A.
Tatanan Hukum Pada Masa Hindia-Belanda
Sejak tanggal 1 Januari 1800 daerah-daerah kekuasaan
VOC (Vereenigde oost indische compagnie)
diambil alih oleh kekuasaan pemerintah Bataafsche
Republiek yang kemudian diubah menjadi Koninkljike
Holand. Untuk mengurus daerah
jajahan, Raja Belanda menunjuk Daendales sebagai Gubernur Jenderal. Ia
ditugaskan untuk mempertahankan daerah jajahannya (Nusantara) dalam menghadapi
kemungkinan serangan Inggris.[1]
Setelah Belanda berhasil menancapkan kekuasaaannya pada permulaan abad XIX, ia
berhasil mengubah sistem kolonialismenya yang semula berbentuk perseoran dagang
partikelir menjadi pemerintahan Hindia-Belanda.
Masa pemerintahan Hindia-Belanda ini berlangsung
selama satu setengah abad, sejak berakhirnya VOC pada akhir ke-18. Menurut
Soetandyo Wignjoesoebrto, tatanan hukum pada masa ini Represif in optima forma. Tatanan hukum ini dimaksudkan untuk
menjamin preservasi rust end orde dan
konservasi kekuasaan kolonial, demi
kepentingan ekonomi Negara dan bangsa Belanda dan sama sekali bukan untuk
kepentingan rakyat. Ketika menjalankan politik hukumnya, Hindia-Belanda
menetapkan dalam bidang hukum perdata bagi Indonesia, berlaku hukum adatnya
masing-masing, dengan dalih pengakuan kesamaan derajat semua budaya. Mereka memperkenalkan
Het indische adat recht atau hukum
adat Indonesia. Kritik ini dimulai oleh Cornelis Van Vollenhoven (1874-1993),
kemudian dilanjutkan oleh Christian Snouck Hurgonje (1857-1936). Begitu juga
untuk hukum islam, pada masa ini yang berlaku adalah hukum adatnya
masing-masing. Hukum adatlah yang menentukan ada atau tidaknya hukum islam,
dikenal dengan Teori Receptie. Selain
itu karakter atau sifat represif ini terlihat dengan jelas dalam ketentuan
perundang-undangan pidana, yang terkenal sebaga haatzaat-artikelen (Pasal 153
bis, 153 ter, 154, 154 bis) dan pada Ekterning, Interning dan verbaning, tanpa
melalui proses peradilan (Pasal 35, 36, 37 IS). Semua ketentuan tersebut telah
diatur dalam pasal 131 dan 163 Indische
Staatstregelding (IS). Suasana tatanan hukum represif yang begitu dominan,
misalnya melalui kebijakan hukum yang berat sebelah, kewenangan yang melampaui
batas dan ketidakmampuan pemerintah untuk dalam memenuhi tuntutan rakyat.
B.
Tatanan Hukum Pada Masa Penjajahan Jepang
Pada tanggal 7 desember 1941 meletuslah Perang
Pasifik, dengan dibomnya Pear harbor oleh Jepang. Dalam waktu singkat Jepang
menduduki daerah-daerah jajahan sekutu (Amerika, Inggris, Belanda) di daerah
Pasifik. Pada tanggal 9 maret 1942 jepang masuk ke Indonesia dan menghalau
Belanda. Bangsa Indonesia pada saat itu dikelabui oleh kedatangan Jepang dengan
mempropagandakan bahwa kehadirannya adalah justru ingin membebaskan bangsa
Indonesia dengan memperbolehkan Rakyat Indonesia untuk mengibarkan Bendera
Merah-Putih serta menyanyikan lagu kebangsaan, tipu muslihat tersebut berhasil
dan Jepang menunjukan kekejamannya. Pada fase berikutnya Jepang telah banyak
melakukan penindasan yang lebih menyengsarak rakyat Indonesia, dengan
penguasaan militer Jepang yang dikenal dengan Osamu Seirei No.1 tahun 1942
yakni dalam Pasal 3 yang menetapkan bahwa : “semua badan-badan pemerintahan dan
kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintahan yang dulu, tetap diakui
sah untuk sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerinta
militer”.
Tatanan hukum seperti ini dapat dikualifikasikan
termasuk kepada tatanan hukum yang represif, sebab semua keputusan dan
pertimbangan hanya terarah pada satu tujuan, kepentingan pendudukan militer
Jepang. Dalam hubungan dengan politik Islam, Jepang mengakui betapa pentingnya
kedudukan umat Islam dalam dunia perpolitikan Indonesia. Meskipun berbeda dengan
Belanda yang lebih menanamkan sikap anti Islam, namun tujuannya sama yaitu melanggengkan kekuasaan
mereka. Pada bulan April 1942, melalui gerakan tiga A, Jepang bermaksud
memobilisasi rakyat sejak Juli 1942. Dalam gerakan tersebut dibentuk subseksi
yang diberi nama persiapan persatuan umat Islam.
