, hukum administratif dan konstitusionil. Dua tipe pengaturan hukum
yang pararel dengan dua tipe kesetiakawanan yang berlawanan dijelmakan dalam
dua jenis sanksi-sanksi yang terorganisasi yang berlain-lainan : hukum yang
timbul dari kesetiakawanan mekanis diiring dengan sanksi-sanksi yang sifatnya
mengekang dan hokum yang timbul dari kesetiakawanan yang organis diiringi oleh
sanksi-sanksi yang sifatnya memulihkan.
Sanksi
yang sifatnya mengekang (repressive)
adalah suatu sanksi yang berarti suatu celaan dari masyarakat, suatu penghinaan
terhadap kehormatan, baik dalam bentuk hukuman mati atau hukuman badan,
penghapusan kemerdekaan dan lain-lain atau semata-mata pencelaan dimuka umum.
Sesungguhnya sanksi-sanksi represif (mengekang) dan hukum pidana yang
mengiringinya melindungi persamaan-persamaan sosial yang paling hakiki.
Sebaliknya sanksi-sanksi yang bersifat memulihkan, melindungi diferensiasi
masyarakat dalam fungsi-fungsi yang khusus, dalam kelompok-kelompok yang kecil,
dalam kegiatan-kegiatan pribadi yang diindividualiskan. Hokum restitutif
menjamin pembagian bebas kerja sosial, yang sendirinya merupakan suatu akibat:
“diasosiasikan dengan idaman kolektif yang lebih luwes, yang membolehkan
pengkhususan”.
Durkheim mendapatkan bukti bagi adanya
persesuaian antara hukum yang mengekang dan kesetiakawanan mekanis, antara
hukum yang memulihkan dan kesetiakawanan organis. Sesungguhnya sanksi-sanksi
refresif (mengekang) dan hukum pidana yang mengiringi persamaan-persamaan
sosial yang paling hakiki. Dalam suatu masyarakat yang kesetiakawanan organis,
suatu kesetiakawanan di antara mereka yang sejenis, menjadi berkuas, maka
sebagian terbesar dari hukum membebaskan diri dari hukum pidana, bahkan mulai
menguasai hukum pidana itu. Kemudian Durkheim membedakan hukum kontrak dari hukum
yang berada di luar kontrak (hukum rumah tangga, hukum serikat buruh, hukum
konstitusionil dan lalin-lain). Demikian pula, menurut Durkheim kesetiakawanan
organisasi seolah-olah runtuh menjadi apa yang dinamakan sendiri kesetiakawanan
kontrak atau kesetiakawanan yang membatasi dan sauatu kesetiakawanan yang lebih
erat dan lebih positif yang boleh dianggap sebagai kesetiakawanan karena saling
masuk memasuki atau setengah peleburan. Tetapi dalam
penyelidikan-penyelidikannya yang kenmudian, Durkheim agak kurang optimis
terhadap revolusi hukum. Bahkan dalam kerjanya Deux lois de le’volution penale (1900), ia memisahkan Negara dari
setiap ikatan yang perlu dengan kesetiakawanan organis dan menegaskan
peranannya yang merdeka sebagai suatu faktor dalam evolusi hukuman-hukuman
selama masih berdasarkan penguasaan. Hukum menjadi semakin keras sesuai dengan
semakin rendahnya tipe masyarakat dan semakin mutlak kekuasaan pusatnya.
Pada
hakikatnya, dimana Durkheim melihat identitas atau persamaan, di sana ada berbagi
kombinasi : hukum kerjasama, boleh jadi bersifat represif dan bersanksikan
sanksi-sanksi yang sifatnya restitutif dan paksaan-paksaan yang bersyarat
(hukum mengenai perusahaan-perusahaan
dagang, trust-trust dan pabrik-pabrik dewasa ini). Namun terdapat pengabaian
setelah ia meninggal dunia (revue Metaphysique, 1930). Adapun pengabaian
analisis permasalahan itu antara lain:
Ø Pentingnya
kedudukan sosiologi hukum genetis dengan sendirinya memusatkan perhatian
Durkheim kepada masyarakat yang menyeluruh dan bukan kepada kelompok-kelompok
bawah.
Ø Durkheim
cenderung kepada monisme social dan hukum : menyusun kelompok-kelompok bawahnya
dalam suatu hierarki yang rapi, dan kelompok kelompok profesional senantiasa
dibawahakan kepada Negara, yang jauh lebih tinggi daripada masyarakat
internasional.
Dalam
bahasan-bahasan yang konkret mengenai hukum, realismenya mengenyahkan
idealismenya yang hampir saja membawa dia kembali kepada konsepsi hukum sebagai
suatu epiphenomena sederhana, suatu proyeksi subjektif : itulah sebabnya lebih
diutamakan penyelidikan genetis.
