"Ubi Societas Ibi Ius."

Thursday 21 February 2013

Perkembangan Hukum Indonesia dalam Kondisi Modernitas dan Menuju Tatanan Hukum Responsif



A.  Tatanan Hukum Pada Masa Hindia-Belanda
Sejak tanggal 1 Januari 1800 daerah-daerah kekuasaan VOC (Vereenigde oost indische compagnie) diambil alih oleh kekuasaan pemerintah Bataafsche Republiek yang kemudian diubah menjadi Koninkljike Holand.  Untuk mengurus daerah jajahan, Raja Belanda menunjuk Daendales sebagai Gubernur Jenderal. Ia ditugaskan untuk mempertahankan daerah jajahannya (Nusantara) dalam menghadapi kemungkinan serangan Inggris.[1] Setelah Belanda berhasil menancapkan kekuasaaannya pada permulaan abad XIX, ia berhasil mengubah sistem kolonialismenya yang semula berbentuk perseoran dagang partikelir menjadi pemerintahan Hindia-Belanda. 
Masa pemerintahan Hindia-Belanda ini berlangsung selama satu setengah abad, sejak berakhirnya VOC pada akhir ke-18. Menurut Soetandyo Wignjoesoebrto, tatanan hukum pada masa ini Represif in optima forma. Tatanan hukum ini dimaksudkan untuk menjamin preservasi rust end orde dan konservasi kekuasaan kolonial, demi kepentingan ekonomi Negara dan bangsa Belanda dan sama sekali bukan untuk kepentingan rakyat. Ketika menjalankan politik hukumnya, Hindia-Belanda menetapkan dalam bidang hukum perdata bagi Indonesia, berlaku hukum adatnya masing-masing, dengan dalih pengakuan kesamaan derajat semua budaya. Mereka memperkenalkan Het indische adat recht atau hukum adat Indonesia. Kritik ini dimulai oleh Cornelis Van Vollenhoven (1874-1993), kemudian dilanjutkan oleh Christian Snouck Hurgonje (1857-1936). Begitu juga untuk hukum islam, pada masa ini yang berlaku adalah hukum adatnya masing-masing. Hukum adatlah yang menentukan ada atau tidaknya hukum islam, dikenal dengan Teori Receptie. Selain itu karakter atau sifat represif ini terlihat dengan jelas dalam ketentuan perundang-undangan pidana, yang terkenal sebaga haatzaat-artikelen (Pasal 153 bis, 153 ter, 154, 154 bis) dan pada Ekterning, Interning dan verbaning, tanpa melalui proses peradilan (Pasal 35, 36, 37 IS). Semua ketentuan tersebut telah diatur dalam pasal 131 dan 163 Indische Staatstregelding (IS). Suasana tatanan hukum represif yang begitu dominan, misalnya melalui kebijakan hukum yang berat sebelah, kewenangan yang melampaui batas dan ketidakmampuan pemerintah untuk dalam memenuhi tuntutan rakyat.

B.  Tatanan Hukum Pada Masa Penjajahan Jepang
Pada tanggal 7 desember 1941 meletuslah Perang Pasifik, dengan dibomnya Pear harbor oleh Jepang. Dalam waktu singkat Jepang menduduki daerah-daerah jajahan sekutu (Amerika, Inggris, Belanda) di daerah Pasifik. Pada tanggal 9 maret 1942 jepang masuk ke Indonesia dan menghalau Belanda. Bangsa Indonesia pada saat itu dikelabui oleh kedatangan Jepang dengan mempropagandakan bahwa kehadirannya adalah justru ingin membebaskan bangsa Indonesia dengan memperbolehkan Rakyat Indonesia untuk mengibarkan Bendera Merah-Putih serta menyanyikan lagu kebangsaan, tipu muslihat tersebut berhasil dan Jepang menunjukan kekejamannya. Pada fase berikutnya Jepang telah banyak melakukan penindasan yang lebih menyengsarak rakyat Indonesia, dengan penguasaan militer Jepang yang dikenal dengan Osamu Seirei No.1 tahun 1942 yakni dalam Pasal 3 yang menetapkan bahwa : “semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintahan yang dulu, tetap diakui sah untuk sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerinta militer”.
Tatanan hukum seperti ini dapat dikualifikasikan termasuk kepada tatanan hukum yang represif, sebab semua keputusan dan pertimbangan hanya terarah pada satu tujuan, kepentingan pendudukan militer Jepang. Dalam hubungan dengan politik Islam, Jepang mengakui betapa pentingnya kedudukan umat Islam dalam dunia perpolitikan Indonesia. Meskipun berbeda dengan Belanda yang lebih menanamkan sikap anti Islam, namun  tujuannya sama yaitu melanggengkan kekuasaan mereka. Pada bulan April 1942, melalui gerakan tiga A, Jepang bermaksud memobilisasi rakyat sejak Juli 1942. Dalam gerakan tersebut dibentuk subseksi yang diberi nama persiapan persatuan umat Islam.
Pendudukan Jepang selama 3,5 tahun telah memberikan suatu tekanan yang sangat represif melampaui penjajahan Belanda. Dalam hukum adat telah terjadi perubahan nilai budaya. Kehidupan ekonomi rakyat sangat sulit, rakyat dikejar-kejar untuk melakukan kerja paksa membangun lapangan udara, lubang-lubang perlindungan dan tempat-tempat pertahanan. Sementara itu pemuda-pemuda dilatih menjadi heiho (pembantu militer) atau gyu-gun (tentara sukarela peta) dan para wanita dipaksa untuk bekerja di kantor pemerintahan Jepang dan tidak sedikit mereka yang hilang kehormatannya.