Pendudukan Jepang selama 3,5 tahun telah memberikan
suatu tekanan yang sangat represif melampaui penjajahan Belanda. Dalam hukum
adat telah terjadi perubahan nilai budaya. Kehidupan ekonomi rakyat sangat
sulit, rakyat dikejar-kejar untuk melakukan kerja paksa membangun lapangan
udara, lubang-lubang perlindungan dan tempat-tempat pertahanan. Sementara itu
pemuda-pemuda dilatih menjadi heiho
(pembantu militer) atau gyu-gun
(tentara sukarela peta) dan para wanita dipaksa untuk bekerja di kantor
pemerintahan Jepang dan tidak sedikit mereka yang hilang kehormatannya.
C.
Tatanan Hukum Sejak tahun 1945-1998
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kalah
kepada sekutu. Pada saat itulah terjadilah kekosongan kekuasaan (Vacum of Power) di Indonesia. Dengan
memanfaatkan kekosongan itu, akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945 (05=2605,
tahun Jepang) Indonesia berhasil memerdekakan dirinya dengan jerih payah yang
sungguh hebat dan pada tanggal 18 Agustus 1945 sehari setelah kemerdekaan, PPKI
mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan Proklamasi 17 Agustus 1945,
terbentuklah Negara Indonesia yang merdeka. Dengan itu tatanan hukum kolonial
Belanda terhapus dengan sendirinya sedangkan tatanan hukum yang baru belum
terbentuk secara tertulis. Hal itu tersebut disebabkan pada saat itu belum ada
positivisasi hukum secara tertulis. Berlakulah berbagai kaidah hukum adat
setempat serta hukum agama sejauh sudah diterima oleh hukum adat.
Pada tanggal 18 Agustus mulailah Indonesia menetapkan
dan memberlakukan UUD 1945. Dengan jelas Indonesia memperlihatkan sosok
kepositivannya pada tata hukum. Hal ini terlihat pada dalam Pasal II aturan
peralihan UUD 1945, berdasarkan aturan ini bangsa Indonesia terhimpun dengan
berbagai system hukum adat, hukum barat dan hukum Islam. Pada masa ini juga
mulai merebak ke permukaan, pertentangan antara tiga jajaran penegak hukum,
yang ikut membawa dampak negatif pada perkembangan tata hukum dan pelaksanaan
peradilan. Pada masa memasuki awal pemerintahan yang demokratis (1950-1959),
tatanan hukum ini bergerak selangkah lebih maju, dengan lahirnya UUDS 1950,
tampak tatanan hukum yang otonom. Pada masa ini, hukum procedural sudah
terunifikasi, sedangkan hukum subtantif masih tetap pluralis seperti pada saat
kemerdekaan diproklamasikan. Pemilihan umum tahun 1955 memunculkan lebih dari
20 partai politik. Kehidupa politik pada masa itu diwarnai dengan pertentangan
antara partai politik yang bersumber pada pergumulan ideology nasionalisme,
Islamisme, dan marxisme (komunisme). Peristiwa pemilihan umum 1955 ini
menunjukan bangsa Indonesia tengah mengalami tatanan hukum otonom.