2. Duguit,
Levy dan Hauriou
Tiga
peletak dasar sosiologi hukum bangsa Perancis, Leon Duguit (meninggal tahun
1938), Emmanuel Levy dan Maurice Hauriou (meninggal 1930), sampai pada
sosiologi hukum bukan dari sosiologi, tetapi ilmu hukum.[4]
Dua orang tersebut dianggap sebagai murid-murid Durkheim, tetapi Houriou-lah
yang meneruskan mencari sintesa antara realisme dan idealisme sebagai suatu
dasar bagi sosiologi hukum. Sebaliknya
Duguit mengganggap dirinya “realistis dan bukannya naturalistis” dalam
orientasinya, sedang Levy cenderung kepada subjektivismenya yang sangat
idealistis.
Leon
Duguit tidak begitu mengindahkan bahasan sosiologi hukum itu sendiri, melainkan
lebih mementingkan penggunaannya dalam iulmu hukum yakni tekhnis sebagai seni
dari sistematisasi hukum yang benar-benar berlaku, khususnya hukum
konstitusionil. Diantaranya karya-karya Duguit yang berkaitan langsung dengan
masalah-masalah sosiologi hukum, L’Etat (1901-1903)
terutama sekali dikhusukan yang berkaitan dengan masalah-masalah umum.
Sebagaimana halnya Durkheim, maka Duguit pun menghubungkan semua hukum itu
dengan kesetiakawanan de facto, yakni
ikatan sosial. Duguit setelah mendapatkan bahwa dalam masyarakat yang beradab
dan hanya ini saja yang menarik perhatianny, disana ada kesetiakawanan organis,
memusatkan perhatiannya pada hubungan antara hukum yang timbul dari
kesetiakawanan ini (hukum objektif) dan Negara.
Hukum
objektif yang timbul dari kesetiakawanan yang semata-mata menguasai milieusosial yang berlawanan dengan
Negara, adalah bebas dari pernyataan kehendak, karena kehendak tidak dapat
berbuat lebih selain daripada mengakuinya dan dapat menghasilkan akibat-akibat
hukum hanya dengan menundukkan kepada “hukum objektif”. “Berbicara tentang
hak-hak individu, hak-hak masyarakat, hak-hak kelompok, adalah membicarakan
segala sesuatu yang tidak ada”. Hukum
objektif yang timbul dari kesetiakawanan social “tidak memungkinkan paham
tentang suatu hak masyarakat kolektif untuk memerintah individu dan juga hak
individu untuk memaksakan kepribadiannya kepada masyarakat kolektif dan
individu-individu lainnya”. Sesungguhnya, organisasi yang dilihat dari sudut
hukum, tidak lain adalah gabungan yang saling berkaitan dengan berbagai macam
pembagian wewenang serta tugas-tugas, yakni melalui saling resap-meresapi di
antara hak-hak, yang diberikan untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi tertentu.
Hukum yang tidak terorganisasi dan spontan “adalah lebih tua dan lebih unggul
daripada Negara”, bukan hanya unggul dari kekuasaan Negara, juga lebih unggul
dari tata tertib Negara dan lembaga Negara, itu sendiri. “Campur tangan pembuat
undang-undang tetap tidak mampu mengubah hukum yang spontan dan terorganisir :
”segala apa yang dapat diperbuatnya hanya sekedar merumuskan hukum yang dinamis
yang telah ada terlebih dahulu, yang selalu melampaui limitnya”. Pada akhir
kariernya, Duguit terpaksa, apabila ia berbicara tentang kesetiakawanan dan
hukum, untuk memperhatikan unsur psikologis dan aspirasi-aspirasi terhadap
keadilan. “Yang membuat hukum itu adalah kepercayaan, yang meresap ke dalam
kalbu pada suatu masa di suatu tempat tertentu, bahwa suatu peraturan tertentu
bersifat imperatif, yang berarti : adil menurut perasaan keadilan yang berlaku
ketika itu”.
Tipologi
hukum masyarakat yang meliputi segala-galanya dewasa ini, sebagaimana yang
dilakukan duguit, bermaksud untuk menggambarkan perubahan-perubahan sistem
hukum pada bagian kedua dari abad ke-19 dan dalam abad ke-20. Bentuk-bentuk
kolektifitas dari Negara mulai zaman romawi kuno Kerajaan Jacobin, hingga
napoleon, yang diasosiasikan dengan asas kedaulatan “yang hanya merupakan nama
lain untuk hak subjektif Negara untuk Pemerintah”, “sedang mengalami kematian”,
yang harus diganti dengan “federalisme fungsionil dari jawatan-jawatan umum
yang disentralisasikan”, yang “mengurus dirinya sendiri di bawah pengawasan
pemerintah. Demikianlah di zaman sekarang ini, karena dekade “konsepsi
imperialistis tentang hukum antar bangsa” dan “ konsepsi individualistis
tentang hukum privat”, maka munculah “tata tertib hukum yang realistis,
sosialistis dan objektif”, dan yang sendirinya merupakan hasil suatu hari dalam
sejarah. Kecenderungan umum dari penyelidikan Duguit adalah terlalu dogmatis,
terlalu diresapi oleh asas realivitas. Sedangkan uraian-uraian genetisnya
adalah jelas tidak bebas dari suatu prasangka tertentu, suatu hasrat untuk
membuktikan bahwa evolusi hukum saat ini membenarkan premis-premis
teoretikusnya, realisme sensualisnya, dan lain-lain.