C.  Tatanan Hukum Sejak tahun 1945-1998
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kalah kepada sekutu. Pada saat itulah terjadilah kekosongan kekuasaan (Vacum of Power) di Indonesia. Dengan memanfaatkan kekosongan itu, akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945 (05=2605, tahun Jepang) Indonesia berhasil memerdekakan dirinya dengan jerih payah yang sungguh hebat dan pada tanggal 18 Agustus 1945 sehari setelah kemerdekaan, PPKI mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan Proklamasi 17 Agustus 1945, terbentuklah Negara Indonesia yang merdeka. Dengan itu tatanan hukum kolonial Belanda terhapus dengan sendirinya sedangkan tatanan hukum yang baru belum terbentuk secara tertulis. Hal itu tersebut disebabkan pada saat itu belum ada positivisasi hukum secara tertulis. Berlakulah berbagai kaidah hukum adat setempat serta hukum agama sejauh sudah diterima oleh hukum adat.
Pada tanggal 18 Agustus mulailah Indonesia menetapkan dan memberlakukan UUD 1945. Dengan jelas Indonesia memperlihatkan sosok kepositivannya pada tata hukum. Hal ini terlihat pada dalam Pasal II aturan peralihan UUD 1945, berdasarkan aturan ini bangsa Indonesia terhimpun dengan berbagai system hukum adat, hukum barat dan hukum Islam. Pada masa ini juga mulai merebak ke permukaan, pertentangan antara tiga jajaran penegak hukum, yang ikut membawa dampak negatif pada perkembangan tata hukum dan pelaksanaan peradilan. Pada masa memasuki awal pemerintahan yang demokratis (1950-1959), tatanan hukum ini bergerak selangkah lebih maju, dengan lahirnya UUDS 1950, tampak tatanan hukum yang otonom. Pada masa ini, hukum procedural sudah terunifikasi, sedangkan hukum subtantif masih tetap pluralis seperti pada saat kemerdekaan diproklamasikan. Pemilihan umum tahun 1955 memunculkan lebih dari 20 partai politik. Kehidupa politik pada masa itu diwarnai dengan pertentangan antara partai politik yang bersumber pada pergumulan ideology nasionalisme, Islamisme, dan marxisme (komunisme). Peristiwa pemilihan umum 1955 ini menunjukan bangsa Indonesia tengah mengalami tatanan hukum otonom.
Pada tahun 1959-1965, bangsa Indonesia berada pada tahap demokratis terpimpin. Tatanan hukum yang diperlihatkan adalah tatanan hukum yang represif sebab pada waktu ini konfigurasi politik bertolak belakang dengan yang terjadi pada era demokrasi parlementer. Sistem politik demokrasi terpimpin muncul setelah konstituante dianggap gagal memenuhi tugasnya menyusun UUD yang tetap dan kemudian dibubarkan dengan dekrit Presiden 5 Juli 1959. Di bawah Pemerintahan Orde Baru dan Pemerintahan Transisi (Pasca Orde Baru 1998-1999), tatanan hukum Indonesia muncul dalam berbagai bentuknya. Ia memperlihatkan bentuk formalismenya dan Proseduralisme dalam menyelesaikan masalah, tetapi di sisi lain begitu represif. Namun sangat disayangkan, setelah itu ternyata hukum di Indonesia kembali mengalami kemunduran selama kurang lebih 33 tahun (1966 s/d 1998) di bawah pemerintahan Orde baru dan Pemerintahan Transisi (pasca orde baru 1998-1999), tatanan hukum Indonesia tidak berkembang lebih baik, namun kembali kepada bentuk tatanan hukum yang represif. Pengertian hukum yang represif mengatakan bahwa eksistensi hukum tidak otomatis menjamin adanya keadilan, sebaliknya setiap tatanan hukum itu, pada titik tertentu, terikat pada status quo dan membuat kekuasaan menjadi lebih efektif. Selama kurang lebih 33 tahun tersebut, hukum hanya dipergunakan sebagai alat kekuasaan untuk melindungi kepentingan-kepentingan pemerintah dalam melegalkan setiap tindakannya. Akibatnya rakyat menderita dan berada di dalam