Pada tahun 1959-1965, bangsa Indonesia berada pada
tahap demokratis terpimpin. Tatanan hukum yang diperlihatkan adalah tatanan
hukum yang represif sebab pada waktu ini konfigurasi politik bertolak belakang
dengan yang terjadi pada era demokrasi parlementer. Sistem politik demokrasi
terpimpin muncul setelah konstituante dianggap gagal memenuhi tugasnya menyusun
UUD yang tetap dan kemudian dibubarkan dengan dekrit Presiden 5 Juli 1959. Di
bawah Pemerintahan Orde Baru dan Pemerintahan Transisi (Pasca Orde Baru
1998-1999), tatanan hukum Indonesia muncul dalam berbagai bentuknya. Ia
memperlihatkan bentuk formalismenya dan Proseduralisme dalam menyelesaikan
masalah, tetapi di sisi lain begitu represif. Namun sangat disayangkan, setelah
itu ternyata hukum di Indonesia kembali mengalami kemunduran selama kurang
lebih 33 tahun (1966 s/d 1998) di bawah pemerintahan Orde baru dan Pemerintahan
Transisi (pasca orde baru 1998-1999), tatanan hukum Indonesia tidak berkembang
lebih baik, namun kembali kepada bentuk tatanan hukum yang represif. Pengertian
hukum yang represif mengatakan bahwa eksistensi hukum tidak otomatis menjamin
adanya keadilan, sebaliknya setiap tatanan hukum itu, pada titik tertentu,
terikat pada status quo dan membuat kekuasaan menjadi lebih efektif. Selama
kurang lebih 33 tahun tersebut, hukum hanya dipergunakan sebagai alat kekuasaan
untuk melindungi kepentingan-kepentingan pemerintah dalam melegalkan setiap
tindakannya. Akibatnya rakyat menderita dan berada di dalam tekanan. Perkembangan
hukum pada tahun 1960-1970 telah memasuki
pemikiran hukum formalistik. Tipologi pemikiran ini telah memperlihatkan suatu
karakteristik pemikiran yang mengutamakan peneguhan pada asas-asas ketat dan
pada format-format postulat hukum. Akan tetapi, pemikiran ini tidaklah
berkembang lama. Pada tahun 1970-1990 berkembang pemikiran hukum ke arah
modern. Bersamaan dengan ini lahirlah sosiologi hukum ke permukaan dengan
membawa suatu hal yang sangat lain dari teori formalistik. Satjipto Rahardjo
dalam perkembangan pemikiran hukum ini, menyatakan bahwa perlu adanya perubahan
secara radikal dalam pemikiran pemikiran hukum yang selama ini berkembang,
menuju ke arah pemikiran hukum yang memiliki basis sosial Indonesia.
Negara rule of law merupakan konsep sosial, bukan
hanya konsep yuridis. karena mengandung beberapa faktor ini yaitu : (a) faktor
perancangan Undang-undang dasar 1945, (b) faktor perubahan sosial, (c) faktor
pengalaman atau sejarah, (d) faktor dasar kerohanian Pancasila dan (e) faktor
Internasional dan geografis.
D.
Menuju Tatanan Hukum Responsif
Usaha untuk menemukan hukum yang responsif sangat
mewarnai teori hukum modern. Seperti menurut Jerome Frank, tujuan utama para
realis hukum adalah membuat hukum menjadi lebih responsive (tanggap) pada
kebutuhan sosial. Teori Pound tentang kepentingan sosial merupakan upaya yang
lebih ekplisit untuk menciptakan suatu model hukum yang responsif. Dalam
perspektif ini, hukum yang baik harus menawarkan sesuatu yang lebih dari
keadilan prosedural. Untuk dapat menjadi responsif, sistem hukum harus bersifat
terbuka untuk ditantang. Hal ini menunjukan bahwa disana-sini selalu ada
keterkaitan, harus mampu membangkitkan partisipasi dan harus dapat memahami dan
menerima kebutuhan-kebutuhan sosial ekonomi yang baru.
Hukum yang represif, otonom, dan responsive dapat
dipahami sebagai tiga reaksi atas dilema integritas dan keterbukaan. Ciri hukum
yang represif adalah adaptasi lembaganya yang pasif dan oportunistik terhadap
lingkungan sosial politiknya. Hukum otonom adalah reaksi terhadap keterbukaan
yang mutlak dan tidak pandang bulu. Titik beratnya adalah dipertahankannya
integritas kelembagaan untuk mencapai tujuan. Sedangkan responsif bukan
semata-mata terbuka atau adaptif, namun lebih menunjukan bahwa hukum tersebut
harus memiliki kemampuan bertanggungjawab. Oleh karena itu, adaptasinya khusus
dan selektif. Suatu apa yang penting bagi integritasnya, sambil memikirkan
kebutuhan-kebutuhan baru yang ada dalam lingkungannya. Dalam masa transisi dari
otonom ke responsif, langkah yang menentukan adalah menggeneralisasi tujuan
hukum. Aturan-aturan kebijakan dan prosedur tertentu dianggap sebagai alat dan
bias dikorbankan. Oleh karena itu, ciri hukum yang responsif adalah pencarian
nilai-nilai implicit yang ada di dalam aturan-aturan dan kebijakan.
Tatanan hukum yang represif menunjukkan otoriternya kekuasaan.
Pelaksanaan hukum otoriter di masyarakat memerlukan syarat-syarat yang relatif
besar, seperti pemaksaan, mematikan kreatifitas dan pola piker serta
biaya-biaya, lain yang pada merugikan hukum dan masyarakat. Tatanan hukum
otonom adalah suatu bentuk hukum sebagai institusi yang dirancang untuk mampu
melunakkan represi dan melindungi integritas. Hukum responsif memiliki
kelemahan pula yakni konsep hukum responsif kurang mantap dan sangat rentan,
mengingat kelemahan-kelemahan dan sangat rapuhnya jaringan-jaring penunjang
untuk mewujudkan tatanan hukum tersebut.
No comments :
Post a Comment