Jasa
Duguit terutama sekali terletak dari caranya ia memperlihatkan adanya
masalah-masalah tertentu yang tidak dilihat oleh Durkheim (hukum yang spontan
tidak terorganisasi, hukum dan Negara), dan bukan dalam caranya memecahkan
masalah-masalah itu. Jika Duguit berusaha memutar sintesa sosiologis Durkheim ke
arah suatu realisme, maka sebaliknya Emmanuel Levy, mencoba memberinya
orientasi yang semata-mata bersifat subyektif dan idealistis. Levy mengejar
tujuan dari pengembangan “pandangan hukum sosialistis”, dari menemukan jiwa
hukum di masa depan yang sesuai dengan keyakinan-keyakinannya. Ia mengatakan
bahwa perubahan hukum sekarang melalui perubahan-perubahan kepercayaan
kolektif. Ia menganalisa evolusi sekarang dari psikologi kolektif hukum. Bagi
Levy hukum yang spontan ini semata-mata berupa “hukum kolektif” dan di lain
pihak, sebagai kesadaran fenomena, sebagai sifat dasar kita, dan kemutlakan
kita. Semua hubungan hukum berubah menjadi hubungan-hubungan antara orang-orang
yang menyertai dalam kepercayaan-kepercayaan, pada hakikatnya hubungan-hubungan
yang bersifat membatasi dan negative, yang di dalamnya tersimpul subyek-subyek
yang terisolir dan bertentangan. Karena gagal mengutarakan masalah
bentuk-bentuk hubungan masyarakat, Levy akhirnya mereduksi semua
ikatanmasyarakat terhadap hubungan-hubungan dengan orang-orang lain (alter, ego), menjadi hubungan-hubungan saling
keterkaitan dan saling bersatu : dengan mengabaikan interpenetrasi dan
peleburan sebagian-sebagian dan demikian kembali kepada konsepsi-konsepsi
tadisional-individualistis. Levy telah memberikan kita suatu uraian tajam
tentang perubahan-perubahan milik serta tanggungjawab dalam masyarakat
kapitalis modern, yang menuju ke arah suatu hukum berdasarkan nilai-nilai yang
tidak tetap, yang dipengaruhi dan tergantung kepada keyakinan dan jaminan
kolektif terhadap resiko yang timbul dari ketidaktetapan itu.
Berlawanan
dengan realisme sensualis dari Duguit dan idealisme subyektivistis dari Levy,
Maurice hauriou, seperti Durkheim, berusaha mencari suatu dasar yang
“idealistis-realistis” bagi sosiologi hukum. Menurut Maurice Hauriou,
gagasan-gasan ini member perlawanan dan bertindak sebagai objeknya. Tetapi
gagasan-gagasan serta nilai-nilai ini tidak diperoleh melalui perangkaan atau
demonstrasi, karena telah dikhususkan dan tersimpul dalam kenyataan yang mengelilingi
kita. Hanya pengalaman langsung yang diperluas memungkinkan kita memahami
gagasan-gagasan dan niali-nilai itu. Sosiologi hukum Hauriou yang mengutamakan
analisis terhadap lapisan-lapisan keseimbangan yang merupakan “lembaga”, yakni
: kenyataan sosial hukum, pada suatu pihak tertuju kepada masalah-masalah
sistematis, pada pihak lain tertuju masalah-masalah yang berkenaan dengan
tipologi hukum dari kelompok-kelompok, yang saying sekali tidak dibedakan dari
mikrososiologi hukum.
Hauriou
membedakan dua jenis lembaga yaitu,
lembaga-lembaga kelompok, badan-badan sosial dan apa yang dinnamakan “thing
institution atau lembaga perizinan yang digunakan untuk berhubungan dengan yang
lainnya. Ia menyinggung masalah bentuk-bentuk kemasyarakatan sebagai tempat-tempat
lahirnya berbagai macam hukum, tetapi karena ia tidak mengadakan pembedaan
jelas antara miksososiologi dan makrososiologi hukum, maka ia pun segera pula
meninggalkan persoalan untuk menyamakan ini dengan persoalan “kehidupan hukum
bathiniah dan lahiriah” dari satuan-satuan kolektif yang nyata. Kekuatan yang
dipergunakan Hauriou untuk menegaskan kemampuan tiap-tiap lembaga kelompok
untuk menciptakan keranga hukumnya sendiri, ketegasan yang diperlihatkan dalam
mengutarakan masalah keserbanajemukan hukum, memaksanya menelaahtipologi hukum
dari kelompok-kelompok tertentu yang khas. Tetapi tipologi kelompok-kelompok
ini, tidak begitu diperkembangkan seluas-luasnya oleh Hauriou dan tidak
merupakan kemajuan yang jelas. Ini disebabkan :
Ø Karena
sama sekali tidak ada pertimbangan mikrososiologis di dalam setiap kelompok,
seharusnya memperhatikan adanya berbagai bentuk kemasyarakatan yang menentang
dan menyeimbangkan satu sama lain dengan cara yang khas.