tekanan. Perkembangan hukum  pada tahun 1960-1970 telah memasuki pemikiran hukum formalistik. Tipologi pemikiran ini telah memperlihatkan suatu karakteristik pemikiran yang mengutamakan peneguhan pada asas-asas ketat dan pada format-format postulat hukum. Akan tetapi, pemikiran ini tidaklah berkembang lama. Pada tahun 1970-1990 berkembang pemikiran hukum ke arah modern. Bersamaan dengan ini lahirlah sosiologi hukum ke permukaan dengan membawa suatu hal yang sangat lain dari teori formalistik. Satjipto Rahardjo dalam perkembangan pemikiran hukum ini, menyatakan bahwa perlu adanya perubahan secara radikal dalam pemikiran pemikiran hukum yang selama ini berkembang, menuju ke arah pemikiran hukum yang memiliki basis sosial Indonesia.
Negara rule of law merupakan konsep sosial, bukan hanya konsep yuridis. karena mengandung beberapa faktor ini yaitu : (a) faktor perancangan Undang-undang dasar 1945, (b) faktor perubahan sosial, (c) faktor pengalaman atau sejarah, (d) faktor dasar kerohanian Pancasila dan (e) faktor Internasional dan geografis.
D.  Menuju Tatanan Hukum Responsif
Usaha untuk menemukan hukum yang responsif sangat mewarnai teori hukum modern. Seperti menurut Jerome Frank, tujuan utama para realis hukum adalah membuat hukum menjadi lebih responsive (tanggap) pada kebutuhan sosial. Teori Pound tentang kepentingan sosial merupakan upaya yang lebih ekplisit untuk menciptakan suatu model hukum yang responsif. Dalam perspektif ini, hukum yang baik harus menawarkan sesuatu yang lebih dari keadilan prosedural. Untuk dapat menjadi responsif, sistem hukum harus bersifat terbuka untuk ditantang. Hal ini menunjukan bahwa disana-sini selalu ada keterkaitan, harus mampu membangkitkan partisipasi dan harus dapat memahami dan menerima kebutuhan-kebutuhan sosial ekonomi yang baru.
Hukum yang represif, otonom, dan responsive dapat dipahami sebagai tiga reaksi atas dilema integritas dan keterbukaan. Ciri hukum yang represif adalah adaptasi lembaganya yang pasif dan oportunistik terhadap lingkungan sosial politiknya. Hukum otonom adalah reaksi terhadap keterbukaan yang mutlak dan tidak pandang bulu. Titik beratnya adalah dipertahankannya integritas kelembagaan untuk mencapai tujuan. Sedangkan responsif bukan semata-mata terbuka atau adaptif, namun lebih menunjukan bahwa hukum tersebut harus memiliki kemampuan bertanggungjawab. Oleh karena itu, adaptasinya khusus dan selektif. Suatu apa yang penting bagi integritasnya, sambil memikirkan kebutuhan-kebutuhan baru yang ada dalam lingkungannya. Dalam masa transisi dari otonom ke responsif, langkah yang menentukan adalah menggeneralisasi tujuan hukum. Aturan-aturan kebijakan dan prosedur tertentu dianggap sebagai alat dan bias dikorbankan. Oleh karena itu, ciri hukum yang responsif adalah pencarian nilai-nilai implicit yang ada di dalam aturan-aturan dan kebijakan.
Tatanan hukum yang represif  menunjukkan otoriternya kekuasaan. Pelaksanaan hukum otoriter di masyarakat memerlukan syarat-syarat yang relatif besar, seperti pemaksaan, mematikan kreatifitas dan pola piker serta biaya-biaya, lain yang pada merugikan hukum dan masyarakat. Tatanan hukum otonom adalah suatu bentuk hukum sebagai institusi yang dirancang untuk mampu melunakkan represi dan melindungi integritas. Hukum responsif memiliki kelemahan pula yakni konsep hukum responsif kurang mantap dan sangat rentan, mengingat kelemahan-kelemahan dan sangat rapuhnya jaringan-jaring penunjang untuk mewujudkan tatanan hukum tersebut.



[1] Yesmil Anwar dan Adang, Pengantar Sosilogi Hukum, PT. Grasindo, Jakarta, 2008, hlm, 172.

No comments :

Post a Comment