Ø Karena
kerangka-kerangka hukum yang bersesuaian dengan tipetipe kelompok adalah
kompleks karena terdiri dari berbagai jenis hukum yang timbul dari
bentuk-bentuk kemasyarakatan, maka semuanya tidak dapat ditentukan
cirri-cirinya tanpa mengetahui bentuk-bentuk kemasyarakatan nya.
Akhirnya,
ketiadaan analisis mikrososiologis membuatnya ragu-ragu untuk mengakui bahwa
kepentingan umum dapat diwakili oleh kelompok-kelompok lain yang bukan Negara,
dan menjelang akhir kariernya keragu-raguan ini meneyebabkan (terpengaruh oleh
St. Thomas) menyatakan secara dogmatis, bahwa Negara adalah “lembaga terpenting
di antara segala lembaga”, lembaga yang paling sempurna dan paling utama “yang
mewakili kepentingan umum”.
3. Max
Weber dan Eugene Ehrlich
Menurut
Max Weber semua sosiologi hukum dieduksikan menjadi kemungkinan-kemungkinan
atau “kesempatan-kesempatan” dari kelakuan sosial, menurut suatu sistem yang
koheren dari aturan-aturan yang diselenggarakan oleh ahli hukum bagi suatu tipe
masyarakat tertentu. Pendekatan Weber terhadap penggunaan metode pemahaman
secara interpretatif dalam arti-arti bathin perbuatan-perbuatan untuk
sosiologi, suatu metode yang bermanfaat bagi perdamaian dan kerjasama antara
sosiologi hukum dan filsafat hukum. Sdengkan Erlich membuktikan kenyataan bahwa
jikalau sosiologi hukum hanya mengambil sistematisasi ilmu hukum sebagai titik
tolak, maka sosiologi hukum itu tidak akan memahami tujuannya yang sebenarnya,
yakni kenyataan hukum integral yang mentransendikan semua skema “dalil hukum
bersifat abstrak” atau aturan-aturan mengenai persengketaan. Dalam tiga
karyanya yang terutama, Beitrage zur
Theorie der Rechtsqullen (1902), Grundlegung
der Sozioligie des Rechts (jilid pertama 1913, jilid kedua 1928) dan Die Juristische Logik (1919) Ehrlich
menyelenggarakan dua tugas yaitu :
Ø Ia
hendak menunjukkan bahwa apa yang dinamakan “ilmu hukum” yang diselenggarakan
oleh para ahli hukum adalah semata-mata suatu teknik yang bersifat relatif
dimaksudkan untuk mencapai ujuan-tujuan praktis dan sementara waktu, dan berkat
sistematisasi khayali, tidak mampu memahami apapun kecuali kulit yang paling
luar dari kenyataan hukum integral dan spontan dalam segala tingkat
kedalamannya.
Ø Kenyataan
bahwa ilmu hukum dogmatis-normatif bukanlah suatu ilmu melainkan semata-mata
suatu teknik yang diapakai untuk mencapai tujuan-tujuan pengadilanyang bersifat
temporer, menjadi sangat jelas apabila diketahui bahwa asas-asas yang biasanya
dianggap bersumber pada logika hukum yang tidak berubah-ubah sesungguhnya hanyalah
penyesuaian kepada keadaan-keadaan kesejarahan yang sangat konkret.
Demikianlah
postulat dari apa yang dianamakan dengan logika hukum yang sesungguhnya tidak
ada sangkut pautnya dengan logika yang sebenarnya. Yaitu :
a. Pengabaian
kebebasan bagi hakim, yang terikat oleh dalil-dalil yang diterapkan terlebih
dahulu.
b. Tergantungnya
segala hukum kepada Negara.
c. Kesatauan
hukum yang disamakan dengan keruntuhan sistematis dari dalil-dalil hukum.
Menurut
Ehrlich, diletakannya peraturan-peraturan untuk mencapai keputusan-keputusan
jika terjadi silang sengketa di atas tata tertibmasyarakat yang damai dan
spontan, dan diletakannya dalil-dalil hukum yang abstrak diatas
peraturan-peraturan ini, dan juga perubahan-perubahan dalam hubungan-hubungan
di antara ketiga lapisan dari kenyataan hukum, haruslah dijelaskan secara
sosiologis. Kekurangan hakiki dalam sosiologis hukum Ehrlich, suatu kekurangan
yang sangat menarik perhatian dan banyak pengarunya di Amerika Serikat ialah
ketiadaannya perhatian terhadap bentuk-bentuk kemasyarakatan dan tipe-tipe
hukum pengelompokan. Pluralisme sosiologis dan pluralisme hukum Ehrlich
sifatnya adalah semata-mata vertical. Hal ini menyebabkan ia mencampuradukan
dengan istilah “Gesellschaftsrecht” serangkaian jenis hukum, dan
mencampuradukkan ini diulangi lag terhadap aturan-aturan untuk mengambil
keputusan dan dalil-dalil abstrak.
Di
Amerika
4. O.W.
Holmes
Hakim
Holmes salah seorang sahabat karib dari filosof besar Amerika, William James.
Holmes sudah member isyarat yang disebut dengan tepatnya oleh Profesor Aronson
“revolusi sosiologi dalam ilmu hukum” di Amerika. Holmes menekankan perlunya
bagi sarjana hukum untuk yang berkaitan dengan pekerjaannya memberikan
perhatian kepada penelaahan-penelaahan yang obyektif dan empiris dari kenyataan
sosial yang aktuil, sebagaimana yang dilakukan oleh ilmu-ilmu sosial, khusunya
sosiologi.
Tiga
unsur pikiran Holmes mendorongnya ke suat jurusan yang bertentang dengan
inspirasi utamanya, yaitu :
Ø Definisinya
bukan saja tentang ilmu hukum yurisprudensi, tetapi tentang hukum itu sendiri
sebagai ramalan tentang apa yang dilakukan oleh pengadilan-pengadilan,
membatasi programnya yang luas dari sosiolog hukum dengan memusatkan
perhatiannya kepada penggambaran satu lapisan kedalaman dari kenyataan hukum
saja, yang berhubungan dengan kegiatan pengadilan-pengadilan.
Ø Karena
mengakibatkan ilmu hukum, sebagai suatu seni, menjadi suatu ilmu deskriptif
dalam arti yang sempit, sehingga Holmes agak terpaksa merubah sosiologi menjadi
suatu seni, sambil berusaha melenyapkan tujuan-tujuan ilmu hukum yang efektif
sebagai seni.
5. Roscoe
Pound
Sosiologi
hukum di Amerika Serikat telah menemukan ketelitian yang sangat terperinci dan
meluas, berkat penemuan ilmiah Roscoe Pound, pakar tiada tandingannya dari
mazhab “ilmu hukum sosiologis yurisprudensi”. Pound lebih mengutamakan
tujuan-tujuan praktis, yaitu antara lain :
a. Menelaah
“akibat-akibat sosial yang aktual dari lembaga-lembaga hukum dan
doktrin-doktrin hukum”, dan karenannya lebih memandang kepada kerjanya hukum
daripada isi abstraknya.
b. Mengajukan
“studi sosiologis berkenaan dengan studi hukum untuk mempersiapkan
perundang-undangan”.
c. Menciptakan “efektifitas studi tentang
cara-cara membuat peraturan-peraturan dan member tekanan kepada tujuan-tujuan
sosial yang henadk dicapai oleh hukum dan bukannya kepada sanksi”.
d. Studi
“sejarah hukum sosiologis” yakni tentang akibat sosial yang telah dihasilkan
oleh doktrin-doktrin hukum dan bagaimana cara menghasilkannya.
e. Membela
apa yang telah dinamakan pelaksanakan hukum secara adil dan mendesak agar
ajaran-ajaran hukum harus dianggap petunjuk-prtunjuk ke arah hasil-hasil
yang adil bagi masyarakat dan bukannya
terutama sekali sebagai bentuk-bentuk yang tidak dapat dirubah.
f. Akhirnya
tujuan yang hendak dicapai dari keseluruhan ialah agar lebih efektifnya usaha
untuk mencapai maksud-maksud serta tujuan-tujuan hukum.
Penandasan Pound kepada
kepentingan-kepentingal sosial, yang terkadang dianggap salah sebagai
kecenderungan kepada keserbamanfaatan sosial suatu pandangan yang selalu
ditentangnya secara tegas, yang terbukti dengan pertikaiannya denga Ihering
baginya pada hakikatnya hanyalah merupakan suatu metode untuk mengajak
pengadilan-pengadilan agar memperhatikan kenyataan kelompok-kelompok sosial
yang khusus dan tata tertibnya masing-masing. Didalam karya-karyanya secara
tegas diperlihatkannya kenisbian sosiologis dari tehnik-tehnik hukum,
kategori-kategori hukum dan konsep-konsep hukum. Pound tidak sadar bahwa orang
dapat memiliki perhatian dengan nilai-nilai yang menjelma dalam fakta-fakta
special dan tetap tak menyatakan baik buruknya. Dari semua ini timbul suatu
tendensi yang dogmatis serta bersifat menyusilakan yang secara langsung
mengancam pendirian metode dalam sosiologi hukum. Sebagai akibat dari orientasi
teleologisnya ini dapatlah dicatat penolakan Pound untuk menangalkan
kepercayaan kepada harus Negara terlebih dahulu, dan keunggulan priori Negara atas kelompok-kelompok
lainnya.
6. Benjamin
Cardoso
Sosiologi
hukum Hakim Cardoso ini bertolak dari perenungan tentang perlunya memperbaharui
teknik hukum yang actual dengan menutup jurang antara teknik hukum itu dan
kenyataan hukum yang hidup dewasa ini. Karyanya pertamanya, yang diberi judul The Nature of Judicial Proses (1921,
edisi ke-8, 1932) bertujuan untuk menunjukan bahwa “ketidaktetapan yang semakin bertambah oleh keputusan pengadilan”
adalah suatu manisfestasi yang tidak dapat dicegah dari kenyataan bahwa proses
pengadilan “bukanlah penemuan, melainkan penciptaan” penciptaan yang diperhebat
oleh situasi sesungguhnya dari kehidupan hukum. Situasi ini terdiri atas
kenyataan “bahwa untuk setiap tendensi kelihatannya orang harus mencari
tendensi-lawan, dan bagi setiap peraturan harus dicariakn lawannnya pula.
Melalui
konsep sempit dari metode sosiologi yang diperlengkapi dengan metode logika
secara analog, dan juga metode tradisi dalam proses pengadilan bahwa Cardozo
mengawali bukunya dan dalam beberapa hal. Kecenderungan teologikal-sosiologikal inilah yang mendorong Cardozo, melalui
putusan-putusan pengadilan, mencari yang bertindak sebagai penengah dari antara
pergerakan dan stabilitas luar biasa, ketidaktentuan dan keamanan. Ia
menyatakan bahwa “adat kebiasaan” hanya menjadi hukum jika menadpat sanksi atau
mampu mengadakan sanksi demi pengadilan. Ia bersandar pada definisi Holmes
tentang hukum sebagai suatu ramalan tentang apa yang akan dilakukan oleh
pengadilan. Menurut Cardozo, cukup memadai untuk menentapkan kemungkinan
berhasil bahwa adat kebiasaan pada suatu hari akan dapat berwujud sebagai suatu
pertimbangan untuk menganggapnya sebagai hukum.
Buku
terakhir Cardozo, Paradoxes of Legal
Sciences (1982) yang paling berkesan dari antara karya-karyanya, maju
selangkah lagi ke arah sosiologi hukum yang bebas dari tehnik yuridis
(yurisprudensi) dan yang bertugas sebagai satu dasarnya. Bahwa sosiologi hukum
haruslah dibimbing oleh kesadaran. Dinamisme yang serba nisbi dan anti
konseptualisme mulai menguasai pemikiran-pemikiran terkahir Cardozo, yang
disokong oleh suatu renungan tentang partikularisme, kekhususan, nilai-nilai
konkret, dan oleh pluralisme, kemajemukan sosiologis.
C.
Realisme
Hukum dan selanjutnya
K.M.
Lewelyn dan Thurman Arnold. Mazhab neo-realistis yang berkembang selama sepuluh
tahun terakhir ini merupakan suatu reaksi yang sengit terhadap orientasi “sociological yurisprudence” yang
bersifat terutama sekali teleologis dan moralistis. Erat bertalian dengan
nama-nama K.N. Lewelyn, Thurman Arnold, Walter W. Cook, H.E. Yntema, L. Green,
Underhill Moore, H.Oliphant, Max Radin, Yerone Frank, E.W. Robinson dan Charles
E. Clark, aliran ini hanya sama dengan sikap negative daripada jurubicaranya.[5]
Mereka berusaha untuk menghapuskan pertimbangan-pertimbangan teleologis dan
penilaian-penilaian buruk, bukan saja dari sosiologi hukum melainkan juga ilmu
hukum sendiri.
Para
realis-realis hukum (legal realist) itu semuanya memulai dengan interprestasi
yang sangat sempit dan sungguh-sungguh buruk dari definisi hukum Holmes, yakni
hukum sebagai “ramalan tentang apa yang dilakukan oleh pengadilan-pengadilan.
Maka Lewelyn menulis dalam karyanya yang pertama : apa yang diperbincangkan
oleh para pembesar (hakim-hakim atau polisi-polisi atau klerk-klerk atau
sipir-sipir atau ahli-ahli hukum). Demikiam pula Frank : hukum adalah suatu
keputusan dari suatu pengadilan. Realisme hukum saat ini mempunyai arti ‘sensualisme
naturalistis”, yakni suatu keperluan sederhana untuk menggantikan
penilaian-penilaian berdasarkan kenyataan, yakni “serba pengalaman”
(empiricism), istilah yang dapat mempunyai berbagai arti, yakni
anti-konseptualisme, yakni irrasionalisme decisionistis dan actualistis
irrationalism yang tidak perlu bersifat sensualistis atau realistis dan
lain-lainnya.
K.N.
Lewelyn menyatakan dalam bukunya yang pertama, bahwa yang dapat menjadi dasar
ilmiah dari ilmu hukum hanyalah sosiologi hukum : “suatu hal yang tak dapat
dihindarkan untuk member kepada sosiologi hukum kemungkinan untuk melakukan
pekerjaannya sendiri, tanpa gangguan, sebelum hasil-hasilnya yang pasti dapat
digunakan terhadap ilmu hukum (Jurisprudensi)”. Sosiologi hukum menyimpulkan adanya “konsepsi msayarakat
sedang bergerak, dan bergerak jauh lebih cepat daripada hukum, sehingga selalu
ada kemungkinan, bahwa setiap bagian hukum memerlukan pemeriksaan kembali untuk
menentukan apakah ia masih sesuai dengan masyarakat. Lewelyn merasa juga adanya
kebutuhan-kebutuhan yang dihadapinya, dan ia berusaha meloloskan diri dari
kebuntuan-kebuntuan dengan menambahkan kepada salah satu bahasan-bahasannya
tentang definisi hukumnya yang asli, pernyataan bahwa bukannya semata-mata
kelakuan resmi, melainkan juga “kelakuan orang-orang awam adalah sebagian dari
hukum” ( A realistic Jurisprudence) atau sebagaimana ia pernah menuliskan
“hukum adalah apa yang dilakukan sesungguhnya oleh pengadilan-pengadilan atau
orang-orang (Some Realism About Realism). “Cara-cara hukum dipergunakan untuk
menunjukan sesuatu kelakuan atau perbuatan yang jelas menurut hukum adalah
menurut sifatnya, coraknya, artinya atau akibatnya”. Dengan menghapuskan tuntutan akan nilai-nilai
hukum tentang keadilan khusus, Lewelyn menghapuskan kemungkinan :
a. Untuk
menghubungkan sifat sebagai peranan dari sahnya hukum, yang ditempatkan antara
otonomi dan heteronomi dengan struktur dalam dari pengaturannya, yang
berlawanan dengan struktur dalam agama, kesusilaan dan estetika.
b. Untuk
menembus lapisan-lapisan yang terdalam dari kenyataan sosial dari hukum, yang
mengatasi tingkat pola-pola yang bersesuaian dan yang dipusatkan di sekitar
lambing-lambang yang sesungguhnya, nilai-nilai kolektif dan
kepercayaan-kepercayaan.
Konsepsi
tentang teknik hukum tidak membuatnya menjadi nisbi semata-mata dengan
struktur-struktur sosial dan tidak dengan nilai-nilai yang direalisasikan di
dalamnya. Penggunaan realisme hukum oleh Thurman Arnold sebagai titik tolak
bagi sosiologi hukum, sangat berlainan bentuknya dari apa yang dilakukan oleh
Lewelyn. Sebagaimana halnya dengan Lewwlyn, Arnold telah mengatasi sama sekali
konsepsi tentang hukum yang dianut oleh kaum realis, tetapi kejurusan yang
beralinan sama sekali, yakni suatu keyakinan bahwa semua kehidupan sosial ada
hubungannya dengan ilusi-ilusi, kepercayaan-kepercayaan serta government (1935)
dan The Folklore of capitalism (1973) ia telah berusaha membuktikan bahwa
“lembaga-lembaga sosial membutuhkan kepercayaan serta impian-impian”.
Rasionalisasi dogmatis dan lambing-lambang ilusionair telah menjadikannya
sebagai ‘halangan-halangan bukannya bantuan-bantuan” dan membuat penyakit
perbudakan menjadi lambing-lambang. Sebaliknya, skeptisisme terhadpa
lambing-lambang diiringi dengan kesadaran akan peranan asasi yang dimainkan
dalam kehidupan sosial, mempunyai sifat membebaskan.
Yurisprudensi,
“teknik hukum”, yang ‘rahasia gaibnya”, diusulkan oleh Arnold agar dianalisis
bersama-sama dengan hukum menurut pendapatnya merupakan lambing sendiri, tetapi
nomor wahid “ yang tersuci diantara yang suci”. Pembubaran ilmu-ilmu sosial
khas menjadi sosiologi lambing-lambang menurut Arnold adalah khususnya sangat
diperlukan dalam zaman saat ini, karena belum pernah sebelumnya lambing-lambang
yang merosot menjadi berhala-hala (idols) memainkan peranan yang demikian
mencelakakan dan yang merupakan rintangan-rintangan yang menghalangi gerak
masyarakat yang serta-merta (Folklore of Capitalism, passim). Konsepsi-konsepsi
Arnold yang begitu menarik perhatian dan telah menimbulkan perbincangan-petbincangan
ramai dan luas, adalah sangat berharga dipandang dari sosiologi sukma manusia.
Karena Arnold yang dengan kuatnya menangkap arti pentingnya lambing-lambang
dalam kenyataan sosial, dan khususnya dalam kenyataan hukum, tak mungkin sampai
pada kesimpulan-kesimpulan yang dapat diterima, karena tiadanya lambing-lambang
sosial itu semua adalah proyeksi-proyeksi subjektif, khayalan-khayalan,
ilusi-ilusi yang tiada artinya. Keismpulan ini olehnya diperkuat lagi oleh
suatu prasangka intelektualis, yang menurut pendapatnya semua yang tak
subyektif sendirinya bersifat rasional.
D.
Beberapa
Mazhab Dewasa ini
Di
Perancis studi-studi terbaru di lapangan sosiologi hukum pada umumnya
memusatkan usahanya kepada suatu penguraian dari percobaan-percobaan dalam
hukum kepada suatu studi mengenai corak-corak khas hukum serikat-serikat dagang
yang berlawanan dengan hukum Negara.
Maximo lorey, dalam buku-bukunya yang sekarang menjadi klasik, Le Code Civil et le Droit Nouveau (1906)
La Coutume Ouvriere dua jilid (1931);
Les Tendaces du Pouvoiret de la Liberte
en France au Xxe siècle (1937) menyumbangkan suatu contoh untuk jenis studi
ini, yang hanya berdasarkan pengamatan deskriptif dari corak ragam empiris dan
dibebaskan dari segala tuntutan dan kecenderungan yang dogmatis.[6]
Penulis-penulis lainnya mengikuti tipe penyelidikan yang sama. Di antara mereka
ialah Cruet (la Vie du Troit et
I’lmuissance des Lis, (1914) dan terutama sekali, Gaston Morin (La revolte de Faits Contre le Code, 1920 dan
La Loi et el Contrat : la Decadence
de leur Souverainete, 1927). Analisis sistematis masalah-masalah sosiologi
sukma manusia, terutama sekali dibawah aspek mikrososiologi serta tipologi
hukum pengelompokan, mengilhami karya-karya penulis ini.
Di Negara-negara anglo-zaxon,
perkembangan teori-teori pluralistis dalam ilmu politik sejajar dengan aliran
yang lebih baru dari sosiologi hukum di Perancis. Dirumuskan untuk pertama
kalinya dalam G.D.H Cole, Social Theori (1920) dan Harold J. Laski, Authority
in the Modern State (1919) dan juga J.A Hobson, The Guilds and the State
(1918), aliran ini menarik perhatian terutama sekali karena pertaliannya dengan
“sosialisme gilda”. Pluralisme politik
dinyatakan sangat terperinci sekali dalam Laski, “ A grammar of Politics
(1926), dan ada beberapa penganutnya di Amerika Serikat (cf. W.F. Shepart,
Political Science”, dalam H.E Barnes, History And Prospects of Social
Science, dan dilanjutkan oleh Mary P
Follet, The New State, 1918, Creative Experience, 1924). Tetapi aliran ini
memusatkan usaha-usahanya khusus kepada masalah-masalah teleologis dan praktis
tentang reorganisasi Negara dan masyarakat dewasa ini daiatas dasar
perseimbangan baru dari kelompok-kelompok.
Di Jerman, Hugo Sinzheimer, De Taak der Rechtssociologie (1935),
didahului dengan berbagai kerja persiapan yang penting oleh penulis yang sama
tentang hukum perburuhan, khususnya Die
Soziale Selbstbestimmung in Recht (1916), dan Die Sozilogisce Methode in der Privaterchswissenchaft (1909).
Sinzheimer, yang mendasarkan pendapat-pendapatnya serentak atas Gierke, Erlich
dan Weber, mengemukakan masalah asasi tentang diferensiasi serta hierarkisasi
dari bebagai bagian sosiologi hukum. Ia mengusulkan untuk mengadakan perbedaan
antara :
a. Sosiologi
hukum deskriptif
b. Sosilogi
hukum kritis
c. Sosiologi
hukum genetis, dan
d. Sosiologi
hukum teoritis
Sosiologi hukum kritis
menyelidiki masalah perwujudan norma-norma dalam kelakuan kolektif yang
efektif. Sosiologi hukum teoritis menyelidiki pengaruh unsur-unsur rohani
maupun segi-segi morfologi serta ekonominya pada susunan kenyataan hukum.
Sosiologi hukum deskriptif semata-mata mengumpulkan fakta-fakta tentang kehidupan
hukum dalam berbagai masyarakat. Sosiologi hukum genetis mengikuti
perubahan-perubahan hukum menurut lingkungan-lingkungan serta zaman-zaman
konkret. Sosiologi hukum kritis adlah berdasarkan sosiologi deskriptif,
sosiologi hukum genetis bersandar kepada kedua sosiologi hukum tersebut,
sedangkan sosiologi hukum teoritis memahkotai bangunan itu.
Diantara tulisan-tulisan
sosiologi hukum genetis di Eropa Tengah, yang diterapkan pada masyarakat dewasa
ini, harus dicatat secara khusus karya seorang Austria, Karl Renner, yang
berjudul Die Rechtsintute des
Privatrechts und ihre Soziale Funktion (1922), yang rencananya terbit
dengan judul “Die soziale Funktion des Rechts” (1904) dalam Marxstudien, Jilid
V, buku ini menentang kerangka hukum yang tidak dapat diubah-ubah dengan
akibat-akibat ekonomi serta sosialnya dibawah pemerintahan kapitalisme. Demikianlah,
maka sosiologi Marxistis pada umumnya, dan khusunya sosiologi hukumnya Nampak
makin lama makin melepaskan diri dari godaan-godaan naturalism dan realism.
[1]
. Satjipto
Rahardjo, Sosiologi Hukum (Perkembangan,
Metode dan Pilihan Masalahnya), Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm.
103
[2] . Yesmil Anwar & Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, PT. Grasindo,
Jakarta, 2008, hlm.130-131
[3] . Alvin S. Johnson, Sosiologi Hukum, Rineka Cipta, Jakarta,
2006. Hlm. 103
[4] Ibid, hlm. 118
No comments :
Post a Comment